20 Juli 20xx
Dear diary.
Sekarang jam dua pagi, aku terbangun setelah satu jam tertidur. Alasannya masih sama seperti malam-malam yang lalu. Mimpi buruk. Ketika kehidupanku saja sudah buruk, kenapa mimpiku ikut-ikutan jadi mimpi buruk?
Aku sudah tujuh belas tahun hidup di bumi, ternyata sudah lama juga. Selama itu, apa saja yang sudah terjadi? Pasti sudah banyak yang terjadi, tapi aku terlalu malas mengingat-ingat.
Di luar cerah, bulan purnama sedang menemani kota Seoul dengan romantisnya. Sedangkan aku sendirian di sini, tanpa siapapun. Ya, seharusnya aku sudah terbiasa, tapi ternyata, sesering apapun rasa sakit datang dan pergi, ketika datang lagi, rasa sakitnya masih sama, padahal seharusnya sudah terbiasa.
Aku bosan dengan hidupku, besok aku tebak aku hanya akan disiram air di sekolah, membuka loker penuh sampah, ditertawakan di sana-sini. Lalu apa? Malamnya aku hanya akan menangis sampai tertidur, lalu terbangun dengan mimpi buruk. Selalu saja begitu, mau sampai kapan?
Jungwon, sekarang kamu pasti sedang tidur ya? Kamu tahu, hari esok yang kamu janjikan akan baik-baik saja tidak kunjung datang, aku lelah menunggu. Kapan? Kapan hari baik itu datang? Apa aku yang salah karena terlalu banyak berharap?
Aku senang kamu selalu memelukku ketika aku sedih, aku senang kamu tetap menghiburku walau aku bilang aku baik-baik saja. Aku senang punya kamu di hidupku.
Aku sadar sudah terlalu menuntut banyak hal dari kamu untuk diriku sendiri, aku egois, aku lupa kalau kamu juga punya kehidupan, kamu ngga bisa melulu memeluk dan menghiburku, kamu ngga bisa harus bersamaku tiap detiknya.Sudah banyak yang kamu korbankan untuk aku, bahkan kamu memilih pergi dari pelukan orang yang kamu sayang hanya untuk memelukku. Aku senang, aku senang sekali karena kamu mau kehilangan banyak hal untuk aku, tapi aku juga sedih, aku sedih karena aku penyebab kehilangan itu, karena aku alasan kamu kehilangan kesenanganmu.
Jungwon, kamu sangat baik, baik sekali. Jangan pernah berubah ya? Aku tahu semua yang ada di bumi itu berubah-ubah, pun dengan hati manusia, tapi kalau boleh aku minta, tetap jadi Jungwon yang aku kenal ya? Aku mungkin belum pernah bilang, tapi aku itu sayang sama kamu, sayang sekalii, sayangnya aku belum bisa memberi pembuktian rasa sayangku.
Sudah lama aku tidak hujan-hujanan bareng kamu, aku sudah tidak lagi menungguimu bekerja, tidak lagi jalan-jalan di tepi sungai Han. Sebenarnya, aku rindu semua itu.
Aku harus menulis apa lagi ya?
Park Sunghoon, aku masih ingat dengan jelas pertemuan pertamaku denganmu. Kamu yang terluka di depan toko, lalu aku yang tiba-tiba ikut campur dan membantumu. Kalau saja hari itu aku memilih pulang dan tidak peduli, apa ceritanya akan jadi seperti ini?
Kamu tahu, kamu orang yang berhasil merebut rasa cinta yang aku beri untuk Jungwon. Kamu yang berhasil merubah ruangan yang tadinya hanya berisi Jungwon, dan mengganti lalu mengisinya dengan dirimu sendiri. Aku tidak tahu pastinya sejak kapan, tapi yang jelas, kamu menguasai ruangan yang besar di dalam hatiku, dan bodohnya, aku memberimu kunci pintu itu, membiarkanmu seenak jidat memakainya.
Padahal, seharusnya aku tahu, kehadiranmu adalah sebuah kesalahan, sejak awal. Kamu datang dengan sebuah kebohongan, yang bodohnya aku percayai. Kamu dengan hebatnya mencuri semua perasaanku, rasa senang, rasa sayang, rasa cinta, kepercayaan, padahal kamu hanya akan menghancurkannya.
Dan kamu berhasil menghancurkannya. Kamu mengajakku terbang dan memberiku sepasang sayap. Lalu saat aku sudah terbang tinggi, kamu mematahkan sayap yang kamu beri, hanya untuk membuatku jatuh, patah, lalu hancur. Menabrak pohon, menghantam bebatuan, untuk selanjutnya terpelanting ke tanah, lalu mati.
Tapi separah apapun luka yang kamu beri, kenapa aku tidak bisa membencimu? Kenapa sulit sekali marah kepadamu dalam waktu yang lama? Apa iya aku sudah mencintaimu sedalam itu? Kenapa sulit sekali menguasai perasaanku sendiri?
Aku tidak membencimu, bahkan aku sudah memaafkanmu, tapi bukan berarti aku melupakan setiap inci rasa sakit yang kamu beri. Semesta memperlakukan cerita kita semaunya, dan pada akhirnya, kita hanya jadi dua orang asing, yang saling mengetahui satu sama lain.
Tapi, kamu harus ingat satu hal. Takdir bukanlah suatu pembenaran untuk membalas dendam. Hidupmu terlalu singkat hanya untuk memberi orang lain pelajaran. Kalau kamu ingin balas dendam, seharusnya kamu hidup senang dan bahagia. Sudah, itu saja.
Dan tentang pertanyaanmu waktu itu, ketika kamu memberiku kalung berliontin bintang jatuh, kamu bertanya harapanku bukan? Dan aku belum menjawabnya, sebenarnya aku punya beribu harapan, yang sepertinya hanya akan tetap menjadi harapan, untuk selamanya.
Sudah deh, menceritakanmu hanya membuat aku sedih. Bahkan hal-hal manis yang seharusnya menjadi kenangan indah, sekarang terasa hambar, lalu berubah menjadi pahit.
Bunda? Bunda sedang apa di sana? Pasti Bunda sangat cantik. Apa disana ada tteokbokki? Ayah bilang Bunda sangat suka dengan tteokpokki. Apa Bunda tidur dengan nyenyak di sana? Bagaimana kasur disana? Pasti sangat lembut ya?
Aku rindu bunda, bunda sabar dulu ya, sebentar lagi Gaeul datang. Kita akan memakan tteokpokki dan mendengarkan lagu bersama-sama.
Oh iya bunda, Gaeul mau bercerita, bunda tahu? Semesta memperlakukan ceritaku dengan sangat jahat, seharusnya bunda disini, dan memarahi siapapun yang melukai putri kecilmu ini.
Bukankah Gaeul kuat, Bunda? Putri kecil bunda ini mampu menghadapi banyak kejadian buruk, dan bertahan sampai saat ini. Tapi Gaeul lelah, Bunda. Gaeul lelah terus-menerus bertahan.
Bunda, Gaeul akan menyerah.
Iya, Gaeul menyerah melawan semesta, Bunda. Baterai berisi kekuatan milik Gaeul sudah berkelip-kelip memancar cahaya berwarna merah.
Kalau Gaeul menyerah, Gaeul sudah tidak perlu lagi membawa inhaler kemana-mana, Gaeul tidak perlu lagi merepotkan Jungwon, Gaeul tidak perlu lagi membawa lima buah seragam ke sekolah.
Gaeul beoleh menyerah kan, Bunda......?
»»»»»«««««
Pada akhirnya, sang tokoh utama memilih menghilang, begitu saja, untuk selama-lamanya.
Ia menikmati rasa sakit sendirian dalam sunyi, berteman lampu kemuning yang berkelap-kelip, juga dengan sinar bulan yang mengintip dari balik jendela.
Ia terisak, mengalirkan butiran rasa sakit yang terpendam. Nafasnya memburu, ia menikmati rasa sakit yang begitu hebatnya menyerang.
Bukan salah semesta, bukan juga salah orang-orang yang menyakitinya, semua adalah pilihan yang ia ambil sendirian. Apakah akhirnya berakhir seperti ini? Seberantakan ini?
Mata yang basah itu berkedip-kedip lemas dengan pelan, sebelum kegelapan yang sangat ia benci mengambil alih seluruh penglihatannya, ia berucap dengan lirih, memberikan ucapan selamat tinggal paling sederhana.
"Annyeong, semesta dan semua orang di dalamnya. Semoga kita bertemu lagi dengan skenario yang jauh lebih baik."
"Selamat tinggal rasa sakit, selamat tinggal kesendirian. Gaeul pamit ya."
Ia pergi dengan sebuah tujuan yang jelas, menutup matanya yang basah karena tangisan. Nafasnya berubah pelan, detak jantungnya mulai berdetak tidak beraturan, lalu melambat.
Cerita ini berakhir, karena tokoh utamanya memilih menyerah dan meninggalkan cerita berantakan ini begitu saja.
Cerita ini sudah berakhir? Iya, sudah selesai. Cerita sederhana yang justru berakhir berantakan.
<<END>>
Oh, wow, ceritanya selesai. Bagaimana menurutmu?
Sebenarnya, di kepala saya sudah ada extra chapter, cuma belum ditulis. Jadi, mau extra chapter atau ceritanya cuma selesai di sini?
KAMU SEDANG MEMBACA
You're Missing [Re-upload]
FanfictionMenghilang atau kehilangan, menyakiti atau disakiti, kamu pilih yang mana?