Epilog

290 13 10
                                    

Dua minggu kemudian.

"Pekerjaan kita sudah selesai. Semua orang sudah pulang, kak. Ayo."

"Ya. Mari kita pulang."

Hari sudah petang dan langit sudah mulai gelap, semua orang di sekitar masjid sudah bubar. Dengan bantuan adik perempuan satu-satunya Ayesha, adik laki-laki pertamanya Arslan, dan kedua pelayan pribadi mereka, Jehanne membereskan keranjang dan karung-karung yang sudah kosong di beranda baitul mal masjid belakang kastil. Setelah itu mereka berjalan pulang ke rumah.

Di pekan-pekan terakhir kehamilannya, Jehanne berkeras tidak mau dikurung di dalam kamarnya. Ia melihat banyak calon ibu di lingkungannya yang justru semakin rajin bekerja saat mereka semakin dekat dengan persalinan, yang konon akan membantu bayi mereka keluar lebih mudah saat waktunya tiba. Ibunya juga menyarankannya untuk tidak terlalu banyak berdiam diri di rumah saat usia kandungannya sudah memasuki bulan terakhir, walaupun tidak mendesaknya. Selain itu, ibunya juga memberinya kurma sejak usia kandungannya memasuki bulan ketujuh untuk melancarkan persalinan. Namun Jehanne merasa dirinya lebih kuat daripada dugaannya, sampai empat hari terakhir ini.

Kini perutnya terasa semakin kencang, dan posisi si jabang bayi sudah benar-benar turun melewati pinggulnya, mendorong rahimnya ke bawah. Kadang-kadang ia merasa perutnya penuh, dan dorongan untuk berkemih lebih sering. Mama benar. Dalam dua pekan ini, bayi ini bisa lahir kapan saja. Tapi tidak masalah selama aku dan bayiku sehat.

"Kakak Gabriel bilang kalau Ramadan mendatang kita akan punya beberapa kebun kurma baru," ujar Ayesha riang, walaupun ia lelah setelah membantu membagikan ransum bulanan bagi para janda miskin di masjid. Dibanding kakak perempuannya yang lebih mirip ibu mereka, Ayesha sangat mirip ayahnya dengan mata biru dan kulitnya yang lebih putih, begitu juga Arslan, kakak laki-laki ketiganya dan adik laki-laki pertama Jehanne yang lahir saat Jehanne berusia dua tahun. Adik laki-lakinya yang lahir tak lama setelah ibu Gabriel berkunjung kemari dua puluh tahun yang lalu, yang membuat Raynald dan Hafshah menduga-duga jika kehadiran Godiva mempercepat pembuahan bayi itu dalam perutnya. Sejak lahir juga, Arslan paling manja dengan ibunya dibanding kelima saudara laki-lakinya yang lain. "Suamimu itu sangat pandai berkebun, kak. Pantas saja Papa menyukainya. Katanya ia punya kebun kecil di rumahnya di Perancis, tapi ini pertama kalinya ia mencoba mengurus kebun di tanah kering. Pengalaman bagus untuknya."

Jehanne mengangguk dan tersenyum letih pada adiknya yang sedang mengoceh dengan monyet peliharaannya di pundaknya, Turan, dan tanpa sadar mengusap-usap perutnya yang besar. Ia sempat mengalami kram di bawah pusarnya usai shalat Subuh tadi, yang pergi secepat datangnya-sehingga ia hanya makan dua butir kurma setelah sarapan untuk berjaga-jaga dan membiarkan ketiga adiknya yang paling kecil, menghabiskan semangkuk penuh kurma miliknya di meja. Gabriel memintanya agar ia tidak memaksakan diri untuk mengurus ransum di masjid dengan kondisi kehamilannya yang sudah semakin dekat dengan melahirkan, dan ini adalah persalinan pertamanya-namun ia meyakinkannya jika ia hanya ingin membantu kedua adiknya. Kendatipun begitu, Gabriel akhirnya menyerah dan ia berkeras untuk tetap mengawasi istrinya tak jauh dari masjid.

Sekarang kram itu datang lagi, lebih kuat dan lama daripada sebelumnya.

"Yah, itu benar, dik." Jehanne menyeka keringat di pelipisnya dengan punggung lengan gaunnya, wajahnya merah padam. Ia menyipitkan mata dan memegangi bawah pusarnya. "Kita punya lebih banyak kebun kurma bagus berkat dia."

Perutku mulas sekali. Apa... apa ini sudah waktunya?

"Kak? Kau baik-baik saja? Wajahmu merah padam."

Jehanne tidak sadar ia sudah berhenti berjalan dan bersandar di dinding dekat pintu belakang kastil, mencengkeram perutnya yang semakin mengencang dengan napas terengah-engah ketika Arslan menyahut.

The Redemption of SuccubusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang