Vingt trois - Paris In The Rain

95 22 1
                                    

Jangan lupa vote dulu:)
Happy reading^^

[Chapter 23]


-o0o-

Setelah ditolong oleh Arjuna, Sak tanpa mengucapkan terima kasih segera pergi menjauh. Dia masih berharap bisa mengejar mobil orangtuanya meski mobil itu sudah raib, menyatu dengan kendaraan lain, membuat Sak kebingungan.

Gadis itu mengusap air matanya kasar, dia harus kuat meski keadaan sekarang sangat menyedihkan. Bayangkanlah, Sak sudah nyaris sepuluh tahun tidak bertemu dengan orangtuanya dan ketika akhirnya bertemu, mereka justru mengabaikan dan memilih sibuk dengan anak perempuan tadi. Selama ini, om dan tante nya pun tidak pernah memberi kabar soal mama dan papanya. Entah karena apa, yang pasti sepuluh tahun terakhir ini akses Sak soal orangtuanya benar-benar terputus.

Dan sekarang gadis itu berada di Paris, tempat mama dan papanya kini tinggal. Sak tidak akan menyia-nyiakan peluang ini. Dia kembali mengeluarkan secarik kertas berisi alamat rumah orangtuanya. Sak akan mencari rumah itu, siapa tahu mama dan papanya membawa Lau pulang ke rumah. Dia bertanya arah pada beberapa orang dengan bahasa Prancis yang patah-patah, sesekali memakai bahasa tubuh.

Dua jam mencari, Sak akhirnya sampai di sebuah rumah sederhana. Dia menaiki undakan tangga lalu mengetuk pintu dengan yakin. Tiga kali ketukan dan belum ada respon, Sak mulai cemas. Gadis itu berdiri gamang sambil terus mengetuk, menimbulkan bunyi berisik yang mengundang tetangga keluar rumah.

"Kamu mencari siapa?" tanya seorang wanita paruh baya dalam bahasa Prancis.

"E-em, apa benar ini rumah Mr. Samuel Alvis?" Sak balik bertanya dalam bahasa Prancis yang terdengar kaku dan aksen yang aneh.

Wanita paruh baya itu mengeryit sesaat, meneliti penampilan Syakira dari atas sampai bawah. "Iya, benar, lalu siapa kamu?"

Sak tersenyum lebar, dia merasa bersyukur telah menemukan alamat yang tepat. Setidaknya tidak akan ada drama salah alamat atau alamat palsu seperti lagu dangdut lawas itu.

"Saya anak perempuan Mr. Samuel yang selama ini tinggal di Indonesia."

"Oh, saya kira Monsieur Samuel hanya mempunyai satu anak saja, yaitu Laura."

Sak hanya tersenyum sopan sebagai tanggapan, tidak tahu harus bicara apa disaat dia sendiri tidak mengenal Laura. Wanita itu lantas meminta Sak untuk tidak berisik, setelah Sak mengangguk barulah wanita itu kembali ke rumahnya.

Sak memutuskan untuk menunggu mama dan papanya pulang. Mungkin sekarang mereka sedang berada di rumah sakit, mengurus si Lau itu yang tadi terlihat kesakitan. Sak duduk di undakan tangga, menopang wajah dengan kedua tangan yang bertumpu pada lutut.

Dia melirik jam tangannya, pukul setengah satu siang. Seharusnya Sak sedang makan siang dengan Arjuna sekarang. Tapi Sak tidak tahu bagaimana cara menghubungi Arjuna, tidak ada wifi di sini. Dia tidak bisa mengakses internet karena tidak memiliki kartu, nomor ponsel yang dia pakai saja masih nomor Indonesia.

Sebenarnya bisa saja Sak berkeliling dan mencari makanan halal yang bisa dimakan, tapi mendadak dia tidak mau meninggalkan rumah ini, takut ketika Sak pergi mama dan papanya justru datang. Maka, Sak hanya bisa menahan lapar sambil menunggu. Sepuluh menit pertama, dia masih betah bengong di undakan tangga. Sampai tiba-tiba setetes air jatuh mengenai hidung dan pipinya, Sak mendongak untuk kemudian mendapati tetes air yang semakin deras. Hujan turun membasahi bumi.

Syakira bergeming di tempatnya, membiarkan sekujur badan basah terkena air hujan. Dia berusaha untuk tidak beranjak sedikitpun dari duduknya. Sak terus menunggu di tengah ketidakpastian, meneguhkan tekad, menegarkan hati, menguatkan diri. Wanita paruh baya tadi sudah tiga kali keluar dari rumah, berbaik hati menyuruh Sak menunggu di rumahnya yang ada di sebelah. Tapi gadis itu keras kepala, menggeleng pelan, menolak.

Hujan baru berhenti tepat ketika pukul 17.30, Sak mengusap wajah dan rambutnya yang masih basah, dia juga melepaskan mantelnya. Syakira menggigil kedinginan setelah kehujanan selama berjam-jam, gadis itu berdiri kemudian berjalan mondar-mandir sambil sesekali mengusap-usap lengan, memeluk dirinya sendiri.

Sebuah mobil merapat di sisi jalan, Sak dengan semangat melangkah mendekat. Akhirnya yang ditunggu tiba juga, mama dan papanya keluar dari mobil bersama perempuan muda bernama Laura. Mereka tampak kaget sekaligus bingung melihat Sak dalam keadaan berantakan dan serba basah.

"Mama, Papa," panggil Sak dengan suara bergetar.

"Siapa?" tanya papanya dalam bahasa Prancis, pria itu tidak mengenali sosok gadis berambut blonde itu.

"I-ini Sak, Papa. Long time no see." Sejujurnya hati Sak seperti diremas ketika papanya bertanya siapa dirinya.

"Syakira?" Mama menatap Sak dengan pandangan sendu, kerinduan seolah bergumpal-gumpal di sana. Setidaknya itulah arti tatapan mama bagi Sak.

"Lau, kamu masuk ke rumah ya. Langsung istirahat, tidur." Papa berujar lembut, mengelus rambut Laura dengan sayang. Tanpa banyak tanya, Lau segera melangkah ke rumah setelah tadi sempat tersenyum tipis pada Sak.

"Itu anak Mama sama Papa, ya?" Sak bertanya usai menyaksikan interaksi hangat orangtuanya dengan Laura.

"Iya, dia anak kami."

Sak meneguk salivanya susah payah. "Kok ... bisa?"

"Kenapa kamu bisa ada di sini?" Bukannya menjawab, papa justru melemparkan pertanyaan lain. Dari nada bicaranya, Sak menangkap sedikit rasa tidak suka di sana.

"Memangnya nggak boleh ya, Sak ada di sini?"

"Ya, kamu nggak boleh di sini. Kamu harus segera pulang," tegas papa.

"Papa kamu benar, sayang." Mama mengangguk, menyetujui kalimat papa.

"Ke-kenapa?" Sak berusaha berbicara dengan lancar sambil mati-matian menahan tangis.

Keduanya hanya menggeleng pelan, enggan menjawab. Sak menundukkan kepalanya, mulai menyesali keputusannya untuk datang ke Paris. Jika sejak awal dia tahu hasilnya akan begini, Sak tidak akan nekat pergi kemari.

"Papa dan mama sayang sama Sak, nanti kita bisa kumpul bareng lagi sama Bang Davis juga. Tapi sekarang Sak pulang ya ke Indonesia." Mama membujuk. "Mau mama antar ke bandara?"

Sak yang masih menunduk segera mengusap kasar pipinya kemudian mendongak dan menggeleng tegas. "Nggak perlu, Sak bakal pulang sendiri." Setelah itu, Sak berbalik badan, melangkah menjauhi mama dan papanya dengan air mata yang tidak bisa lagi ditahan.

Di bawah payung senja, gadis itu menangis dipenuhi keputusasaan. Kini Sak menyadari, kedatangan dirinya ke Paris adalah sebuah kesalahan, mama dan papanya sudah menemukan anak baru, Sak sudah tidak dianggap, malah disuruh pulang begitu saja. Di Indonesia, Sak tidak punya siapapun lagi, Bang Davis pergi entah kemana. Lalu, di Paris, mama dan papanya pun menolak kehadiran Sak. Kehidupan gadis itu sudah tamat.

Langit kota Paris menggelap usai senja yang menawan, namun memilukan bagi Syakira. Jalanan sepi sebab rintik hujan kembali turun sedikit demi sedikit, tak butuh waktu lama sampai menjadi deras. Sesekali petir menyambar, membentuk akar serabut di langit yang kemudian hilang dalam sekejap. Angin musim gugur ditambah hujan badai adalah perpaduan suhu paling dingin. Malam ini, nuansa romantisme kota Paris tenggelam dalam deraian air yang tak berkesudahan.

Seperti Syakira yang tenggelam dalam lubang kepedihan. Gadis itu terus melangkah tak tentu arah, tidak peduli hujan mengguyur. Ini kedua kalinya dia menangis dalam hujan setelah hari itu.

Kaki gadis itu membawanya ke tengah jembatan, lalu menepi dan menyentuh pagar pembatas. Seharusnya dia menggigil karena besi itu terasa dingin. Tetapi, semua indra perasa gadis itu seolah mati. Sempurna mati rasa. Sak menengok ke bawah, pada Sungai Seine yang terus mengalir. Jika dia jatuh ke bawah sana maka dapat dipastikan dirinya akan membeku. Rasa sakit atas luka lama yang belum kering, serta luka yang masih basah pun akan ikut membeku. Dia tidak akan merasa sesak lagi seolah ada yang menghimpitnya. Sak hanya perlu menjatuhkan diri ke bawah sana, lagipula kehidupannya sudah berakhir, kan?

-o0o-

Apa pendapatmu tentang bab ini? Komen yaa

See u in next chapter 👋

You Are Strong [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang