"Gila lo, Bim." Iis melotot mendengar pengumuman Bimo barusan.
Iya, cohabitation memang bukan hal baru di telinga Iis. Tapi kalau yang melakukan adalah teman-teman dekatnya, kedengarannya tetap mengerikan. Apalagi, pacar Bimo yang sedang mereka bicarakan ini umurnya belum sebulan genap tujuh belas tahun! Apa nggak gila kalau Bimo nekat membawanya untuk tinggal bersama selama mereka semua magang dua bulan di Bali?
"Makanya, gue ajakin lo buat nemenin dia." Bimo menjawab kalem. Mukanya nggak ada sungkan-sungkannya. Emang dasar kayaknya Iis yang salah pergaulan. Dekat dengan cowok-cowok macam Bimo dkk ini membuatnya jadi harus sering istighfar. "Kamar kan banyak, sayang kalau dibiarin kosong. Lagian, di sana Sabrina bisa ambil banyak kegiatan, daripada dibiarin luntang-lantung di sini sendirian."
"Nggak sendirian juga, keleus. Proker dia masih banyak. Proker Kementerian lain masih butuh SDM juga. Ini Menterinya cabut, anggotanya ikut cabut, terus siapa yang kerja? Elo tuh ya, udah tua bukannya ngasih contoh yang baik, malah ngajarin yang enggak-enggak."
Iis nyerocos kayak mak-mak rumpi, sementara Bimo masih kalem saja.
Iis setuju atau enggak untuk tinggal bersama mereka, sebenarnya nggak jadi masalah baginya, atau bagi Sabrina. Cuma, kalau memang berkenan ikut gabung, kan lebih rame, lebih seru, lebih gampang koordinasinya semisal mau jalan ke mana pas weekend.
"Ikut aja sih, Is. Bimo yang bayar kamar lo, karena udah berjasa nemenin Sabrina." Agus mulai ikut membujuk-bujuk. "Mayan, duit bayar kos bisa buat makan mewah."
Bimonya melotot.
Tapi, harusnya memang dia yang bayar sih, kalau mau Iis tetap ikut. Soalnya mau bagaimanapun juga, dibanding membayar kamar di rumah kontrakan dengan empat cowo rese di dalamnya, mending Iis pilih ngekos atau sewa apartemen. Sendirian. Bebas. Nggak peduli dia menumpuk piring kotor di sink berhari-hari, atau nggak sempet nyapu-ngepel karena kecapekan pulang kerja, atau cuma pakai kolor ke mana-mana. Kalau tinggal sama mereka mah, Iis kudu behave 24/7, dan jujur, membayangkannya saja sudah merepotkan.
"Emang rumahnya ada berapa kamar?" Nggak enak langsung menolak, Iis akhirnya bertanya. Sayang juga membayangkan bakal ada kamar nganggur di kontrakan teman-temannya.
"Lima." Bimo yang menyahut, karena dia yang mengurus urusan sewa-menyewa.
"Lah? Kalian cowoknya empat, berarti gue sekamar sama Sabrina dong?" Iis males banget, lah! Dia dan Sabrina nggak akrab. Selain itu, dia nggak ngerti bagaimana cara menghadapi anak yang empat tahun lebih muda darinya. Belum lagi Iis gampang ilfeel dan mulutnya suka enteng banget menegur orang kalau ada yang melakukan hal-hal tidak semestinya di depan mukanya. Nanti kalau itu cewek baperan gimana? Apalagi Sabrina ini roman-romannya bakal banyak kena tegur Iis, mengingat keputusannya untuk ikut Bimo ke Bali saja sudah salah.
"Selain bisa menghemat akomodasi, emang lo tega biarin Sabrina sendirian di sarang penyamun?" Agus bersuara lagi, lebih persuasif.
Iis pengen nggak peduli. Umur 17 kan nggak muda-muda amat. Harusnya tahu lah mana yang baik dan enggak. Bisa mati kecapekan Iis kalau harus jadi baby sitter Sabrina dan menjaganya dari empat buaya temannya itu.
"Tambahan lagi, selain rumahnya udah paket lengkap, jaraknya cuma lima menit jalan kaki dari sekolah tempat lo magang. Dobel-dobel nggak tuh hematnya? Nggak usah ngojek tiap hari."
Nggak usah ngojek tiap hari? Bhaiqlaa ... Iis terpaksa setuju.
Meski dia pendamba kebebasan, kalau ada pilihan lebih mudah dan gratis, apa salahnya dicoba? Nanti kalau nggak betah, tinggal pindah saja apa susahnya?
"Udah bilang Zane?" tanya cewek itu kemudian, baru sadar kalau dari tadi yang duduk di gazebo depan perpus bersamanya itu cowoknya cuma tiga. Zane yang tadi bilang mau masuk sebentar untuk mengembalikan buku, belum balik-balik sampai sekarang.
"Ngapain bilang dia?" Hidung Bimo kembang kempis saat mengatakannya.
Parah banget emang kelakuan teman-temannya ini. Masa Zane nggak dianggep sama sekali?
"Kalau dia tau, pasti ogah ngontrak sama kalian." Iis benar-benar nggak habis pikir.
"Ya nggak apa-apa. Kita lebih sayang sama Sabrina ketimbang Zane." Duh, Agus ini dibayar berapa sama Bimo, sih?
"Lah, dia bayar iuran sewa juga, kan?"
"Ya kalo dia nggak mau, biarlah si Bimo bayar triple."
Bangke nggak tuh? Ckckck.
Iis segera mengemasi laptop dan perkakasnya yang lain dari meja. "Berdoa aja supaya gue betah idup sama kalian."
Dan kemudian, cewek mungil tapi galak itu melenggang santai meninggalkan semuanya.
#TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Wrongful Encounter [COMPLETED]
قصص عامة"Iis daripada ngekos sendiri, tinggal bareng kita aja, gimana?" Mendengar tawaran Bimo yang terdengar tercela itu, semua kepala kontan menoleh. "Dan jadi babu kalian, gitu? Thanks, but no thanks." Cewek berbudi luhur itu menggeleng, masih sempat-sem...