20 | trespass

8.8K 1.3K 128
                                    




20 | trespass



Once in a lifetime, pasti ada aja tuh yang namanya tamu datang nggak lihat-lihat waktu.

Sabrina yang biasa bangun pagi saja masih mengantuk berat saat mendengar pintu depan digedor-gedor. Matahari juga baru terbit, yang berarti dia bukan asal tuduh. Si tamu ini memang benar-benar nggak ngerti adab.

"Ismail ada?" Begitulah pertanyaan yang Sabrina dapatkan begitu pintu kayu besar di hadapannya terbuka, membuat cewek itu sontak ingin mengumpat.

Laris banget si Chasan Ismail Saragih ini! Bukan cuma menarik perhatian cewek-cewek, tapi cowok juga!

"Ada tapi ...." Sepasang mata Sabrina menyipit, mikir.

Sebulan tinggal di situ, nggak ada yang pernah kedatangan tamu selain gebetan masing-masing. Jadi kalau ada orang datang di saat mayoritas manusia di WITA masih belum memulai aktivitas, Sabrina pantas curiga, nggak?

"Gue ada perlu sama Ismail. Urgent."

Logat Jabodetabek.

"Semendesak apa sih, sampe mesti jam segini? Anaknya juga belum bangun." Sabrina berusaha terdengar sopan meski lagi mengeluh.

"Boleh masuk? Biar gue yang bangunin."

First impression Sabrina terhadapnya jelek banget.

Sabrina mungkin saja demen merepotkan dan nggak tahu diri kepada teman-teman dekatnya. Tapi mengganggu orang asing di jam tidak wajar adalah red flag.

Sabrina langsung pening.

"Gue panggilin bentar." Dengan berat hati, dia terpaksa kooperatif. Tamunya biar saja nggak sopan, tapi sebagai tuan rumah, dia nggak boleh seperti itu. "Btw, dengan Mas siapa?"

"Ibra."

Sabrina nggak familier dengan namanya. Bisa jadi cuma kenalan Mail yang ketemu di sini-sini saja.

Sayangnya, mau memintanya menunggu di luar, di teras nggak ada kursi tamu. Nggak enak juga membiarkannya berdiri sementara Ismail nggak mungkin cuma butuh semenit dua menit untuk dibangunkan.

Tapi kalau dia biarkan masuk dan ternyata perampok, gimana? Anak-anak lain belum pada bangun. Mana bisa Sabrina mempertahankan rumah dan seisinya seorang diri?

Nggak bisa mengulur waktu untuk mikir terlalu lama, Sabrina kemudian memilih mempersilakan masuk saja.

"Duduk yang anteng dan sabar, ya. Soalnya Bang Mail rada susah dibangunin—kalau emang temennya, pasti tau." Sambil setengah merem dan menguap, Sabrina menutup kembali daun pintu, dan tanpa kentara, mengunci pintu itu di belakangnya, biar kalau ada kemungkinan terburuk, si mas-mas ini nggak bisa kabur begitu saja.

"I know. Kasih tau aja di mana kamarnya, biar gue yang bangunin."

Kalau Sabrina membawanya ke atas bersamanya, lebih aman dibanding meninggalkannya di ruang tamu sendirian, nggak sih?

Entah kenapa Sabrina bawaannya jadi curigaan, apalagi CCTV cuma ada di luar. Dan bahkan sekarang dia tidak yakin, tidak adanya CCTV di dalam adalah sebuah keuntungan karena privasi terjaga, atau sebuah kelemahan karena mengurangi keamanan.

"Hmm, ikut aja dulu, kalau gitu. Barangkali gue butuh bantuan."

Sabrina mengajaknya ikut naik.

Dan lalu semuanya terjadi begitu cepat.

Cowok yang dibawa Sabrina ke depan kamar Ismail itu awalnya diam saja menunggu di sisi Sabrina.

Zane yang kamarnya tepat di sebelah Mail kemudian membuka pintunya karena salah dengar, mengira dirinya yang kedatangan tamu.

Belum sempat Sabrina menjelaskan, pintu dihadapannya keburu di dobrak sampai menjeblak terbuka, membuat Ismail dan Regina yang masih lelap di atas kasur langsung terlonjak kaget, dan Sabrina serta Zane ternganga di tempat.

Tanpa aba-aba, cowok itu masuk, meneriaki Ismail, memberi bogem mentah tepat ke muka, kemudian menyeret paksa Regina keluar kamar.

Demi Tuhan, Regina diseret tanpa sehelai pakaian pun di badan, kebingungan menutupi tubuhnya karena nggak berhasil menarik selimut yang masih tertindih badan Ismail yang masih terkaget-kaget dan kesakitan di tempat.

Sabrina menjerit ketakutan, menyingkir saat badannya yang menghalangi jalan sengaja ditubruk. Dan semakin ketakutan saat sepasang matanya sempat bertemu tatap dengan sang cowok yang sekarang kelihatan begitu murka, berbeda seratus delapan puluh derajat dengan yang berlagak sopan saat minta dipersilakan masuk tadi.

Dalam sedetik, Zane yang sadar situasi segera berlari ke kasurnya sendiri, menarik selimutnya, mengejar Regina yang sudah mulai menangis terisak untuk menyampirkan benda itu ke pundaknya, sebelum dibawa menghilang ke arah tangga.

Zane ikut turun.

Bimo yang mendengar ribut-ribut segera keluar dari kamarnya juga. Terkejut melihat pacarnya menangis di koridor depan kamar Ismail.

Seiring Bimo berjalan cepat menghampiri Sabrina, dari arah lantai satu segera terdengar jeritan Mbak Iis, lalu mesin mobil menyala dan melaju meninggalkan rumah.

Sabrina jatuh terduduk dengan kedua bahu melemas.

"Ada apa, sih?" Gusti muncul di antara mereka.

Sabrina cuma bisa menggeleng lemah. Sementara Bimo yang telat bangun juga sama bingungnya dengan yang bertanya.

"He said, he's her husband." Suara gumaman Zane terdengar tidak lama kemudian, muncul bersama Mbak Iis yang tampil acak-acakan, menutupi kepala sekenanya dengan jaket Sabrina.

Suasana langsung mencekam.

Terakhir, pintu kamar Ismail menjeblak menutup, memaksa yang lain membubarkan diri bahkan sebelum ada yang membuka suara lagi.


~


"Bukan salah kamu, Sab. Stop blaming yourself." Bimo yang akhirnya bisa membawa Sabrina masuk ke kamarnya berusaha menenangkan. Dia memang belum tahu pasti apa yang barusan terjadi, tapi dari potongan-potongan kalimat rancu yang keluar dari bibir Sabrina di antara tangisannya masih cukup bisa dinalar. "Wajar kalau ada tamu dibukain pintu."

"Tapi aku harusnya konfirmasi dulu ke Bang Mail, beneran tamunya apa bukan, ya kan?" Wajah Sabrina memerah dan air matanya nggak berhenti bercucuran saat mengatakannya.

Melihat tubuh kecil di depannya itu gemetaran, Bimo merengkuhnya erat. Menepuk-nepuk pelan punggungnya.

"Dia punya motif kuat buat maksa masuk. Kalaupun bukan kamu yang bukain, aku yakin yang lain bakal gantiin posisi kamu juga. Kamu nggak salah. Dan kalaupun ada yang harus bertanggung jawab, ya itu si Ismail dan Regina, bukan kamu. Kamu kan nggak tahu apa-apa soal hubungan mereka, selain yang kelihatan doang. Kalau pagi ini Mail harus bonyok dan giginya rontok semua ... maybe he deserves that."

Diingatkan kembali pada ekspresi kaget dan kesakitan dari wajah Ismail tadi, dengan darah segar mengucur dari mulut, seketika isakan Sabrina makin menjadi-jadi.



#bersambung

Wrongful Encounter [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang