24 | into the wild

13K 1.5K 157
                                    


Yang dikhawatirkan Sabrina tadi sore nggak terjadi. Setelah tidur sebentar dan terbangun karena lapar di jam sepuluh malam, Mail merasa hampir seratus persen kembali bugar. Bahkan otaknya yang nyaris pecah dipakai konsentrasi bekerja di kantor tadi sudah kembali normal saat dia gunakan untuk menjawab rombongan chat dari rakyat BEM-nya, juga scrolling laporan progress dari Ketua Panitia Rector Cup yang besok sore akan menyelenggarakan Rapat Koordinasi ke-1. Saking bugarnya, sampai nggak kelihatan kalau tadi pagi dia sekarat, jalan tegak aja susah.

Satu jam kemudian, saat akhirnya turun ke dapur setelah menyempatkan mandi kilat, cowok itu menemukan pasangan Bimo-Sabrina, plus Gusti sebagai orang ketiga, leyeh-leyeh di depan laptop masing-masing di gazebo.

Melihat ketiga temannya mengenaskan begitu, terpaksa standby di rumah hanya demi menemaninya, nggak mungkin Mail nggak merasa sungkan.

Sambil mendesah pelan, cowok jangkung itu meletakkan laptop yang dijinjingnya ke atas kitchen island, berniat menyeduh Pop Mie sebelum ikut bergabung.

"Laper, Pak?" Sabrina yang rebahan dengan kepala numpang di paha Bimo dan laptop terbuka di atas perut, bertanya, yang dijawab anggukan oleh Ismail. "Tadi Mas Agus beliin sate kambing, tuh, kalau mau. Tinggal angetin aja."

Mail melirik meja makan dan melihat sepiring sate di sana. Dia hampiri dan buka tudung sajinya. Sudah dingin, tentu saja. Dengan lemak putih tampak mengeras di beberapa bagian.

"Beneran buat gue?" Mail mengonfirmasi sekali lagi.

Gusti mengangguk.

Dan lagi-lagi malah Sabrina yang menyahut. "Tumben, ya? Gue juga antara percaya dan enggak tadi. Takut diracun."

Cewek itu ngakak sendiri, membuat yang lagi diomongin menendang bokongnya gemas.

Sebulan tinggal bersama, kalau ada yang nggak pernah berkontribusi membeli makanan untuk orang rumah, memang Gustilah orangnya.

Mendit banget, ya? Tauk, tuh. Sok berlagak gembel, padahal kalau didatangi rumahnya di Magelang sana, nggak pantes banget. Rumah segede gitu tapi kikir tuh, mau jadi tokoh utama sinetron azab?

"Ck. Biasanya kan kalian yang keluar rumah, gue yang kebagian piket jaga masa masih diharepin pergi beliin makanan juga?" Gusti membela diri.

Mail manggut-manggut saja daripada ribut.

Toh, masuk akal juga argumen si Gusti ini.

Sore tadi, sebelum dia pergi tidur, temannya itu memang memberitahu bahwa dia akan mengantar Iis ke airport dengan mobil Zane. Karena sisanya nggak keluar sama sekali, kebangetan memang kalau dia balik dengan tangan hampa.

Mail memasukkan piring sate itu ke microwave, kemudian membuka bungkusan lontong dan mengiris isinya menjadi beberapa potongan besar. Sekali lagi menoleh ke arah teman-temannya sembari menunggu satenya kelar dipanaskan. "Besok mau cabut ke mana gitu, nggak? Iis sama Zane liburan, ngenes amat kita jaga pos ronda."

Sabrina yang paling nggak betah diam di rumah, jelas excited. "Waaah ... gue baru aja bilang gitu, tapi diomelin sama Bimo."

Ketiga cowok di situ auto kembang kempis hidungnya.

Ngaduin pacar sendiri ke cowok lain, tapi dianya ngomong sambil goleran di paha sang pacar. Akhlaknya di mana?

Mau heran, tapi itu Sabrina.

"Yang bilang konsep Rakor belum kelar tadi siapa?" Bimo nggak terima difitnah, mengulurkan tangan untuk menggamit dagu ceweknya dan menunjukkan muka zombie itu ke Mail. "Nih anak buah lo bikin konsep sampe kayak orang sakit keras begini, gaya-gayaan mau ngajak jalan-jalan. Bisa-bisa malemnya nangis di forum karena garapan nggak beres."

Wrongful Encounter [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang