"Ikut nengok Ismail kagak?" Gusti bersuara di seberang. Dari riuhnya background kendaraan yang didengar Iis, agaknya si cowok tengah ada di jalan.
"Males." Iis menjawab teleponnya singkat, memandang langit abu-abu Jakarta di atas rumahnya.
Sudah seminggu di rumah dan nggak kemana-mana—menghadiri semua rapat BEM secara daring—tapi anehnya sakit-sakit di badan masih belum sepenuhnya hilang.
Lagipula suhu Lebak Bulus siang ini 32 derajat, rasa 38 derajat—kenapa nggak langsung 38 derajat aja, wahai weather.com?
"Yakin? Gue bawa oleh-oleh Yu Djum banyak nih. Kalau nggak dateng, nggak gue kasih."
"Yakin."
Iis mendengar temannya itu ketawa, dan ada suara tawa lain. Zane? Atau Bimo?
Tapi karena kemudian mendengar suara cewek, Iis akhirnya bisa menebak kalau Gusti sedang bertiga dengan Bimo dan Sabrina.
Gusti baru saja balik dari Magelang siang ini, dan nanti sore jadwal Ismail keluar dari rumah sakit—untuk kemudian dibawa pulang orang tuanya ke Simalugun sana. Bimo dan Sabrina mungkin sengaja menjemputnya di bandara—karena Sabrinalah yang paling ribut minta dibawakan oleh-oleh, sebelum kemudian lanjut ke rumah sakit.
"Kita jemput kalo emang mau ikut."
"Sama-sama belok ke rumah gue, kenapa nggak ngedrop Yu Djum-nya aja?" Iis memberi opsi, nggak ada adab. Tentu saja Gusti mendengus di seberang.
"Enakan di elo, Maemunah." Ada jeda beberapa saat sampai kemudian Gusti melanjutkan. "Yuk ah, ikutan. Buruan mandi. Nggak sampe sejam lagi kita nyampe rumah lo."
"Males, Gus. Panas."
"Lexusnya Bimo mantep AC-nya. Nggak usah banyak alesan. Nanti gue kasih Yu Djum-nya dua."
"Dua buat gue semua. Kalo mama nanya gimana?"
"Ya udah, tiga."
Iis ketawa. Terpaksa dia bangkit juga dari hammock di bawah pohon mangganya, membiarkan Haikal, abang satu-satunya menguasai properti.
"Apaan dua buat lo semua?? Gue gimana??" Haikal yang agaknya mendengar suara Gusti saking kencengnya volume handphone Iis tadi, auto protes.
"Lo nggak punya temen yang mau ngasih oleh-oleh tiap pulkam? Kasiaaan, deh!" Cewek itu menjulurkan lidah dan langsung cabut.
Hampir dua jam kemudian, tepat saat Iis mulai putus asa dan ingin tidur siang saja, kendaraan Bimo baru merayap ke halaman rumahnya.
~
Ismail menatap teman-teman yang memenuhi kamar rawat inapnya—sibuk makan gudeg—dengan pandangan tidak mengerti.
Dia sedang sakit, tapi kenapa teman-temannya ini tidak membiarkan dirinya hidup tenang sehari saja?
"Beneran nggak mau disuapin, Bang?" Sabrina nanya.
Mencium baunya saja Ismail sudah ingin muntah.
"Buruan diabisin, terus pulang deh kalian semua. Gue juga bentar lagi mau cabut."
"Kan kita baliknya nunggu lo cabut, Bambang. Ini kita dateng buat melepas kepergian lo!"
"Bodo amat."
Ismail menaikkan selimut sampai menutupi muka.
Tadinya, dia sudah senang karena bisa balik duluan ke Jakarta. Eh, malah keluar masuk RS terus dan sama sekali nggak bisa mencari keberadaan Regina yang kayak menghilang dari muka bumi itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wrongful Encounter [COMPLETED]
Художественная проза"Iis daripada ngekos sendiri, tinggal bareng kita aja, gimana?" Mendengar tawaran Bimo yang terdengar tercela itu, semua kepala kontan menoleh. "Dan jadi babu kalian, gitu? Thanks, but no thanks." Cewek berbudi luhur itu menggeleng, masih sempat-sem...