"Si onta?" Mail menaikkan sebelah alis ketika Gusti menurunkan HP dari kuping setelah selesai menjawab telepon.
Mereka berdua sudah ada di boarding gate Terminal 3 Domestik Soekarno-Hatta.
Cuma berdua.
Harusnya bertiga dengan Zane. Ketemu langsung di bandara karena sohibnya satu itu masih ada acara sampai sore. Tapi sampai sekarang, sekitar tiga puluh menit sebelum jadwal keberangkatan, bocah itu belum tampak juga batang hidungnya.
Di antara enam orang yang rencananya tinggal serumah dengan mereka semua, Bimo dan Sabrina sudah berangkat duluan Minggu lalu. Langsung caw begitu UAS hari terakhir Sabrina beres. Sementara itu, Iis berniat menyusul besok, menunggu Linggar, cowok yang lagi PDKT dengannya, beres mengurus administrasi magangnya sendiri.
Nggak kok, Linggar nggak magang di Bali juga. Dia ke Surabaya, tapi emang dasarnya tengil, sok-sokan mau nganter, padahal lebih praktis kalau Iis berangkat bareng Gusti dan Mail.
"Yep. Jadinya nyusul midnight nanti. Nggak kekejar mau berangkat sekarang."
Mail berdecih pelan, tapi nggak ambil pusing—segera berdiri dari kursinya dan mengajak temannya siap-siap saat kemudian mulai terdengar last call penerbangan mereka lewat pengeras suara.
Zane masih akan tetap tajir meski nggak bisa refund tiket. Jadi nggak perlu mencemaskannya. Justru mereka berdua yang apes, karena nggak jadi nebeng jemputan sang sultan dan kudu mengeluarkan ongkos taksi sendiri dari Ngurah Rai ke Kayutulang.
Lalu, omong-omong soal pembicaraan mereka di gazebo depan perpus pusat beberapa minggu lalu, sesuai rencana, sampai detik ini si onta belum tahu kalau Iis dan Sabrina, pacar Bimo, akan tinggal bersama mereka.
Sebenarnya, Iis sempat rotes lagi di detik-detik terakhir kemarin.
"Nanti kalau dia kaget gimana? Tau-tau lihat Sabrina sama gue di kontrakan?" Cewek itu heboh membayangkan suasana bakal kacau, berhubung Zane pastinya sudah berekspektasi tinggi soal kehidupan tenteramnya selama di sana.
"Zane nggak fobia cewek. Tenang aja." Gusti mewakilkan semuanya untuk menenangkan Iis.
"Bukan gitu, Gus ...."
"Tenang, please."
Iis manyun.
Dan manyunnya Iis tuh gemesin banget, kayak Marsha di Marsha and The Bear. Mail jadi tergoda untuk melempar tasnya ke atap Sekret BEM biar makin manyun.
~
"Nanti nemenin yang lain survey lokasi jam berapa?" Jam setengah tiga dini hari. Kelar gosok gigi, Sabrina beringsut ke sofa dekat jendela yang dibuka lebar-lebar.
Bimo sendiri sedang duduk bersila di kusen jendela, merokok. Kalau sudah tahu merokok satu batang setelah makan itu berbahayanya sama dengan merokok sepuluh batang tapi tetep ngeyel, Sabrina pantas angkat tangan. Meski jarang-jarang dan asapnya nggak dihembuskan ke depan mukanya, dia tetap kesal.
"Subuh. Biar sekalian jogging," jawab yang ditanya seraya menekan ujung rokok yang sudah pendek ke dasar asbak.
Bimo bukan perokok berat. Tadi cuma gabut aja. Dini hari begini kebangun mau ngapain?
"Kayak bisa bangun pagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Wrongful Encounter [COMPLETED]
פרוזה"Iis daripada ngekos sendiri, tinggal bareng kita aja, gimana?" Mendengar tawaran Bimo yang terdengar tercela itu, semua kepala kontan menoleh. "Dan jadi babu kalian, gitu? Thanks, but no thanks." Cewek berbudi luhur itu menggeleng, masih sempat-sem...