14 | redhead
Setelah cukup makan dan cukup tidur, paginya Zane bangun dengan perasaan lebih baik. Kalau kata Gusti, lebih nriman.
Rachel masih lelap di sisinya ketika dia mendengar suara langkah kaki Sabrina yang khas—cepat, bersemangat—disusul suara pintu terbuka dan obrolannya dengan Bimo di kamar sebelah sebelum kemudian sepi lagi.
Di luar masih gelap. Dari kasak-kusuk yang terdengar tadi, sepertinya tetangganya itu berniat jogging ke pantai.
Zane melirik Rachel sekali lagi.
Acara yang akan dihadiri perempuan itu baru akan dimulai jam sepuluh siang, karenanya Zane santai saja membiarkannya puas istirahat.
Tapi sayang, tidak lama berselang dari kegaduhan Bimo dan Sabrina, ganti tetangganya yang lain yang membuat kerusuhan.
Suara gedebuk keras, diikuti suara mengaduh, lalu obrolan cukup keras pula. Agaknya, Ismail jatuh dari kasur.
Zane cuma bisa geleng-geleng kepala.
Susah-susah Bimo nyari villa yang semua kasurnya berukuran CalKing—biar Gusti dan Mail yang punya tinggi agak di atas rata-rata nggak protes kasurnya kurang panjang, dan biar nggak sempit jika ingin membawa pulang tamu masing-masing—nggak ada gunanya kalau yang tidur di atasnya adalah Mail bareng ceweknya. Dilihat dari kelakuannya saat masih terjaga yang kayak kuda jantan lagi birahi, nggak aneh kalau hiperaktifnya kebawa sampai alam mimpi.
Mendengar keributan barusan, Zane maklum kalau Rachel jadi ikut terbangun. Cewek itu mengulas senyum ke Zane dan menggumamkan, "Selamat pagi."
Zane balas mesem, meski agak pahit.
Bangun tidur dengan Rachel di sisinya adalah sesuatu yang dia impikan bisa terjadi setiap hari. Tapi kalau Rachel lebih bahagia hanya menjadi temannya, maka Zane tidak bisa memaksa.
"Nanti mau sarapan di luar aja?" Zane bertanya, mendadak ingat keribetan seisi rumah jika libur begini, menentukan mau sarapan apa bisa berjam-jam sendiri.
"Boleh ...." Rachel mengangguk, melirik sepintas ke arah jendela yang hanya tertutup gorden sheer.
"Mau jogging sama kayak yang lain juga?"
"Enggak, nggak bawa sepatu, terus mager."
Zane tertawa geli melihat muka mengantuk Rachel, mengelus belakang kepalanya dan membawa tubuhnya lebih dekat. "Ya udah, tidur lagi."
Andai Rach, andai bisa kayak gini terus ....
~
Tiga puluh menit sebelum workshop yang akan dihadiri Rachel dimulai, Zane dan tamunya itu sudah tiba di Mariott, venue acara.
Zane mengantarnya sampai lobby tempat stand banner berisi lokasi dan denah studio yang akan Rachel hadiri berada, memastikan perempuan itu tidak kekurangan suatu apa pun, sebelum kemudian berniat meninggalkan tempat ketika kemudian sebuah wajah familier lewat di depan mata.
Tidak sendirian, melainkan bersama seorang pria, kisaran usia pertengahan dua puluh tahun. Keduanya berjalan berangkulan ke arah elevator.
Zane mengekor dengan pandangan mata sampai kedua punggung itu hilang. Karena sekarang hari Minggu pagi, banyak acara, bukan hal aneh kalau lobby terasa ramai sekali hingga Zane tidak benar-benar yakin pada apa yang barusan dia lihat.
Lagi pula, agak impossible juga, karena baru beberapa jam lalu saat dia dan Rachel keluar dari rumah, sang objek yang dia kira dia lihat itu masih dikeloni Mail di kamarnya.
"Ngelihatin siapa?" Rachel yang sadar fokus Zane sedang teralihkan, menarik-narik pelan kemeja cowok di sebelahnya itu.
"Nggak ...." Zane menyahut tak yakin, sambil geleng-geleng kepala. "Cuma berasa familier aja."
"Mau disamper?"
"Enggak. Nggak kenal-kenal banget, kok."
Rachel lalu mengangguk-angguk. Mengecek arlojinya selintas, sebelum kemudian berjingkat sedikit supaya bisa mencium pipi Zane. "Bye, Zane."
"Nanti gue jemput?"
"Oke. Gue kabarin kalau udah kelar."
"Sip."
~
Sebenarnya Zane tidak berniat memikirkan apa yang dilihatnya tadi lebih lanjut.
Kalau pun itu memang Regina, nggak berarti apa-apa juga, dan dia paling anti menyimpulkan sesuatu hanya dengan sekali lihat.
Juga ... apa urusannya dengannya?
"Regina udah balik?" Tapi tetap saja Zane sedikit penasaran, sehingga kemudian dia iseng bertanya pada Mail yang sedang rebahan sambil menyeruput es degan di ruang tamu saat dia kembali ke rumah di siang hari.
"Yoi. Masa di sini terus. Kayak nggak punya kerjaan lain." Yang ditanya menjawab santai.
Zane ingin mencibir, tapi nggak jadi.
Nggak inget situ berdua selama ini udah kayak ABG kasmaran? Lengket terus ke mana-mana, mesra-mesraan nggak tahu tempat, sampe ML aja mesti di gazebo dan ketahuan Sabrina!
Tadinya, Zane mau lanjut naik ke kamarnya untuk pergi mandi, tapi melihat Gusti sedang sendirian di kamarnya yang pintunya terbuka, Zane memutuskan melipir.
"Cuy ...." Dia duduk di kasur, sementara Gusti duduk di sofa depan jendela yang juga terbuka lebar-lebar, lagi scrolling Netflix. "Sepi amat, pada ke mana? Terus, Regina balik jam berapa, deh? Tumben weekend cabut buru-buru."
"Penting banget nanyain cewek orang ke gue?" Gusti menjawab sensi tanpa menoleh. Bahkan dia nggak ingat Zane menanyakan dua hal.
Zane rada kesal karena temannya ini nggak ada peka-pekanya.
Kalau dia nggak nanya langsung ke Mail dan malah nanya ke Gusti, berarti kan emang lagi nggak mau ngomong langsung ke Ismail! Bego bener, dah!
"Kagak ... gue tadi kayak lihat dia di Mariott pas nganter Rachel, tapi nggak yakin bener dia apa bukan."
"Kalau emang dia terus kenapa?"
Zane sudah ingin melempar mulut Agus yang mancung kayak Suneo dengan sandalnya, tapi mendadak si ABG alay Sabrina keburu nyelonong masuk dengan seperangkat alat mewarnai rambut—cat, sisir rambut, sarung tangan, mangkuk kecil, dan beberapa lembar handuk.
"Sekarang aja ya, Mas?" Cewek itu duduk di sebelah Gusti, yang dengan sabar—kontras dengan sikapnya ke Zane—langsung menyingkirkan laptopnya dan memfokuskan diri ke cewek di itu. Seakan kurang bikin Zane jengkel, mukanya juga jadi lebih manis. Padahal Zane tadi cuma nanya pertanyaan simple yang nggak akan buang-buang waktunya untuk menjawab, sedangkan Sabrina ini bakal merepotkannya untuk durasi yang cukup lama lho!
Ubun-ubun Zane berasap. Masih dia lihatin ketika tak lama kemudian, pacar Sabrina mengekor masuk dengan semangkuk besar rujak buah.
Dan belakangan Zane jadi tahu kalau Gusti kampret yang pengalaman menyemir uban eyangnya itu telah berjanji akan mengecat rambut Sabrina hari ini, yang kebetulan lagi pengen coba-coba bereksperimen mumpung lagi nggak kuliah dan jauh dari rumah. Tebak apa warnanya? Yep, merah. Menyala.
#bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Wrongful Encounter [COMPLETED]
Ficción General"Iis daripada ngekos sendiri, tinggal bareng kita aja, gimana?" Mendengar tawaran Bimo yang terdengar tercela itu, semua kepala kontan menoleh. "Dan jadi babu kalian, gitu? Thanks, but no thanks." Cewek berbudi luhur itu menggeleng, masih sempat-sem...