35 | if these walls could talk

7.5K 1.1K 175
                                    


Hening. Tidak ada yang bersuara. Tapi baik Bimo maupun Sabrina tampak belum berniat meninggalkan meja makan, seolah menanti pernyataan sikap darinya.

"Hmm." Zane mengetuk-ketukkan telunjuknya ke tepian atas meja, menilik wajah dua orang di hadapannya.

Sabrina langsung menoleh ke samping—menghidari tatapannya—sementara Bimo menunjukkan wajah tenang tipikalnya.

"Gue tetep mau cabut malem ini." Zane melanjutkan dengan mantap. Buat apa juga dia bersusah hati sementara Rachel mau jauh-jauh datang dari Jakarta untuknya, serta Linggar sudah dia bujuk supaya datang lebih awal untuk pertemuan kerjanya di Denpasar Senin besok biar bisa bergabung dulu dengan mereka semua? "Saran gue, mending kalian ikut, biar Mail introspeksi diri."

Bimo tidak langsung menjawab, sementara Sabrina sibuk menggaruk leher.

"Gimana, Sab?" Pertanyaan template, karena sudah pasti Sabrina bakal ngikut-kata-Bimo-aja. Zane sudah hafal.

Seperti yang sudah diduga, Sabrina gelagapan. "Aku ... aku ikut apa aja pilihan kamu, Bim."

Seratus untuk Zane.

"Kalau gitu, kita cabut." Bagusnya, Bimo langsung membuat keputusan tanpa mikir kelamaan.

"Oke." Zane bangkit dari kursinya. "Gue mandi bentar. Kalian udah kelar siap-siap, kan? Kita berangkat maksimal setengah jam lagi."

Dan dia pun meninggalkan tempat.


~


"Huuft." Sabrina tampak begitu lega saat akhirnya hanya tinggal dia dan Bimo di meja makan, membuat Bimo menoleh heran saking kerasnya suara napas yang dibuat cewek di sebelahnya.

"Kenapa?" Bimo nanya sambil menahan tawa. Komik banget muka Sabrina saat ini. Ekspresifnya keterlaluan.

"He makes me feel intimidated."

Jelas aja tawa Bimo meledak. "Intimidated banget, Sab?"

"Yep."

Padahal, Bimo pikir pacarnya ini sudah cukup akrab dengan Zane—biarpun kadang-kadang perang dingin juga. Inget sewaktu Sabrina ngerengek ke Zane biar dibolehkan ikut dengan Jeepnya saat mereka ke Black Lava dulu? Mana mungkin berani merengek-rengek gitu kalau nggak akrab? Terus sekarang Zane intimidating, katanya? Bimo cuma bisa ngakak.

"Tapi, Bim ...." Setelah fase-fase bercanda pudar, Sabrina mulai kembali serius. "Are you sure we'd better go?"

"Kenapa emang?" Bimo balik nanya. Mengulurkan tangan untuk menoel sebelah pipi Sabrina yang menggemaskan. "Masih nggak tega biarin Ismail di rumah sendirian?"

"Emang kamu tega?"

"Ya harus ditegain." Habis menoel pipi, Bimo ganti meraih pinggiran dudukan kursi makan yang ditempati Sabrina dan menarik kursi itu merapat ke sisinya biar Sabrina bisa bersandar manja ke pundaknya. "Kita nih udah kebanyakan invest perasaan ke masalahnya Ismail. Kerasa nggak, stressnya udah kayak kalau kita sendiri yang kena masalah? Niatnya mau bantu, ujung-ujungnya malah ikut-ikutan nggak bisa mikir karena nggak bisa lihat situasi secara objective." Cowok itu mengecup pelan puncak kepala pacarnya, menghirup wangi shampoo vanilla trademark Sabrina.

Sabrina menoleh, memajukan sedikit bibirnya. Cemberut. "Selain nggak tega, aku juga ngerasa jahat kalau pergi, Bim. Susah banget jadi aku. Baiknya kebangetan."

Wrongful Encounter [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang