Chapter 22

658 23 2
                                    

Dua minggu telah berlalu sejak Godiva dan Ulric akhirnya mengucap janji suci pernikahan mereka di depan seorang pendeta miskin yang dijemput Ulric dari desa asal Godiva. Mereka tidak menyembunyikan kenyataan dan berkata jujur pada si pendeta bahwa Godiva telah menikah dengan seseorang sebelumnya, namun ia dikhianati oleh suaminya ketika ia berusaha mempertahankan pernikahannya, dan mengalami penyiksaan batin serta fisik oleh pria brengsek itu. Untunglah, pendeta itu memahami kondisi Godiva dan bersedia menikahkan mereka. Walaupun hidup mereka sangat sederhana, mereka sangat bahagia dan resmi memulai kehidupan baru sebagai suami-istri dengan bayi yang terus tumbuh besar dalam kandungan Godiva yang kini hampir menginjak bulan ketujuh. Eleanor dan Ulric sangat menyayanginya, selalu memastikan kesehatan sang calon ibu bersama bayinya; dan Godiva sangat mencintai mereka berdua melebihi dirinya sendiri. Mereka sangat menikmati mengamati bagaimana perut Godiva membesar perlahan oleh pertumbuhan sang bayi (yang bagi Eleanor cukup besar untuk usia kandungannya sekarang), namun sangat gugup dengan apa yang mereka nantikan di masa depan.

Atau setidaknya sampai sekarang.

"Tak biasanya Ulric belum pulang semalam ini," Godiva membantu Eleanor menyiapkan makan malam. Ia menumpangkan tangannya di perutnya yang semakin membesar. "Belum ada apa-apa yang bisa dibawa ke pasar untuk dijual karena masa panen masih dua bulan lagi, kuharap dia baik-baik saja. Makan malam sudah hampir siap. Ke mana anak itu?"

"Benar, mama. Ladang kita masih jauh menuju panen. Ulric memberitahuku kalau panen raya akan datang bersamaan dengan persalinanku nanti."

Eleanor mendekati Godiva yang menyelipkan helaian rambut merahnya yang mencuat berantakan di belakang telinga dan memegang pundak menantunya.

Ulric tidak pernah ke rumah minum. Ia tidak punya uang untuk itu.

"Tuhan akan menjaganya, sayang."

Ketika ia baru saja berkata begitu, mereka mendengar suara ketukan keras di pintu.

"Itu dia. Ulric sudah pulang."

"Biar aku yang bukakan pintunya, mama."

Godiva berjalan ke pintu dan membukanya. Dengan kegelapan malam di belakang pemuda itu, ia masih bisa melihat ketampanan suaminya dengan jelas.

Ulric berdiri di depannya dengan tersenyum letih, wajahnya pucat. Mantel bututnya basah kuyup.

"Aku sudah pulang, Godiva sayang. Maaf aku pulang malam. Aku baru dari rumah kepala desa untuk mencatatkan pernikahan kita di keparokian. Ada begitu banyak orang di sana, dan aku mendapatkan giliran terakhir karena aku hanya membawa sedikit uang."

"Oh suamiku!" Godiva memeluknya dengan khawatir dan penuh kasih, mengusap wajahnya dan menciumnya lembut. Ia menggandeng suaminya dan mengajaknya masuk. "Kau pasti sangat kelelahan. Masuklah, makan malam sudah lewat tapi kami sudah memasak lagi untukmu."

"Baiklah, sayang. Mama, maaf aku pulang terlambat."

"Tidak apa-apa, sayang. Lepaskan mantelmu dan habiskan makan malammu. Kau kedinginan."

Mereka membantu Ulric melepaskan mantelnya dan menemaninya makan. Wajah Ulric yang pucat terlihat aneh dan tidak seperti biasanya, ia sama sekali tidak bicara apa-apa selama makan.

"Ulric sayang, kau tidak apa-apa?"

Ulric mendongak dari mangkuk supnya dan menoleh pada ibunya, dan mengangguk.

"Aku tidak apa-apa. Aku hanya sedikit letih."

"Wajahmu pucat sekali. Kau harus segera tidur malam ini."

"Baik."

Ulric tidak bicara lagi, ia meneruskan makannya tanpa mengatakan apa-apa.

Ketika mereka membereskan meja makan dan hendak beranjak ke kamar tidur, terdengar suara ketukan pintu lagi dan diikuti oleh suara nyaring beberapa orang pria.

"Nyonya Eleanor, kau ada di dalam?"

Mereka bertiga berpandangan. Karena seruan itu tidak langsung dijawab, suara ketukan yang mengiringinya kembali terdengar lebih keras.

"Nyonya Eleanor! Kami menemukan putramu!"

Putra yang mana? Batin Godiva kebingungan. Ulric ada di sini! Dia sudah pulang!

"Maaf, siapa? Ulric putraku ada di sini, tuan-tuan! Aku tidak mengerti!"

Suara ketukan dan teriakan nyaring itu berhenti, digantikan oleh suara dengung penuh bisikan.

"Demi Tuhan, Nyonya Eleanor! Tidak mungkin dia ada di dalam! Kami baru saja menemukan tubuhnya! Kami membawanya kemari, tolong buka pintunya!"

Tiba-tiba saja udara terasa membeku. Tidak mungkin. Mereka berbohong. Ulric ada di sini, dan dia baik-baik saja.

"Ulric, apa yang terjadi?"

Ulric hanya menunduk, tidak mengatakan apa-apa.

"Kita harus membuka pintunya."

Karena dilanda panik sekaligus bimbang, Eleanor dan Godiva bergegas membuka pintu bersama-sama, meninggalkan Ulric di belakang mereka dan berharap orang-orang itu tidak serius. Ketika pintu terbuka, mereka melihat empat orang pria warga sekitar berdiri di depan mereka sambil menggotong tubuh seorang pemuda.

"Tuan-tuan? Ada apa? Itu siapa?"

"Kami menemukan putramu di jalan setapak desa, Nyonya Eleanor. Uh, dia... Seseorang telah menghabisinya, dia sudah tidak bernyawa ketika kami menemukannya."

Ini tidak benar! Ulric ada di dalam, dia baru saja makan! Tidak mungkin dia sudah-

Mereka menurunkan tubuh pemuda itu, yang langsung terkulai lemah di undakan rumah sederhana Eleanor. Mereka tidak berbohong ketika Eleanor dan Godiva menatap tubuh tak bernyawa dengan tusukan belati di dada dan perut pemuda itu. Dan wajah pemuda itu...

"Oh Tuhan... Anakku... Ini tidak mungkin!"

"Ulric! Ulric, bangunlah! Ini tidak mungkin kau!"

Wajah Ulric menatap mereka dengan tatapan kosong. Jelas sekali tidak ada kehidupan di wajah tampan pemuda itu, didukung dengan banyaknya percikan darah di leher dan bajunya. Ia membuka tangan suaminya yang mencengkeram secarik kertas kecil kusut berisi pernyataan tanda bukti pencatatan pernikahan mereka di keparokian, dan air matanya meleleh. Bau amis darah dan kematian memenuhi udara, membuat Godiva merasa mual dan gemetaran.

"Ulric... Tidak mungkin... Lalu siapa-"

Sebelum Godiva melanjutkan kalimatnya dan berbalik untuk melihat sosok suaminya yang bergabung di meja makan tadi dan hendak bergegas ke kamar untuk tidur, ia dan Eleanor mendengar sosok itu mendesah berat di belakang sebelum mulai bicara dengan nada malas. Suaranya perlahan berubah ganjil, seperti suara manis seorang gadis kecil nakal yang dibuat-buat.

"Hmmph, mungkin sudah waktunya aku memberitahu yang sebenarnya pada kalian."

Ketika Godiva melihat sosok siapa sebenarnya yang menyerupai suaminya dan ikut makan malam bersama mereka, tiba-tiba perutnya dilanda nyeri seperti yang menyerangnya saat ia mendengar suara mengutuk yang ditujukan pada Godfrey di rumah pria itu. Ia memekik kesakitan sambil mencengkeram perutnya, merasakan si jabang bayi menendang kuat sekali di dalamnya dan jatuh limbung, tak sadarkan diri.

Belum pernah ia melihat sesuatu yang begitu menakutkan dan menjijikkan seperti itu.

The Redemption of SuccubusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang