39; lost

433 56 5
                                    

Play mulmed📍

Aku memperhatikan sekitar, aku berjalan di sebuah ruangan serba putih, tanpa alas kaki, langsung bersentuhan dengan lantai yang dingin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku memperhatikan sekitar, aku berjalan di sebuah ruangan serba putih, tanpa alas kaki, langsung bersentuhan dengan lantai yang dingin.

Aku sedang dimana?

Bukankah tadi aku sedang menangis di dalam kamar?

Aku memeluk diriku sendiri sambil terus berjalan, di sini sangat dingin. Aku terus berjalan tanpa arah, berjalan sendirian tanpa melihat apapun selain warna putih ternyata sedikit menakutkan, ditambah aku bahkan bisa mendengar nafasku sendiri saking sunyinya.

Sebuah suara terdengar, aku menengok ke kanan kiri, mencari tahu dari mana asal bunyi piano yang entah kenapa membuat aku merasa tenang.

Lantunan nada masih terdengar, aku melangkah mengikuti melodi yang sepertinya sedang mengajak aku bermain, semakin aku mendekat suaranya semakin menjauh.

Aku terus berjalan, mengikuti melodi dan kemanapun kakiku melangkah. Sampai suara itu benar-benar hilang, dan aku berdiri di sebuah pintu besar berwarna cokelat. Pintu setinggi dua orang dewasa menjulang gagah di depanku.

Apa aku harus masuk ke sana? Nanti apa yang aku temui di dalam?

Aku menengok ke belakang, situasinya masih sama seperti yang lalu, ruangan lenggang serba putih.

Dengan meyakinkan diriku sendiri, aku memutar pelan gagang pintu. Walaupun pintunya besar dan tinggi, tapi membukanya sangat mudah.

Ketika aku membukanya, belum terlihat apapun dari sini, aku melangkah masuk, setelah benar-benar masuk ke dalam ruangan ini, tiba-tiba pintunya menghilang. Begitu saja, tanpa jejak.

Ruangan ini gelap, aku takut, karena aku benci kegelapan. Tapi sepersekian detik setelahnya, cahaya mulai datang.

Seharusnya aku senang, tapi pemandangan di depan sana membuatku mematung dan terdiam.

Di depan sana, aku melihat diriku sendiri yang terlihat sangat berantakan. Bermandikan tepung terigu yang basah terkena air, lalu orang-orang di sana hanya tertawa melihatku, sedangkan aku terlihat berusaha mati-matian menahan tangis.

Aku melangkah, mencoba pergi ke sana dan menolong diriku sendiri, tapi sebelum sampai, tiba-tiba mereka semua hilang, ruangan ini kembali menjadi kosong.

Aku berulang kali memutar badan dan berlari kesana-kemari, karena lelah, aku berhenti. Dan tepat ketika aku berhenti, sebuah pemandangan lain terlihat di depanku.

Aku melihat diriku sendiri yang sedang di kunci di kamar mandi setelah di siram air bekas cucian pel yang terlihat menghitam.

Dan mereka yang mengerjaiku hanya tertawa lalu pergi dari sana. Aku mencoba membuka pintu bilik kamar mandi, di dalam sana terdengar suara tangisan. Aku berulangkali mencoba membuka pintu yang dikunci dan kuncinya mereka bawa. Aku menabrakkan diriku ke pintu itu, mencoba menyelamatkan aku yang berada di dalam sana.

Ketika terbuka, lagi-lagi semuanya menghilang dan menghitam, sangat gelap, aku tidak bisa melihat apapun. Kini yang kudengar hanya suara tawa yang memekik di telingaku, bersahut-sahutan, menertawaiku yang sedang kesakitan, memperlihatkan bahwa mereka senang aku terluka.

Aku menutup kedua telingaku, lalu berteriak sekuat-kuatnya. Tawa mereka menyebalkan, tawa mereka membuatku muak.

Mataku terbuka, langit-langit putih dan cahaya dari lampu tumblr berwarna kemuning membuatku sadar, bahwa aku baru saja mengalami mimpi buruk.

Keringat dingin menetes pelan di dahiku, tiba-tiba saja aku merasa sesak, sesak yang selalu saja membuatku kesal. Dengan segera aku mengambil inhaler di atas nakas dan memakainya, sesaknya berangsur turun dan aku bisa bernafas dengan nyaman.

Kenapa? Ketika hidupku saja sudah buruk, kenapa mimpiku ikut-ikutan jadi buruk? Kenapa hal yang sangat ingin aku lupakan justru menjadi lebih sering teringat?

Aku berusaha berlari sejauh-jauhnya, tapi ternyata, aku sampai di tempat dimana aku memulai, sungguh hal yang sia-sia.

Dari balik tirai jendela, sinar bulan menelisik masuk tanpa permisi. Aku melihat jam di dinding, yang menunjukan pukul dua pagi. Aku bahkan baru tertidur satu jam yang lalu.

Aku berdiri dan melangkah menuju jendela, tertarik dengan beberapa helai sinar bulan yang terlihat indah, aku menyibak korden dan melihat bulan yang bersinar cerah dari balik kaca. Bulan purnama, bulannya benar-benar bersinar penuh.

"Walau kelihatan meninggalkan, sebenernya separuh bulannya masih disampingnya, masih menemani."

"Yang separuh lagi, yang ngga bersinar, yang dirasa ngga kelihatan, atau mungkin tak terlihat karena cahaya terang separuh yang lain."

"Dia menemani, tanpa memaksa untuk diakui."

Lalu tanpa permisi, suaranya terdengar di telingaku. Suara orang yang mampu melukaiku begitu dalamnya. Aku menggelengkan kepala kuat-kuat, mengusirnya jauh-jauh dari pikiranku.

Aku termenung memperhatikan bulan yang ada di atas sana sendirian, tanpa bintang, apa dia juga merasa kesepian? Kalau iya, berarti kita sama, sama-sama kesepian.

Cukup lama hanya termenung, aku menutup kembali kordennya dan melangkah menuju meja belajar. Aku duduk di kursi dan membuka laci, mencari buku tua bersampul warna biru yang sudah pudar, yang berada di tumpukan paling bawah buku-bukuku.

Dan ketemu, aku meletakkannya di atas meja. Seperti yang sudah kubilang, ini hanya buku tua yang sampulnya sudah terlepas lalu aku lem seadanya, warna birunya sudah pudar dimana-mana, beberapa helai kertas bahkan sudah mulai copot.

Tapi istimewanya, dia punya semua cerita hidupku, dia berisi keluhanku tentang bumi dan semua orang di dalamnya, berisi harapan dan mimpiku di esok hari, berisi cerita-cerita yang tidak aku bagi dengan siapapun, berisi rasa sakit dan ketakutan-ketakutanku, pada apapun.

Aku membukanya pelan dan berhati-hati, lalu mulai menuliskan sesuatu di dalam sana, menuangkan satu-persatu kata yang akhirnya memenuhi tiap barisnya.

Setelah beberapa saat, aku sudah menulis sebanyak dua lembar. Aku berhenti menulis dan terdiam, termenung, apalagi sekarang?

Aku pernah bertanya, kalau aku tiba-tiba menghilang dari bumi, bagaimana reaksi orang-orang? Apa mereka akan khawatir? Atau tidak tahu bahkan tidak peduli?

Dulu, aku tidak mau tahu jawabannya karena aku takut akan kecewa, tapi sekarang, sepertinya aku sudah bisa menebaknya.

Kalau aku menghilang, mungkin sama halnya seperti jejak langkah yang di hapus ombak. Tidak dianggap, bahkan tidak tahu bahwa ia pernah ada.

Aku lelah, aku tidak punya tujuan, aku tersesat, entah ada di mana. Aku tidak punya rumah untuk di jadikan arah pulang, aku tidak tahu dimana halte bus untuk sekedar dijadikan tempat singgah.

Sebanyak apapun aku tersenyum, aku tidak baik-baik saja. Sekeras apapun aku tertawa, aku tidak merasa senang. Dan sederas apapun aku menangis, tidak ada yang sembuh.

Aku berjalan ke ranjang, duduk disana, lalu meraih botol obat di atas nakas. Obat tidur, sebanyak apapun aku meminumnya, nyatanya obat ini tidak mampu membuatku tidur nyenyak.

Aku membuka dan menumpahkan seluruh isinya di tanganku.

Aku nahkoda kapalku, aku pemimpin hidupku, aku berhak memilih apapun yang aku mau. Pertanyaannya, apakah pilihan yang akan aku ambil ini benar?

Aku memperhatikan puluhan pil di tanganku, tanpa ragu, aku menyumpalkan semuanya kedalam mulut. Lalu dengan cepat meraih gelas di atas nakas dan meminumnya, lalu aku merebahkan diri dengan lemas.

Tuhan, maaf Gaeul menyerah. Gaeul sudah sangat lelah.

Dan untuk Bunda dan Ayah, tunggu sebentar ya, Gaeul datang. Kita akan jadi keluarga utuh yang paling bahagia.

You're Missing [Re-upload]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang