Chapter 6

1.2K 28 16
                                    

"Masih kuatkah, Tuan Putri?"

"Kurasa... kurasa begitu..."

Kendatipun ia mencoba meyakinkan sang bidan, sang putri mengatakannya dengan napas terengah-engah, tubuhnya berayun gelisah. Ia membungkuk dengan tangan kanan bertumpu pada sisi ranjang, sementara tangan kirinya yang memegangi kalung salib mencengkeram perutnya yang besar. Wajahnya pucat pasi dan bersimbah keringat, matanya terpejam dan sesekali ia meringis menahan sakit. Zainab yang mendampinginya berlutut di bawahnya, mengusap perut sang putri dengan perlahan untuk memeriksa posisi sang bayi. Ia merasa khawatir, karena kesehatan Isabella semakin buruk dengan kondisinya seperti ini. Suaminya meninggal lima bulan yang lalu karena sakit keras, dan Isabella yang sedang mengandung anak keduanya dirundung duka mendalam yang membuat kesehatannya menurun. Ibn Fazari, ayah Zainab memeriksanya saat Isabella jatuh pingsan bulan lalu di ruang makan istana, untunglah janinnya baik-baik saja-dan mendapati bahwa jantung sang putri sangat lemah. Ini bukan berita bagus karena kondisi itu akan berpotensi mengurangi tenaganya saat proses persalinan nanti. Oleh karenanya, Isabella dipindahkan ke kamar bersalin dua bulan lebih awal untuk mengondisikan tubuhnya menjelang persalinan dan menghabiskan sebagian besar waktunya di tempat tidur. Zainab dengan ayah dan suaminya berpikir keras untuk memikirkan cara agar sang putri bisa melahirkan tanpa membuat jantungnya bekerja lebih keras.

Hampir dua bulan kemudian, momen itu akhirnya tiba. Usia kandungannya lebih dari sembilan bulan, sudah lebih tua dan lebih lambat dua minggu dari perkiraan Ibn Fazari saat ia merawat sang putri. Siang itu ketubannya pecah, diikuti oleh kontraksi yang semakin lama semakin kuat. Dengan kondisi kelainan jantung seperti itu, Zainab memutuskan kalau Isabella tidak bisa melahirkan di atas kursi bersalin seperti persalinan pertamanya. Sang putri harus melahirkan di atas ranjang dan sebisa mungkin tidak banyak mengeluarkan tenaga untuk mendorong bayinya keluar. Ia ingin mengusahakan tubuh sang ibu lebih tenang dan rileks saat proses persalinan berlangsung agar bayinya bisa keluar lebih spontan tanpa mengerahkan tenaga lebih banyak, dan ini merupakan tantangan bagi Zainab yang masih muda. Zainab sendiri mempersiapkan hari ini untuk meminimalisir kemungkinan terburuk. Sebagai ganti dari persalinan di kursi bersalin itu dan setelah ketubannya pecah, ia membantu Isabella menggerakkan tubuhnya dengan sesekali berjalan-jalan ringan di kamar dan berdiri untuk membantu kontraksinya lebih cepat, kuat dan sering, agar persalinan spontan itu bisa diusahakan di tempat tidurnya. Bahkan ia melaksanakan shalatnya di kamar bersalin ini demi bisa terus menemani Isabella, sementara Domitiana mengantarkan makanan untuk mereka.

Janinnya sudah turun, leher rahimnya sudah menipis tapi belum cukup meregang terbuka untuk dilewati kepala bayinya. Tapi ini kemajuan yang melegakan, kontraksinya sudah semakin sering dan kuat. Kuharap apapun yang terjadi, sang putri tidak perlu terlalu banyak mendorong. Situasi ini saja sudah cukup memacu jantungnya untuk bekerja lebih keras.

"Kakak Zainab... Kapan... kapan bayiku akan keluar...? Kenapa rasanya ini sulit sekali..?"

"Berbaringlah dengan nyaman, Tuan Putri. Tuan Putri sudah cukup lama berdiri. Kurasa ini sudah cukup, bayinya sudah turun. Dia sudah siap untuk keluar. Kontraksinya sudah semakin kuat, kita tinggal menunggu."

Zainab membantu Isabella berbaring di atas ranjang dan menata bantal di bawah punggungnya agar sang putri bisa bersandar dengan nyaman. Isabella memejamkan matanya, napasnya semakin berat seiring dengan rasa mulas yang semakin kuat di perutnya yang besar dan menegang karena kontraksi yang kuat dan semakin sering. Keringatnya bercucuran semakin banyak dan membasahi bagian dada gaunnya. Ia bergerak-gerak kesakitan dan sesekali memegangi bawah pusarnya, kedua pahanya terentang semakin lebar dan tak bisa diam hingga bagian bawah gaunnya tertarik ke atas dan menggulung di pangkal pahanya, membuat bagian bawah tubuhnya hampir telanjang. Cairan ketubannya mulai merembes dan membasahi kain penutup ranjangnya.

The Redemption of SuccubusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang