Sabrina membungkam mulutnya sendiri.
Matanya membeliak ngeri.
"Ya Tuhan—"
Segera dia menerjang masuk kamar Ismail, menghampiri cowok yang sedang terkapar di lantai itu.
"Astaga, astaga ... gue harus gimana ini? BIIIM! BIMOOO!!"
Sambil mulai menangis, dia guncang-guncangkan tubuh Ismail yang gemetar dan berkeringat, tapi Ismail tidak merespon panggilannya. Sekadar membuka mata pun tidak.
"BIMOOO!! Ya ampuuun, kenapa pada budek semua, sih?!"
Tanpa menunggu ada yang menolong, cewek itu langsung berinisiatif membantu Ismail bangkit dari permukaan lantai yang dingin, memindahkannya ke atas kasur. Puji Tuhan, badan jerapah Sabrina ternyata ada manfaatnya juga, sehingga nggak harus menunggu Bimo untuk bisa memapah Ismail kembali ke ranjang.
"Elo kenapa lagi sih, Bang?" Setelah lampu dinyalakan, bukannya lebih tenang, Sabrina malah makin histeris.
Sekali lihat saja, sudah jelas Ismail ini kayak orang sekarat! Rapuh dan kurus kering, sama sekali tidak seperti Mail yang biasanya.
Matanya cekung, tatapannya mengerikan seperti menahan sakit.
Padahal, di antara semua cowok-cowok di circle-nya, Mail ini yang paling fit, paling gesit di lapangan kalau tanding futsal! Hati siapa yang nggak mencelos melihat keadaannya sekarang coba?
"Terus kenapa diem aja di lantai? Udah tau kedinginan! Ini juga kenapa AC-nya dingin banget?!" Sabrina mau marah. Tapi ujung-ujungnya malah tambah menangis.
Mana Ismail nggak kunjung merespon pula!
"Sssh. I'm fine." Setelah diguncang-guncang lagi, barulah cowok itu menyahut pelan dengan mata masih terpejam.
"Fine gimana? Lemes kayak nggak bertulang gini! Terus keringat dingin tuh bahaya! Gue nggak mau lihat temen mati di depan mata, ya!"
"Lebay."
"Lebay gimana?!" Sabrina makin emosi. Dia udah ketakutan begini, bisa-bisanya yang dikhawatirkan malah sesantai itu! "Elo ada riwayat vertigo? Atau darah rendah? Please, semoga cuma hipoglikemia, elo kan beberapa hari ini makannya nggak jelas! Bentar, gue ambilin yang manis-manis—"
"Nggak usah, Sab."
"Nggak usah gimana? Demam tinggi, lemes, keringetan, kalau didiemin bisa kejang, bisa mati! Gue ambilin makanan, abis itu gue panggilin yang lain biar dianter ke—"
"Ambilin cokelat Iis di situ."
Sabrina menoleh ke tempat yang disebut Ismail, menemukan setengah bungkus cokelat murahan di atas meja, segera menyambarnya, membuka bungkusnya dan mengulurkannya ke mulut Ismail. Menunggu si cowok menelan hingga beberapa potong kecil.
"Now I'm fine, okay? Kurang gula aja kayaknya. Udah mendingan sekarang."
"Terus itu tadi kenapa diem aja di lantai?"
"Nggak apa-apa."
Sabrina mencubit lengannya keras-keras, tapi Ismail bahkan nggak berniat mengaduh.
"Gue cuma mau ke kamar mandi, terus mendadak lemes, terus jatuh. Ya emang kurang gula aja kayaknya."
"Kan! Gue nggak mau tau, gue bangunin yang lain biar dianter ke RS sekarang!"
"Nanti aja, please. Kalau ni cokelat abis dan pusingnya nggak ilang, gue ke dokter."
Menyebalkan!
Sabrina ikut sakit kepala.
Ada apa sih dengan cowok dan dokter? Tinggal berangkat aja susah amat!
KAMU SEDANG MEMBACA
Wrongful Encounter [COMPLETED]
Fiksi Umum"Iis daripada ngekos sendiri, tinggal bareng kita aja, gimana?" Mendengar tawaran Bimo yang terdengar tercela itu, semua kepala kontan menoleh. "Dan jadi babu kalian, gitu? Thanks, but no thanks." Cewek berbudi luhur itu menggeleng, masih sempat-sem...