Paginya, saat sarapan, Gusti yang sudah nahan-nahan dari kapan tau, dibikin makin pusing dan sakit mata melihat kelakuan pasangan paling nggak berperasaan abad ini.
Yang cewek bisaan banget bermuka dua. Kemarin dikit-dikit ngomel kayak emak-emak, sekarang manja-manjaan di pangkuan pacarnya, makan aja minta disuapin! Sementara yang cowok, udah putus urat sungkannya. Padahal patungan bayar villanya adil sampai ke koma terakhir, ujung-ujungnya Gusti tetap merasa kayak salah masuk ruangan!
"Atas nama tuan muda Ganindra Bimo—yang namanya niru-niru nama seleb—gue minta maaf, Gus. Lo pasti udah eneg banget jadi kambing congek selama ini." Mail sok pengertian. Padahal, dia adalah sumber dari segala mala petaka. "Mohon maaf kalau Bimo bikin lo berasa ngontrak di bumi."
Gusti mencibir. "Bangke, elo tuh juga—"
Kalimatnya batal dilanjut.
Hampir saja dia keceplosan mengungkit-ungkit kebejatan Mail kemarin-kemarin. Lupa kalau dirinya ini pemaaf dan berbudi luhur.
Lagian, Mail pagi ini udah kelihatan kayak abis kena azab. Muka dan tangannya gosong setelah terbakar matahari seharian kemarin. Mungkin tu anak pakai sunscreen abal-abal gara-gara duit abis dipakai berfoya-foya sama Regina.
"Haruskah gue beli rumah kontrakan kita di Canggu, biar gue naik kasta jadi tuan tanah?" Gusti banting setir, membuat ketiga temannya mendengus.
Well, Agus cuma sesumbar, sih.
Nenek moyangnya emang saudagar kaya, ngalah-ngalahin istrinya Malin Kundang. Tapi di umur segini, saat Zane punya beberapa villa yang disewakan milik pribadi, Bimo punya rumah kos-kosan di beberapa kota dekat kampus-kampus besar, Gusti cuma punya beberapa lot saham di beberapa perusahaan yang familier di telinganya, hasil ngirit jajan dan rajin puasa Senin-Kamis, itu pun kurvanya kalau dipelototin tiap hari bikin hipertensi, jadi sebaiknya dihapus dulu dari ingatan sampai minimal sepuluh tahun mendatang.
"Julid amat, Mas." Sabrina, yang pagi ini konsisten menunjukkan tampang minta disayang, berdecak pelan. "Kalau ada kursi lain, gue juga mending duduk sendiri, kali!"
Melihat wajah cemberut pacarnya yang menggemaskan itu, Bimo auto tambah sayang. Lalu sengaja mencubit pelan pipi sang cewek, bikin Sabrina merengek manja, dan Gusti menahan muntah di tempat duduknya.
Tapi, yang diucapkan Sabrina memang make sense, tau.
Pasalnya, sekarang mereka sedang sarapan di belakang kamar, di pinggir kolam, di meja yang cuma menyediakan dua kursi. Ketambahan sofa one seater yang mereka gotong dari dalam, maka hanya tersedia tiga tempat duduk. Iya, di pinggir kolamnya nggak disediakan sun lounger sama sekali karena space-nya memang nggak luas-luas amat—selain emang kayaknya area situ jarang kena matahari. Ya sudah, daripada repot, Sabrina nebeng saja di pangkuan Bimo, makan sambil selimutan berdua. Praktis, plus romantis. Siapa suruh Si Agus dan Mail mendadak membatalkan rencana mereka untuk nyebur ke pool, floating breakfast ala-ala selebgram. Katanya, dingin banget.
Elaaah, padahal mereka yang cemen, Sabrina—yang sudah sepengertian ini—yang dikambing hitamkan.
"Bim, kalau capek bilang." Mail mendadak nyeletuk lagi, padahal teman-temannya lagi menghayati rasa makanan masing-masing.
"Capek paan?" Bimo hanya mengerutkan alis, kurang antusias.
"Mangku Sabrina." Mail lalu menjelaskan, "Kalau capek, tuh Agus mau gantiin."
Kontan Gusti melemparinya dengan irisan acar timun di piringnya. Lebih berfaedah dipakai melempari muka Mail ketimbang terbuang percuma. "Sab, masih ada kesempatan buat lari kalau mau. Di sini terlalu mengerikan orang-orangnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Wrongful Encounter [COMPLETED]
Ficção Geral"Iis daripada ngekos sendiri, tinggal bareng kita aja, gimana?" Mendengar tawaran Bimo yang terdengar tercela itu, semua kepala kontan menoleh. "Dan jadi babu kalian, gitu? Thanks, but no thanks." Cewek berbudi luhur itu menggeleng, masih sempat-sem...