Ngobrol dengan Linggar selalu berhasil memberikan efek soothing setelahnya—membuat Iis jadi merasa diayomi.
Mungkin begini kali ya, yang dirasakan Sabrina seusai sesi deeptalk dengan pacarnya? Well, Bimo memang kayak tai kalau ke Iis, tapi Iis tahu bagaimana Bimo ke Sabrina. Dan Iis amat bersyukur ada Linggar di sampingnya malam ini, hingga dia bisa mantap mengetuk pintu kamar Ismail sebelum Zane keluar dari kamarnya dan meneriaki mereka semua untuk berangkat.
"Karena nggak tau besok masih hidup apa enggak, gue mau minta maaf sekarang, mumpung ada kesempatan." Iis membuka suara tidak lama setelah Mail menjawab ketukannya dan dia mengayunkan sedikit daun pintu kamar cowok tersebut hingga terbuka.
"Minta maaf buat apa? Malah gue yang punya banyak salah ke elo." Ismail menyahut tipis. Menoleh temannya sekilas saja.
Tadinya, Ismail sudah ingin pergi mandi, tapi batal karena kedatangan Iis. Jadinya, sekarang dia kembali duduk di pinggir kasur.
Iis mesem, permisi untuk masuk. "Lo abis nangis, Il?"
"Kagak." Tentu saja Mail mengelak, makin menjauhkan pandangannya dari sang tamu.
Kebodohannya akhir-akhir ini sudah sangat menjatuhkan harkat dan martabat, tentu saja Mail menolak kelihatan makin lemah.
He's a grown ass man. Memiliki diri sendiri sudah lebih dari cukup untuk mengatasi masalah hidupnya.
"Itu mata lo merah banget." Iis tidak mengiyakan begitu saja, malah berjalan makin dekat.
"Ini karena ngantuk. Semalem nggak bisa tidur, terus seharian tadi lumayan capek mondar-mandir. Jam makan siang nggak sempet istirahat."
Iis mengangguk, lalu beringsut duduk ke sebelah temannya.
Agak kikuk awalnya. Maklum, Iis dan Mail tuh kayak Tom and Jerry. Saling sayang sebenarnya, tapi bermanis-manis bukanlah gaya mereka.
"I've been watching you through the whole thing, tapi Il, jujur gue masih nggak ngerti gimana lihat situasi ini dari sudut pandang lo. Please enlighten me so I can stand by you."
Percaya nggak kalau Ismail tuh kayak margarin, gampang banget meleleh? Baru juga digituin, luluh sudah pertahanannya untuk terlihat sok tegar. Dalam hitungan menit, si cowok sesenggukan saja di pundak Iis, membuat Iis ingin tertawa sembari menepuk-nepuk pelan punggung temannya itu.
Badan aja gede, kelakuan sok, tapi cowok ini sebenernya masih bayi.
"Oalah Il, Il .... Poor you."
~
Kayaknya, Mail sudah agak gila karena tidak bisa menahan diri untuk nggak meminta taksi yang ditumpanginya berbelok ke arah kosan Regina di hari Senin pagi.
Entah kenapa, feeling-nya begitu kuat untuk menyuruhnya ke sana.
Semoga Regina nggak kenapa-napa. Cuma itu yang Mail harapkan saat berusaha meneleponnya, tapi nggak kunjung diangkat.
Semoga Regina cuma lagi sibuk siap-siap ke kantor dan nggak melihat handphone, Mail berdoa lagi.
Kalau ditanya apa motifnya melakukan ini, jujur Mail juga nggak tahu.
Dia memang menyukai Regina, tapi di titik ini tentu tujuannya sudah bukan agar bisa kembali bersama dengan perempuan itu. Sama sekali bukan. He just ... couldn't stand the thought of someone he knew getting hurt, without him doing anything about it.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wrongful Encounter [COMPLETED]
General Fiction"Iis daripada ngekos sendiri, tinggal bareng kita aja, gimana?" Mendengar tawaran Bimo yang terdengar tercela itu, semua kepala kontan menoleh. "Dan jadi babu kalian, gitu? Thanks, but no thanks." Cewek berbudi luhur itu menggeleng, masih sempat-sem...