Sabrina bangun dengan badan sakit-sakit, terutama di lutut dan betis, meski tidak sesakit saat bangun di resort pagi kemarin, berharap kakinya masih mau diajak kompromi, karena hari ini dia ada kelas fotografi yang ada kegiatan hunting foto outdoor-nya.
Awalnya, dia kira dialah yang bangun duluan seperti biasa. Ternyata, Bimo juga sudah bangun. Sekarang sedang memandangnya dengan tatapan aneh, malah.
"Kenapa, Babe?" Sabrina nanya, sambil berpikir cepat.
Semalam, dia memang nimbrung masuk di saat Bimo sudah lelap. Tentu dia sudah mengetuk dan meminta izin sebelum kemudian berbaring di sampingnya, dan Bimo sudah mengiyakan pula—entah sadar atau cuma setengah sadar. Tapi masa gitu doang dipermasalahkan? Kan udah biasa bobo bareng?
"Tanganku kayaknya perlu diamputasi." Bimo mendesis pelan.
"Hah?" Sabrina kontan panik, lalu meringis, lalu segera beringsut menjauh, sadar salah satu lengan Bimo masih dia jadikan bantal. "Ah, kamu biasanya kalau udah ketiduran juga ngejauh sendiri."
Mungkin karena Sabrina bilang lagi ketakutan, makanya Bimo pasrah saja dia peluk sampai pagi, meski kalau tidurnya sambil cuddling tuh, sejatinya Bimo yang rugi.
"Kamu peluknya kenceng banget, mana bisa gerak?" Bimo balik nuduh.
Sabrina mendelik. "Masa tenaga kamu kalah sama aku?"
Ya deh, ya deh. Sabrina selalu benar.
Bimo lalu meluruskan tangannya dan merubah posisi tidur. "Kamu kalau udah mau bangun, silakan. Aku merem setengah jam lagi, ya. Udah nggak parnoan, kan? Udah ada matahari, tuh."
Karena setelah menunjuk celah tirai jendela Bimo langsung merem lagi, Sabrina maju sedikit untuk mencubit lengannya yang katanya butuh diamputasi itu.
Tidak mendapat reaksi, dia pun kemudian memutuskan keluar dari kamar sang pacar.
Tadi malam, Bimo kayaknya emang kurang nyenyak tidurnya gara-gara diganggu olehnya.
Sambil berpikir mau sarapan apa, Sabrina mencepol rambutnya yang berantakan. Menyalakan lampu tangga karena area itu gelap, takut menggelinding ke bawah kalau turun tanpa penerangan.
Di ruang tamu yang sudah lebih terang karena cahaya matahari terbit dari pool area, dia menemukan selimut dan bantal berantakan di sofa, tampak seperti ada yang habis tidur di situ semalam.
Sabrina cuek saja ke kamarnya untuk cuci muka dan gosok gigi, sekilas tidak menemukan Mbak Iis di sana.
Saat dia ke dapur untuk membuat teh, Yang Mulia Zane Abram yang nggak ketahuan kapan kembali ke villa, sudah ada di sana—berdiri tegak di balik espresso maker.
"Can you tell me what happened last night?" Tiba-tiba si cowok bertanya dingin, seolah memang sengaja berdiri di sana menunggunya.
Sabrina mikir cepat. "Many things happened. Which one do you want to know?" tanyanya balik, sama dingin dan angkuhnya.
Zane sudah akan menyahut, tapi Sabrina yang enggan keluar jadi si kalah, segera mendahului lagi.
"Lo bukannya udah nggak minat tinggal di sini lagi, Bang? Lebih nyaman di villa mewah lo di Seminyak sana? Kenapa mendadak balik?" Mampus lo, gue omelin! Sabrina mbatin. Muak banget melihat muka songong senior satu ini. Udah tau temennya lagi susah, malah seneng-seneng sendiri, tanpa nengok Bang Mail dua kali. Ya emang sih, Mail kayak tai. Tapi kan dateng bareng-bareng sebagai keluarga, mbok ya sabar dikit. Segitu nggak berharganya seorang teman di matanya? "Oooh ... jangan bilang semalem Mbak Iis nelpon elo, curhat kalau gue kabur ke kamar Bimo, ninggalin dia sendirian di kamar angker. Gitu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Wrongful Encounter [COMPLETED]
General Fiction"Iis daripada ngekos sendiri, tinggal bareng kita aja, gimana?" Mendengar tawaran Bimo yang terdengar tercela itu, semua kepala kontan menoleh. "Dan jadi babu kalian, gitu? Thanks, but no thanks." Cewek berbudi luhur itu menggeleng, masih sempat-sem...