"Heeh, lo ngapain?"
Mail yang baru turun dari kamarnya langsung heboh melihat apa yang sedang dikerjakan Sabrina di dapur: bikin kopi.
"Bukan gitu caranya, Oneeeng!" Melihat Sabrina mengetuk-ketuk portafilter—tempat dituangnya bubuk kopi sebelum dipasang ke mesin espresso—dengan barbar, cowok itu bergegas menggeser tempat Sabrina berdiri, membuat sang cewek terbengong-bengong karena nggak paham apa maksud Bapak Menpora yang terhormat. "Elo ngerusak kopi mahal."
Ngerusak? What the hell?
Sabrina melongo mendengar tuduhan yang dilayangkan padanya itu. "Gue bikinnya udah sesuai sama yang diajarin Bang Zane, tau." Cewek itu menoleh ke Zane yang sudah anteng di meja makan dengan cangkir americanonya sendiri.
Mail ganti melotot ke Zane, si biang kerok yang telah menyebarkan ajaran sesat.
Zane mengangkat bahu dengan santai. "Gue kan bukan barista."
Ya nggak salah juga sih jawabannya. Tapi tetap saja Mail kesal.
Kalau nggak mau bikin dengan cara yang benar, kenapa nggak sekalian nyeduh kopi sachet? Kelakuan teman-temannya ini benar-benar merusak harkat dan martabat mesin espresso di depannya ini, satu-satunya barang bagus yang ada di bar rumah mereka.
"Kalian berdua emang kampretnya cocok banget, ya."
Dengan hampa, cowok maniak kopi itu kemudian mengambil portafilter satu lagi yang mengganggur dan menadahkannya ke bawah grinder sampai terisi penuh dengan bubuk kopi, kemudian merebut tamper di tangan Sabrina.
"Tamping-nya biasa aja. Kalau udah, nggak usah digetok-getok segala. Tau kan kalau yang namanya berlebihan itu nggak baik?"
Sabrina pengen menyahut dengan 'nyenyenyenye' yang biasa, tapi males kalau urusannya jadi panjang.
Soalnya, Mail dan kopi emang punya hubungan rada intim.
Meski sama-sama maniak kopi, Mail beda dengan Zane. Kalau kopi itu diibaratkan makanan enak, Zane adalah cowok berduit yang sanggup ke restoran berlabel michelin, sementara Mail adalah kokinya.
"Kalau di tap-tap gitu pas tamping, jadinya bakal ada crack di antara kopi sama pinggiran basket-nya. Coba tengok punya lo."
Mail membandingkan hasil tamping di portafilter-nya dengan milik Sabrina.
Ya emang sih, punya Mail terlihat padat dan rata, juga tidak ada rongga di pinggiran basket, sementara milik Sabrina memiliki rongga. Tapi karena mungkin lebar celahnya hanya sepersekian milimeter saking halusnya, Sabrina nggak terlalu ambil pusing. Segera dia pasang portafilter yang menurutnya sudah layak itu ke grouphead hingga terkunci, lalu meletakkan gelas di bawahnya.
"Ya Allah ... kalem napa, kalem? Itu makin retak aja udah, kopi lo, percuma di-tamping. Lagian, itu asal masang aja, udah dibersihin emang?"
"Udah, masku sayang. Gini, kan?" Sabrina memperagakan caranya membersihkan grouphead dengan memutar water faucet hingga air mengalir keluar dari grouphead yang akan digunakan Mail, dan jatuh ke dip tray di bawahnya, kemudian mematikannya kembali.
Mail berdecak, lanjut menguliahi Sabrina tentang perbandingan takaran kopi dan air yang tepat, juga perbedaan antara long black dengan americano selagi dirinya mulai mengisi sebuah gelas dengan air panas sebelum meletakkannya di bawah spout—tempat keluarnya espresso—sebelum memasang portafiler miliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wrongful Encounter [COMPLETED]
Ficción General"Iis daripada ngekos sendiri, tinggal bareng kita aja, gimana?" Mendengar tawaran Bimo yang terdengar tercela itu, semua kepala kontan menoleh. "Dan jadi babu kalian, gitu? Thanks, but no thanks." Cewek berbudi luhur itu menggeleng, masih sempat-sem...