Chapter 1

5K 83 4
                                    

Desa Locksley, 1128.

"Aku tidak percaya kau sudah pernah melahirkan seorang anak, cantik."

Pria berambut pirang berusia pertengahan empat puluhan itu sedang berbaring di tempat tidur sempit di belakang rumah minum kumuh tersebut dengan setengah bersandar di palang ranjang, tangan kirinya memegang gelas kayu berisi arak bening dan tangan kanannya mengelus pangkal paha seorang gadis muda cantik berambut merah yang tengah duduk mengangkanginya dengan telanjang bulat, tepat di atas panggulnya. Gadis itu nampak sudah kelelahan dan tubuhnya sedikit gemetar, tapi ia tidak berhenti menggerakkan panggulnya untuk memuaskan hasrat si ksatria di bawah kedua pangkal pahanya.

"Itu... hampir dua tahun yang lalu, tuan. Kau tidak akan merasakan bedanya."

Pria itu menghabiskan araknya dan melemparkannya ke seberang ruangan, membuat gadis itu memekik terkejut dan nyaris melepaskan cengkeraman tubuhnya pada si pria. Si pria tertawa senang akan keterkejutan gadis itu, dan langsung menarik gadis itu ke pelukannya.

"Tapi kau begitu mengagumkan, manis," pria itu tertawa lagi setelah melemparkan gelas kayunya, kini kedua tangannya yang bebas membaringkan gadis itu dengan lincah, bertukar posisi dengan gadis itu hingga gadis itu berada di bawah tubuhnya, sementara ia di atas dan menindih tubuhnya dengan lembut. Pria itu menarik kedua paha si gadis dan melesakkan tubuhnya di antara kedua pangkal paha gadis itu, sedikit memaksa dan membuatnya merintih sedikit. "Siapa namamu tadi? Tubuhmu begitu nikmat sampai-sampai aku tak bisa mengingat namamu."

"Godiva, tuan."

Pria itu setengah mendengarkan, sementara tangan dan mulutnya mulai menjelajahi tubuh molek Godiva. Ia menciumi leher Godiva yang merintih lembut dan letih di bawahnya sambil meremas lembut payudaranya yang bulat dan ranum, bergerak menjilati puncaknya yang merah muda dan mengeras karena gairah. Pria itu juga masih tak hentinya menggerakkan panggulnya dengan gelisah di antara kedua paha Godiva, menikmati kencang dan hangatnya tubuh Godiva di sekeliling kejantanannya. Semakin kuat ia memainkan payudara gadis itu, semakin kuat pula cengkeraman Godiva terhadap gairahnya.

"Kalau begitu, kau seorang ibu dengan rasa tubuh seorang perawan," pria itu tertawa lagi, sebelum ia menyelipkan jari-jarinya untuk memainkan celah kemaluan gadis itu, sekaligus menahan keinginannya untuk tidak terburu-buru pelepasan. "Kedengarannya tidak mungkin payudara seindah ini sudah pernah menyusui bayi sebelumnya. Sayang sekali aku sudah menikah untuk bisa selalu menikmati percintaan ini denganmu. Kalau saja aku masih bujang, aku bisa saja menikahimu besok. Lalu aku akan menghabiskan banyak malamku selanjutnya dengan bercinta denganmu. Perempuan tua itu bilang kau memiliki rahim yang subur. Kau bisa melahirkan banyak anak yang sehat untukku, membantuku menunaikan tugas suci-tapi aku tidak menginginkan anak haram jadah."

Godiva teringat dua tahun yang lalu, saat itu ia baru berusia delapan belas tahun di mana ia baru saja menjalani pekerjaan ini selama tiga bulan. Ia mengandung anak salah seorang pria yang menjadi pelanggannya, dan karena kehamilannya ia tidak diiizinkan melakukan pekerjaannya ketika kandungannya menginjak bulan kelima sampai melahirkan. Namun Godiva diberi pekerjaan lain selama kehamilannya dengan menjadi pelayan yang membawakan minuman. Pekerjaan itu juga melelahkan, dan semakin menyulitkan ketika kandungannya semakin besar walaupun perempuan tua itu bersikeras bahwa dengan banyak bergerak seperti ini akan memudahkan persalinannya. Penantian yang sulit, persalinan yang melelahkan dan tetap sulit itu berakhir dengan kematian bayinya saat berusia satu bulan.

Sejak saat itu, perempuan tua pemilik rumah minum sekaligus pelacuran ini memberi ramuan pencegah kehamilan pada Godiva agar ia tidak mudah hamil setiap kali melayani para pria hidung belang yang memberikan sejumlah uang agar bisa bercinta dengan Godiva, bahkan sesekali ia meletakkan racun di dalam kemaluan gadis itu agar benih para pria itu tidak membuahi rahimnya. Ia juga memeriksa perut Godiva secara rutin untuk memastikan tidak ada janin yang tumbuh di dalam rahimnya. Kalau Godiva terlalu mudah hamil, perempuan tua itu akan kehilangan banyak uang dan waktu karena Godiva harus berhenti bekerja dulu sampai bayinya lahir. Godiva, si gadis yatim piatu cantik yang tidak banyak bicara itu adalah pelacur yang paling disukai di tempat itu, karenanya perempuan tua itu menetapkan harga yang mahal bagi pelanggan yang ingin bercinta dengannya.

Setelah tangannya basah kuyup dengan cairan yang keluar dari pangkal paha Godiva, tiba-tiba saja ia mengerang sambil menyumpah serapah saat ia mencapai kepuasan maksimal, melepaskan benihnya di dalam tubuh gadis itu saat Godiva juga mencapai puncak, menjerit karena berahi.

"Baiklah... Baiklah kalau begitu... Sial. Malam ini berakhir terlalu cepat."

Pria itu menyentakkan tubuhnya hingga terlepas dari Godiva, membiarkan gadis itu berbaring terengah-engah dan lemah karena kelelahan di atas ranjang. Ia bangkit dari ranjang untuk mengambil kantong kain kumal dari atas meja reyot di samping ranjang tersebut, dan mengambil sekantong kecil koin emas dari dalamnya. Setelah itu ia mendekati ranjang lagi, tersenyum sedih sambil menatap Godiva yang malang di sana, yang bahkan sudah terlalu lelah untuk merapatkan kedua kakinya lagi setelah empat pria sebelumnya dan ksatria ini menyetubuhinya hingga berkali-kali tanpa ampun. Ia sudah pasrah kalau pria itu mungkin akan memaksanya lagi melayani berahinya, tak mau repot-repot mengatupkan lagi kedua pahanya.

Kalau kau bukan gadis menjijikkan seperti ini, aku akan menikahimu. Kau begitu cantik, sayang sekali tubuhmu bukan milikku. Rahimmu, ruangan kenikmatan dan cintamu... Semuanya milik pria manapun yang bisa membayar dengan harga mahal selain aku.

"Sungguh gadis malang. Aku tidak tahu apakah Tuhan akan mengampuni dosa-dosamu atau tidak," ujar pria itu sambil mengenakan celananya, melirik ke arah Godiva yang tengah berusaha duduk di sisi ranjang, terengah-engah kelelahan sambil memegangi bawah perutnya. Tubuh telanjangnya yang letih masih gemetaran karena persetubuhan silih berganti tanpa henti selama enam jam terakhir ini, ia sangat berharap pria munafik ini adalah pelanggan terakhirnya hari itu. "Aku bisa melakukan apa saja dalam hidupku dan Tuhan mengampuniku karena aku bergabung dengan tentara sucinya ke Yerusalem, sementara dirimu tidak. Kau seorang perempuan, sama seperti istriku. Hanya saja istriku tentu akan mendapatkan banyak pengampunan karena bersuamikan seorang ksatria salib."

Pria itu mendengus dengan suara ejekan ironis sambil menyelesaikan berpakaiannya, lalu meletakkan kantong koin emas itu di antara pangkal paha Godiva hingga menyentuh bibir kemaluan gadis itu. Setelah itu ia berjalan ke pintu sambil membawa barang-barangnya.

"Selamat tinggal, cantik. Semoga kau... cukup beruntung."

Ia keluar dari kamar itu, menutup pintu dan meninggalkan Godiva sendirian. Godiva mungkin tidak banyak bicara, ia lebih banyak bekerja-tapi hatinya menjerit. Siapapun di sini, entah pengunjung rumah minum maupun pelanggan yang tidur dengannya, tidak hanya memujanya tapi juga menghinanya dengan ucapan tidak senonoh.

"Manis, sudah berapa orang yang mencicipi lubang jalangmu itu hari ini?"

"Mereka pasti begitu tergila-gila denganmu. Mereka membayar mahal untuk bisa menikmati tubuhmu hingga kau tak sanggup lagi melayani mereka, hingga lubang jalangmu itu cukup longgar untuk bisa menaruh koin emas yang mereka berikan untukmu."

"Aku begitu tergila-gila padamu, aku selalu ingin bercinta denganmu tapi aku tidak ingin memiliki anak haram jadah denganmu."

Ia lelah bekerja seperti ini, dan tanpa hentinya dipenuhi rasa khawatir kalau-kalau suatu waktu obat yang diberikan induk semangnya tidak bekerja lagi pada tubuhnya. Bagaimana kalau nanti aku hamil lagi setelah ini? Aku belum pernah mendapatkan pelanggan sebanyak hari ini, aku takut kalau kekuatan mereka akan membuat obat pencegah kehamilan ini menjadi tidak ada gunanya. Dan tubuhku lelah sekali...

Godiva memegangi bawah pusarnya dan mengusapnya, sementara kemaluannya mulai mengeluarkan cairan yang bercampur dengan cairan benih para pria yang bersenggama dengannya tadi. Melihat cairan yang keluar dari kemaluannya itu, seketika ia merasa sangat kotor dan najis, terpaksa memercayai ucapan ksatria sok suci itu. Ia duduk bersandar di ranjang itu sambil merangkul kedua kakinya yang lelah, terisak.

Aku memang perempuan najis. Perempuan lacur yang bisa melahirkan seratus anak dari seratus pria berbeda. Kenapa hidupku harus seperti ini?

The Redemption of SuccubusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang