The weekend has finally come.
Sabrina si anak bawang yang sejak awal didapuk menyusun itinerary liburan mereka Sabtu-Minggu ini, auto semangat empat lima menyambut hari berganti. Sebelum Subuh, ABG itu sudah heboh membangunkan teman sekamarnya, sebelum kemudian lanjut menggedor pintu kamar sebelah.
Padahal percuma saja dia membangunkan yang lain dulu, karena sekalipun mereka semua sudah siap, si kampret Mail masih harus pergi menjemput gebetannya.
"Harusnya lo bangunin Abang kesayangan lo minimal sejam sebelum bangunin yang lain sih, Sab." Agus menguap sambil membuka pintu. Rada takjub melihat cewek di depannya sudah rapi.
Maklum sih, Sabrina kan mesti gantian kamar mandi dengan Iis, jadinya harus mengalah mandi duluan kalau nggak mau jadi orang terakhir yang kelar mandi dan menghambat jadwal mereka semua.
Lalu sebelum Sabrina sempat menyahut, Agus sudah duluan melenggang ke living room dan goleran di salah satu sofa, meninggalkan cewek yang membangunkannya itu terbengong-bengong di depan pintu kamarnya.
"Menurut ngana, kenapa gue bangunin lo duluan, Mas?" Sabrina segera menyusulnya, bertanya kesal. "Biar elo bantu bangunin yang di atas, lah."
"Elo aja siiih, sekalian." Agus menggaruk-garuk lehernya sambil merem. Satu kakinya nangkring di sandaran punggung sementara kepalanya melunglai ke bawah sofa two seater yang jelas nggak cukup menampung tubuhnya. "Sekalian minta jatah morning kiss ke Bimo."
Agus emang sialan. Sabrina berdecak.
Membangunkan Bimo sih perkara gampang. Tapi kalau Agus yang naik, bisa sekali jalan menggebrak tiga kamar. Sementara Sabrina, harus estafet menyuruh orang lain lagi karena Mail emang sebrengsek itu. Udah bangunnya susah, nggak bakal mempan digedor pintunya doang, tidurnya suka nggak pake baju pula! Jadi gimana mungkin Sabrina yang turun tangan masuk ke kamarnya? Bisa-bisa Sabrina kena sawan!
Tapi untung, sebelum Sabrina gelap mata melempar kepala Agus dengan asbak, Iis sudah peka duluan dan menggantikan urusannya, sehingga cewek itu bisa langsung ke dapur untuk membuat sarapan kilat.
Dan berjam-jam kemudian—karena seheboh apapun Sabrina menyuruh mereka semua bergegas, kalau Regina belum kelar siap-siap juga nggak bisa berangkat—akhirnya mereka semua berangkat dengan tiga jeep menuju Kintamani.
Agus-Bimo-Sabrina—dengan Agus sebagai supir dan Sabrina yang jadi map man—memimpin jalan. Zane dan Iis menyusul di belakangnya. Terakhir Mail-Regina yang jadi sweeper.
Dan seperti sudah terprediksi, mereka sampai di Batur sudah siang karena macet membuat perjalanan jadi dua kali lipat lebih lama dibanding seharusnya. Mana cuma sempat sarapan roti dan kopi, sampai di rumah makan prasmanan di Jalan Raya Panelokan, keenam-enamnya sudah lunglai di meja kosong pertama.
Jujur, mood Sabrina sudah jelek saat tiba di sana.
Soalnya, kata orang-orang, tempat itu pasti sudah berkabut di jam tiga sore. Kan kesal kalau jauh-jauh macet-macetan terus zonk.
Tapi mau ngambek sama Regina, gimana yaaa ... Regina kan memang nggak ikut briefing. Jadi Sabrina betenya ke Mail saja.
Mana Regina ternyata baik banget lagi, begitu sampai langsung gercep menawari Sabrina mau diambilkan makanan apa, bikin Sabrina nggak bisa kesal.
"Mau sate, Bim." Sambil menahan cemberut, Sabrina menyenggol pacarnya. Melirik sate lilit di piring Bimo yang memang nggak ada di piringnya sendiri.
Bimo menoleh sambil menaikkan sebelah alis.
Udara panas tampaknya membuat Sabrina jadi lebih rewel dan makin kayak bocah.
Apalagi karena rumah makan sedang full, mereka hanya dapat meja indoor yang posisinya jauh dari kipas angin. Dan sekarang, muka Sabrina sudah merah semua sampai kuping. Keringatnya berkilauan di dahi karena kepanasan.
"Pake nasi?" Bimo bertanya balik dengan kebapakan.
Sabrina menggeleng.
Bimo kemudian menyuapinya dengan sabar, membuat Zane dan Iis yang duduk di seberangnya langsung merasa mual. Padahal mah pemandangan semacam itu udah jadi makanan sehari-hari.
Lalu kontras juga dengan Agus dan Mail yang nggak bereaksi berlebihan, Regina justru senyum-senyum.
"Gemesin banget sih kalian berdua."
Sabrina terdiam.
Dia jarang dibilang menggemaskan oleh orang asing.
Tapi melihat Regina yang mungkin memang seumuran dengan kakak kandungnya, sekitar enam atau tujuh tahun lebih tua, Sabrina merasa bukan hal aneh kalau Regina melihatnya masih seperti anak kecil.
~
Kelar brunch with the view, Sabrina merepet ke Zane yang lagi merokok dan memisahkan diri dari rombongan.
"Bang, abis ini gue ikut mobil lo, ya?"
Mendengar permintaan nggak masuk akal itu, Zane cuma menaikkan sebelah alis. Nggak tampak berniat menjawab.
"Ayolah, Bang. Gue pengen coba nyetir juga di Black Lava."
Oh. Zane paham sekarang.
Gara-gara dulu Zane pernah mengajaknya memutari Sentul saat test drive Bentayga yang baru masuk ke Indonesia, sementara Bimo sendiri ogah-ogahan membawanya, sekarang cewek ini menganggap perlakuan itu spesial dan pengen ngelunjak.
Gini nih yang bikin Zane malas berurusan sama orang-orang.
"Elo ceweknya Bimo tapi mau ngikut gue, yang bener aja?" Zane lalu menyingkir, mencari spot duduk lain.
Tapi Sabrina mengikutinya.
"Bimo kayak bapak-bapak kalau udah soal nyetir-nyetiran. Bener-bener strict karena gue belum ada SIM." Cewek itu mengadu seolah-olah Zane ini ibu perinya.
Zane melotot. "Emang gue kagak?"
"No." Cewek itu menggeleng dengan sungguh-sungguh, membuat Zane ingin menggemplang kepalanya karena memang tampangnya semenyebalkan itu. "You are more like a brother. Ngeselin, tapi masih bisa dinego asal win-win. Besides, you already know, gue kan bisa nyetir, right? Nggak bakal gue tabrakin jeep lo, demi apapun, sumpah!"
"Win-win?" Malas tapi kepo, akhirnya Zane terpaksa bertanya. "Terus gue dapet apa?"
"I'll clean your room?"
Hmm.
Zane menghirup rokoknya dalam-dalam. Nggak tertarik. "Berapa kali?"
"Sekali lah, nyolot banget."
"Dih." Sumpah ini yang nyolot siapa sih? Black Lava itu ekstrem loh ya. Ngasih izin Sabrina untuk membawa mobilnya, selain taruhan mobil juga taruhan nyawa. "Males, ah. Ke Bimo aja sono, tawarin apaan, kek, yang nggak bisa dia tolak."
Sabrina melotot.
Asli, dia pengen banget menjorokkan cowok ini ke jurang di depan mereka. "Aaaa, please .... Mau nyetir pokoknya. Yaaa? Please, please, please, please, please! Pokoknya mau nyetir, titik!"
~
KAMU SEDANG MEMBACA
Wrongful Encounter [COMPLETED]
Fiksi Umum"Iis daripada ngekos sendiri, tinggal bareng kita aja, gimana?" Mendengar tawaran Bimo yang terdengar tercela itu, semua kepala kontan menoleh. "Dan jadi babu kalian, gitu? Thanks, but no thanks." Cewek berbudi luhur itu menggeleng, masih sempat-sem...