17 | bad kind of butterflies

9.3K 1.3K 58
                                    




17 | bad kind of butterflies



"Ini nggak kayak yang kamu kira." Bimo berusaha menjelaskan saat tidak sampai sepuluh menit kemudian dia telah kembali ke kamar.

Sabrina berdiri kaku dengan kedua tangan terlipat di dada, memandangnya tajam dengan rahang mengatup rapat. Lebih mirip istri yang habis memergoki suami selingkuh. Membuat Bimo berulang kali mengacak rambutnya sendiri dengan frustasi.

"Aku kira?" Sabrina mengembalikan ucapan pacarnya dengan sinis.

Bimo membuka mulut, seperti hendak menjelaskan lebih lanjut. Tapi hingga beberapa lama kemudian, tidak kunjung ada suara yang keluar karena tidak berhasil menemukan kalimat yang pas.

"Kita udah bertekad nggak ngapa-ngapain, jadi kenapa benda ini ada di dompet kamu?" tanya Sabrina lagi dengan tatapan yang belum berkurang juga tajamnya.

Bimo frustasi. "I'm not sleeping around. You know that."

"Kita baru setahun kenal, so ... I'm not sure I know you that much." Sabrina mengangkat bahu.

Benar-benar menyebalkan. Bimo menoleh sekeliling. 

Sabrina bahkan nggak membiarkannya duduk dulu sebelum memberondongnya dengan berbagai tuduhan.

Menemukan tempat tidur adalah tempat duduk terdekat, Bimo lalu duduk di tepi ranjang. "Duduk dulu, Babe. Masa duduk aja nggak dipersilakan?"

Masih dengan muka nggak enak dilihat, Sabrina menyusul duduk di sebelahnya.

"I'm really sorry, udah bikin kamu nethink. Tapi ini bukan sesuatu yang perlu kamu khawatirin." Bimo mulai bicara lagi tanpa terpengaruh muka galak pacarnya. "I know, kita udah janji ke Papi kamu untuk nggak akan ngelewati batas, but ... who knows?"

"Who knows what?"

"I prepared for the worst." Muka Bimo merah padam saat mengatakannya. "Aku bersumpah nggak akan ngajak kamu berbuat yang enggak-enggak karena menghormati kamu, but if the invitation came from you, I might get swayed."

Alis Sabrina berkerut. Sebelah sudut bibirnya tertarik tidak senang. Ya kali dia ngajakin Bimo duluan?

iya, memang, dia sering panas dingin kalau sudah berduaan dengan pacarnya itu, apalagi sejak tragedi Mail-Regina di gazebo. Tapi lebih dari itu, Sabrina sadar betul secara fisiologis dan psikologis, nggak baik baginya untuk melewati batas.

Bagaimanapun juga, di momen ini dia tahu nggak ada seks yang nggak berisiko untuknya. 

Dia belum lama mulai pubertas. Hormon belum stabil. Tanpa birth control, biar pakai kondom juga nggak seratus persen aman. Ada kemungkinan terjadi kebocoran, lalu kalau hamil bagaimana? Dia masih Maba, Bimo belum lulus dan nggak punya penghasilan. Kalaupun Bimo mau tanggung jawab dan menikahinya, dia sendiri bisa kena baby blues, marriage blues, dan blues-blues yang lain. Tamat sudah riwayat mereka berdua! Mau seneng-seneng malah jadi bubrah!

"Udah deh, nggak usah dibahas lagi. Mual aku." Sabrina mendadak menciut, merasa ada yang mengaduk-aduk perutnya.

"Maaf."

"Hm." Sabrina naik duluan ke kasur untuk kemudian menyembunyikan diri di balik selimut. "Kamunya suka naruh dompet sembarangan gitu, kayaknya juga tadi ibu kamu udah sempet lihat itu kondom. Makanya beliau langsung nasehatin tadi."

"Sumpah?"

Asli, baru kali ini Sabrina merasa nggak berselera melihat tampang pacarnya.

Sebenarnya dia nggak masalah dengan alasan Bimo membawa-bawa benda itu. Tapi sedih nggak sih kalau orang lain mengira mereka macem-macem? Padahal french kissing aja bisa dihitung jari!


~


Gusti nggak pulang, dan saat ditanya baru ketahuan kalau dia bermalam di Uluwatu dan baru berencana kembali ke villa mereka di hari Minggu sore.

Iis dan Zane cuma bisa menggut-manggut memaklumi teman kampret mereka yang nggak berinisiatif mengabari kalau nggak ditelepon duluan. Padahal, sebagai yang sudah berasa kayak bapak dan ibu asuh anak-anak sekontrakan, tentu saja Zane dan Iis khawatir kalau nggak diberi tahu sama sekali.

Bahkan, dengan Mail yang kayak banteng liar saja, Iis dan Zane masih merasa perlu dikasih pengumuman jika memang berencana tidak pulang.

Tapi Ismail bin Mail tuh, ternyata dibanding keluar duit untuk menginap di luar—karena menginap di kos Regina bukan opsi yang nyaman, berhubung lokasinya berada di belakang sebuah bar yang bising di malam hari—maka pulang ke rumah, meski sudah lewat tengah malam adalah pilihan terbaik.

Zane sudah kembali ke kamar, dan tersisa Iis yang belum bisa tidur dan sedang goleran di gazebo ketika cowok jangkung-ramping itu memasuki rumah sambil menggendong pacarnya yang sudah teler.

Tidak lama setelahnya, Iis melihatnya turun ke dapur untuk mengambil minum.

"Pegel, Pak?" Iis ngeledek. "Badan cungkring gitu ternyata kuat juga bawa cewek naik ke lantai dua yaaa."

Mail tidak menyahut, cuma mendengus pelan.

Sejak berselisih kecil perihal Zane yang turun dari kamar karena katanya dia dan Regina berisik minggu lalu itu, Mail memang berusaha mengurang-ngurangi cari gara-gara dengan Iis. 

Nggak ada gunanya gitu lho. Cuma buang-buang energi.

Dia juga nggak ingin pulang-pulang dari Bali, dia dan Iis malah nggak bisa berteman lagi hanya karena ribut-ribut nggak penting selama mereka jadi teman serumah.

Kelar minum, Mail langsung kembali ke kamar. 

Sejenak cowok itu mematung di depan kasur, di depan pacarnya yang sudah terbang sepenuhnya ke alam mimpi.

Regina nggak mungkin dibangunkan lagi.

Tapi pakaiannya basah kena muntah dan keringat.

Agak mengherankan, karena tadi cewek itu cuma minum dua gelas Cosmopolitan saat mereka mampir minum sepulang lembur, padahal biasanya kuat minum banyak. 

Biasanya juga, mereka berdua pilih jalan kaki dari bar terdekat sampai ke rumah, tapi malam ini Regina terlalu teler sampai harus naik taksi online dan bermacet-macet ria di jalan.

Mail lalu membuka lemari dan mengambil selembar kaos random, sebelum kemudian melucuti pakaian Regina dan mengantinya dengan kaos miliknya yang bersih.

Dia bantu hapus makeup-nya dengan handuk basah, biarpun hasilnya nggak bersih-bersih amat.

Setelah itu, dia pergi mandi, dan turun lagi ke lantai satu untuk nyuci dan jemur pakaian.

"Ih, beha sama kampes cewek tuh nggak boleh masuk mesin, kali." Iis yang masih goleran di gazebo nyerocos duluan melihat Mail memasukkan pakaian satu persatu ke mesin, memisahkan yang putih dan warna cerah dengan yang berwarna gelap, tak sengaja melihat siluet bra di tangannya.

"Terus gimana?" Mail pasang tampang bego.

"Kucek, lah." Iis menjawab enteng.

Alis Mail kontan naik sebelah. "Masa gue nyuci daleman cewek pake tangan?"

"Badannya aja bisa lo obok-obok, masa nyuciin daleman doang nggak sudi?" Iis mencibir.

"Tau darimana gue ngobok-obok badan orang?"

"Well, beda servis beda suara."

"Anjrit. Tembok kamar gue tipis banget apa?"



#bersambung

Wrongful Encounter [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang