Kalau Sabrina langsung menyalahkan diri sendiri karena tamu yang dia biarkan masuk membuat Ismail babak belur dan seisi rumah jadi merasa tidak nyaman, maka ... yang lain memang merasa tidak nyaman seperti yang Sabrina takutkan. Traumatized, malah—setidaknya begitulah yang dirasakan Iis.
Melihat sesama perempuan diseret-seret dengan kasar, tidak diindahkan meski menangis memohon-mohon sambil kesusahan memegangi bedcover yang nyaris tidak berhasil menutupi tubuhnya dan malah membuat66y terjungkal beberapa kali saat benda itu tidak sengaja terinjak ... entah bagaimana Iis merasa seolah dirinya bisa masuk ke jiwa Regina.
Iis nggak membenarkan perselingkuhan, apa pun alasannya. Tapi terlepas dari dosa-dosa yang diperbuat sang istri, Iis menyayangkan sikap suami Regina yang tidak memberi kesempatan perempuan itu untuk berbenah sedikit saja.
Dia bisa mengadilinya nanti, tapi berhenti satu detik untuk membiarkan Regina memastikan selimut yang dia pakai sudah sempurna menutupi kulitnya, akan mengubah keseluruhan jalan cerita di kepala Iis.
Yang tadi itu ... terlalu tragis.
"Zane ...?" Sambil merasakan tubuhnya menciut karena shock, Iis menoleh pada teman yang berdiri di sebelahnya.
Zane menempelkan telunjuk ke depan bibir, memberi isyarat untuk turun dulu, ketimbang buka suara di depan kamar Ismail.
Karena Iis mendadak telmi, Zane lalu berinisiatif menopang sedikit tubuhnya di punggung, mendorongnya pelan untuk berjalan kembali menuju tangga, meninggalkan Gusti di situ sendirian.
"You okay?" Setelah tiba di bawah, Zane bertanya.
Iis mengangguk antara sadar dan tidak.
"Mau keluar jogging bentar? Baliknya sekalian beli sarapan."
Sekali lagi Iis mengangguk. Lalu segera sadar kalau saat ini dia hanya mengenakan pakai jaket jeans Sabrina sebagai penutup kepala, yang dia sampirkan asal-asalan dan masih dia pegang erat-erat kedua sisinya di bawah dagu. "Tunggu gue ganti baju bentar, ya?"
"Hm." Zane yang kebetulan merasa pakaian tidurnya sudah proper dibawa keluar, memutuskan menunggu di sofa ruang tamu sambil memakai sepatu larinya yang memang selalu ditinggal di rak di dekat pintu depan.
Tidak sampai lima menit kemudian, mereka berdua sudah berjalan pelan ke arah pantai, seperti biasa—meski tidak berambisi finish di sana. Tapi yang tidak biasa adalah Iis kehilangan kemampuan untuk ceriwis membicarakan apa saja dengan sahabatnya itu.
"Dia itu cowok yang gue lihat di Mariott pas nganter Rachel, sama yang jemput Regina di Soetta kemarin lusa." Zane menggumam ketika sudah beberapa ratus meter meninggalkan villa.
Nggak ada maksud apa-apa. Cuma merasa perlu mengeluarkan sesuatu yang mengganjal di tenggorokan akhir-akhir ini.
Zane memang sudah merasa ada yang aneh dengan Regina saat tidak sengaja melihatnya di Mariott dua minggu lalu. Ditambah gelagatnya saat pulang bersama dari Ngurah Rai kemarin sore.
Mungkin karena sudah diberi tahu Ismail kalau Zane dan dirinya berangkat menggunakan penerbangan yang sama ke Jakarta di hari sebelumnya, dan ada kemungkinan Zane melihatnya, makanya Regina jadi menjaga jarak.
Tapi belum sempat Zane menyelidiki lebih lanjut, bakul nasinya sudah tumpah duluan. Nggak terselamatkan.
"Sorry kalau sebelumnya gue terkesan ngeremehin apa yang lo ceritain waktu itu. Jadinya kita malah ngetawain Ismail, berasumsi kalau dia dan Regina cuma open relationship." Iis langsung dirundung rasa bersalah. Padahal, dia pernah ditolong Zane untuk kasus serupa, tapi malah mencegah Zane melakukan hal yang sama untuk teman mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wrongful Encounter [COMPLETED]
Ficción General"Iis daripada ngekos sendiri, tinggal bareng kita aja, gimana?" Mendengar tawaran Bimo yang terdengar tercela itu, semua kepala kontan menoleh. "Dan jadi babu kalian, gitu? Thanks, but no thanks." Cewek berbudi luhur itu menggeleng, masih sempat-sem...