"Ismail udah bilang kan, kalau gue bakal dateng?" Iis menanyai Regina begitu dilihatnya cewek itu keluar dari gedung kantor tempat Mail dan Gusti magang, di jam dua belas siang keesokan harinya.
Iis sengaja izin makan siang di luar demi menjadi jubir Ismail doang.
Regina mengangguk. "Mau ke kafetaria aja, atau lunch di luar?"
"Di luar aja, yuk? Yang deket-deket sini, jalan kaki aja."
Sekali lagi Regina mengangguk. Nggak enak juga kalau nanti ada yang menguping obrolannya dengan Iis di kafetaria. Dia nggak mau bikin kehebohan menjelang resign—setelah menjadi HR teladan tiga tahun belakangan.
"Sebelumnya, gue mau minta maaf dulu kalau kemarin-kemarin ada kata-kata gue yang kurang berkenan." Selesai memesan, Iis membuka sesi heart to heart mereka dengan permohonan maaf ketika tidak lama kemudian mereka berdua sudah duduk di sebuah restoran pasta tidak jauh dari Fitness Founders.
Dapat tempat duduk di restoran di Canggu saat jam makan siang, di bawah AC pula, adalah sebuah nasib baik. Iis jadi cukup percaya diri bahwa pertemuannya dengan Regina siang ini akan membawa hasil sesuai harapan.
"You didn't do anything wrong." Regina mesem. Mengangguk sopan pada waiter yang mengantarkan minuman mereka berdua. "I can't be crying here, so just choose a safe topic, okay?"
Iis mendesah, memutuskan basa basi dulu sambil menunggu spaghetti aglio olio mereka berdua tiba. Dilanjut fokus makan dengan cepat. Dalam hati Iis menyesalkan keputusannya untuk bertemu di jam istirahat siang. Matahari yang terik banget dan lalu lalang manusia di sekitar mereka membuat suasana jadi kurang mendukung untuk ngobrol leluasa. Harusnya dia minta ketemu seusai jam kerja. Ah, Iis pendek banget sumbunya!
"Btw, you look better than what Mail describes." Iis menggumam ketika melihat Regina bisa menghabiskan makanan di piringnya tanpa kesulitan, karena Mail nggak mungkin bisa.
"I have no health problems at all."
"Jadi kenapa dia bisa cemas banget sejak ketemu lo Jumat malem?"
Regina mengambil tissue yang disediakan untuknya dan mengelap bibir, sengaja tidak menjawab.
"Rei, fyi, I didn't come to interrogate you."
"I know." Regina menjawab sembari menghindari kontak mata.
Sama seperti Ismail, perempuan ini susah banget diajak ngomong. Tipe-tipe yang terlalu pesimis bahwa orang lain bisa saja rela mencurahkan energi untuk mendukungnya tanpa pamrih.
Well, nggak semua orang seberuntung Iis, yang hidupnya dikelilingi orang baik. Justru mungkin lebih banyak yang tumbuh dan hidup di lingkungan yang kurang kondusif, hingga terbiasa cuma mengandalkan diri sendiri. Iis paham banget, karena dua puluh tahun hidup cukup memberinya kesempatan untuk bertemu dan mengenal banyak karakter orang.
Iis mesem, mengulurkan tangan untuk menggenggam tangan cewek di depannya, dengan harapan bisa memberikan ketenangan. "Dan fyi, gue sama sekali nggak berniat menginvalidasi situasi lo. Justru gue wonder, lo bisa banget kelihatan nggak kenapa-napa di depan gue, padahal gue tahu Ismail nggak akan heboh kayak gitu kalau lo emang nggak mengkhawatirkan.
"Rei ... elo nggak perlu ngomong atau jelasin apa-apa kalau menurut lo nggak perlu. I'm an outsider, you owe me nothing. Terus tadinya gue mau bilang kalau gue ada buat lo kalau lo butuh, tapi bullshit banget kan, karena dua minggu lagi gue dan yang lain udah balik ke Jakarta.
"Tapi Rei ... selagi kita di sini, kalau lo butuh orang buat dengerin lo, atau lo butuh sesuatu dari gue dan yang lain, feel free to ask.
"Meski nggak bisa selow ketemu kapan aja kayak dulu lagi, paling nggak masih bisa ketemu pas lunch break kayak gini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wrongful Encounter [COMPLETED]
Fiksi Umum"Iis daripada ngekos sendiri, tinggal bareng kita aja, gimana?" Mendengar tawaran Bimo yang terdengar tercela itu, semua kepala kontan menoleh. "Dan jadi babu kalian, gitu? Thanks, but no thanks." Cewek berbudi luhur itu menggeleng, masih sempat-sem...