"Sabrina ...." Bukan cuma Sabrina yang tercenung, tapi Regina juga ikut mematung selama beberapa saat sebelum akhirnya buka suara.
Sabrina sendiri kontan menyumpah dalam hati.
Lain kali, jangan sampai dia menawarkan diri untuk membukakan pintu lagi! Demi apapun, ini adalah kali terakhir, titik. Sudah cukup dirinya dibikin repot oleh urusan orang lain!
"Nggak mungkin udah janjian sama Bang Mail, kan, Rei?" Melewatkan sesi ramah tamah, Sabrina langsung bertanya. Sebagai sesama manusia dan sesama perempuan, jujur dia sedikit tidak enak hati melihat orang yang berdiri di depannya ini terlihat kurang bugar, tapi sebagai teman Ismail yang jelas-jelas habis ditipu olehnya, dia harus tega. "'Cause doesn't seem like he wants to see you."
Regina mengangguk, kelihatan pilu. Kalau Regina nggak habis berbuat dosa, Sabrina mungkin akan memeluknya.
"Emang enggak janjian." Cewek itu mengaku, yang jelas membuat dahi Sabrina mengernyit.
Sabrina mungkin baru tujuh belas tahun sekarang, tapi dia yakin nggak akan se-ignorant dan se-selfish Regina di umur yang sama. "Please, don't put us into bigger trouble. Gue sama yang lain masih trauma sama kejadian minggu kemarin. Terlepas dari kita semua nggak tahu apa motif lo, yang lo lakuin ke kita itu jahat, Rei. Bukan cuma ke Bang Mail, tapi ke kita semua yang ada di rumah ini."
"Gue bukan mau apa-apa, Sab. I just worried about him. He doesn't look good this morning."
"Ya emang dia lagi sakit!" Kebangetan emang si Rei ini, Sabrina sampai mau nangis saking takjub. "Anak-anak sini semuanya juga sakit, at least mentally. Tolong sadar diri dong. Siapa yang bikin sakit kalau bukan elo? Please, pulang aja sebelum yang lain lihat. Mau tau kondisi Bang Mail doang, di kantor juga kan bisa."
"Siapa, Babe?"
Nah! Bimo sudah nanya duluan sebelum Regina pergi, gara-gara Sabrina kelamaan berdiri di depan pintu.
Belum sempat ada yang bergerak atau ada yang menjawab, cowok itu sudah tiba di belakang pacarnya, menguakkan daun pintu sedikit lebih lebar supaya bisa melihat siapa tamunya.
Sebuah helaan napas panjang kemudian terdengar di antara mereka.
"Elo, Rei." Bimo bersuara, ramah tiada terkira.
Sabrina melotot.
Bimo ini ada di pihak mana sih?
Bimo cuma mesem sebagai balasan pelototan pacarnya, sebelum kemudian pandangannya kembali fokus pada Regina. "How's it going?" Cowok itu basa-basi. "Sayang banget di teras nggak ada kursi. I really wanna hear from you, tapi sorry, sebaiknya enggak di dalem rumah, ya. Nggak enak sama yang lain."
Cowok itu mengangguk tipis ke pacarnya, memberi isyarat pada Sabrina agar masuk duluan.
Bukan urusan bocil, begitulah kira-kira kalau sorot mata Bimo diterjemahkan. Sabrina sudah paham betul bahasa tubuh pacarnya.
Merasa nggak ada gunanya nimbrung urusan orang dewasa, Sabrina langsung setuju dan segera permisi.
"Siapa, Sab?" Wajar kalau Gusti ikut-ikutan bertanya saat melihat Sabrina kembali ke sofa dengan tangan hampa.
"Regina." Sabrina sengaja menjawab hanya dengan gerak bibir tanpa suara, biar nggak ada yang dengar, sebelum kemudian dia duduk di sebelah Gusti.
"Ngapain Regina ke sini? Di kantor kan udah ketemu, masih belum puas aja bikin huru-hara? Heran, deh."
"Ssst." Sabrina menyuruhnya diam berbarengan dengan suara langkah kaki terdengar dari arah tangga.
Suara Gusti memang cuma berupa bisikan, tapi siapa tau kuping Mail lagi sensitif? Bisa makin panjang urusannya nanti. Masa mereka jauh-jauh ke Bali, kerjaannya bermuram durja terus?
![](https://img.wattpad.com/cover/248715093-288-k516499.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Wrongful Encounter [COMPLETED]
General Fiction"Iis daripada ngekos sendiri, tinggal bareng kita aja, gimana?" Mendengar tawaran Bimo yang terdengar tercela itu, semua kepala kontan menoleh. "Dan jadi babu kalian, gitu? Thanks, but no thanks." Cewek berbudi luhur itu menggeleng, masih sempat-sem...