Tiga hari pasca kejadian, entah bagaimana Sabrina merasa suasana tempat tinggal mereka tidak kunjung membaik. Malah makin hari jadi makin suram. Padahal, nama Regina sudah tidak pernah lagi disebut-sebut, dan mereka telah kembali sarapan berenam hanya sehari berselang setelah tragedi terjadi.
Mungkin karena Bang Ismail masih diam seribu bahasa, cuma ngomong seperlunya? Itu pun sebagian besar hanya saat Sabrina menanyakan urusan BEM, karena wajah murungnya membuat Sabrina segan mengajak ngobrol nggak penting.
Atau karena tadi malam Zane dengan tidak setianya memilih menginap di tempat omnya di Seminyak? Pengurangan jumlah personil jelas berbanding lurus dengan keriweuhan, sehingga wajar jika suasana rumah jadi makin sepi.
Sebenarnya, cowok itu menawari yang lain untuk ikut pergi bersamanya, bahkan mereka semua diizinkan tinggal sampai akhir pekan kalau mau, mumpung sedang kosong, tapi yang lain menolak, karena Mail juga menolak, dan nggak enak mau meninggalkan Mail sendirian.
Lalu, si Mbak Iis—yang memang selalu kompak dengan Zane—juga mendadak ngide mau mengunjungi Mas Linggar lagi pada weekend ini. Belum terealisasi, sih, tapi sudah berkontribusi menambah kesan bahwa rumah mereka tidak terasa sama lagi.
Nggak pernah ada tawa lagi. Gloomy.
Sekarang bikin nggak betah.
Karena hampir selalu sunyi dan sepi, Sabrina jadi parnoan dan ogah jauh-jauh dari Bimo. Dia nggak akan pulang sebelum pacarnya itu tiba duluan, dan setelahnya akan menempel ke manapun Bimo pergi. Bahkan kalau mau ke kamar mandi saja, Sabrina pastikan dulu Bimo nggak akan menyingkir jauh-jauh dari pintu.
"Mungkin nggak sih kalau rumah ini tuh angker?" tanya cewek itu pada pacarnya selepas jam makan malam.
Karena Bimo ada rapat daring, mereka terpaksa makan malam berdua di rumah, setelah beberapa hari belakangan rutin berada di luar sampai hampir tengah malam.
Dan karena Zane tidak ada, Mbak Iis juga jadi rajin keluar bersama Mas Gusti, sementara Ismail yang memang jarang ada di rumah masih tidak berubah sama sekali kebiasaannya.
"Nggak mungkin lah, Sab. Ini daerah padet banget. Rumahnya juga nggak pernah kosong." Bimo yang Zoom-nya sudah di-mute menjawab kalem.
"Ya siapa tau, Bim. Kadang aku tuh denger suara-suara atau gerakan di belakang aku pas lagi di bawah sendirian." Sabrina sampai berkaca-kaca saat mengatakannya, antara takut beneran dan sedih karena nggak dipercaya oleh orang yang paling dia andalkan. "Dulu nggak kayak gitu karena rumahnya rame. Ada aja yang nyalain musik kenceng-kenceng. Sekarang mau ketawa aja sungkan. Jadinya ada pergerakan dikit, langsung kedengeran."
"Suara angin doang kali, Babe. Kan di gazebo lumayan kenceng anginnya. Atau nggak, suara dari villa sebelah. Tembok ketemu tembok, ada aja kan kemungkinan tembus dikit suaranya."
Ah, Bimo mode teguh pendirian memang susah dihasut.
Selagi Sabrina nggak punya bukti, dia hanya bisa banyak-banyak bersabar.
"Kalau Mbak Iis jadi pergi, aku di sini, ya," rengeknya setelah agak lama diam.
Bimo menoleh dari layar laptopnya untuk kesekian kali, mengulas senyum kebapakan. "Emang pernah sehari aja kamu nggak di sini?"
Sabrina manyun. "Maksudnya aku pindah semi permanen ke sini, bukan dateng kalau mau ngobrol doang."
"Iya, Babe, iya. Dipersilakan." Kalau sebelumnya cuma mute audio, sekarang Bimo mematikan kameranya juga untuk merengkuh pacarnya. "Kalau udah mulai homesick, weekend ini juga aku bisa nganter kamu pulang. Sekalian berangkat bareng Iis, kalau mau."
KAMU SEDANG MEMBACA
Wrongful Encounter [COMPLETED]
Ficción General"Iis daripada ngekos sendiri, tinggal bareng kita aja, gimana?" Mendengar tawaran Bimo yang terdengar tercela itu, semua kepala kontan menoleh. "Dan jadi babu kalian, gitu? Thanks, but no thanks." Cewek berbudi luhur itu menggeleng, masih sempat-sem...