Agaknya, Ismail sedang tidak beruntung.
Sekuriti kosan Regina sedang meninggalkan pos, dan hingga sepuluh menit lebih dia berdiri di depan pagar, tidak ada seorangpun yang bisa dimintai pertolongan untuk memberinya akses masuk ke dalam.
Nggak mungkin dia menelepon Regina, kan? Mustahil diangkat.
Entah apa yang membuat cewek itu mantap menghindarinya, padahal kemarin-kemarin seperti tidak rela memutus hubungan meski sudah ketahuan sang suami.
Ismail bukannya rela jadi selingkuhan. Dia cuma ... nggak mungkin diam setelah mengetahui ada kemungkinan Regina hamil, kan?
Ismail juga bukannya udah siap banget untuk mempertanggung jawabkan semua kemungkinan terburuk. Tapi kan ... fuck, Mail nggak bisa mikir.
Lima belas menit. Dua puluh menit ....
Makin lama, makin anxious.
Sebentar lagi matahari tenggelam. Bahkan sebagian lampu jalan sudah menyala.
Ya Tuhan, apa sebaiknya Mail telepon saja?
Untungnya nggak perlu, karena tepat saat Mail hendak menyentuh ikon bergambar gagang telepon pada kontak Regina, dewa penyelamatnya datang.
Penghuni kamar sebelah Regina. Cewek juga, seumuran Regina. Tampak baru pulang kerja.
Ada bagusnya juga Ismail terlahir ramah dan secara alamiah akan bertegur sapa dengan orang-orang yang berpapasan dengannya di mana saja. Dan karena berpapasannya berkali-kali, sudah pasti Ismail mengenalinya.
"Boleh ikut masuk, nggak, Nez? Regina nggak jawab telepon gue, takut dia kenapa-napa. Tadi di kantor udah kelihatan nggak sehat." Ismail berusaha kelihatan memelas sekaligus tidak menyebalkan karena tahu rasanya direpoti orang yang nggak kenal-kenal banget.
Tetangga Regina yang bernama Inez itu menimbang sejenak. Kelihatan enggan. "Jujur, aku nggak mau terlibat masalah orang."
Ya sih, Mail paham.
Cukup lama bertetangga dengan Regina, nggak mungkin cuma Ismail satu-satunya tamu Regina yang Inez kenali. Nggak mungkin Inez nggak pernah ketemu suami Regina, dan hampir nggak mungkin Inez nggak mengetahui bahwa Ismail adalah selingkuhan.
Karena nggak ingin memaksa, Ismail kemudian mengangguk. "Seenggaknya boleh save nomor gue? Please kabarin kalau ngerasa ada yang nggak beres di kamar Regina."
Lagi-lagi Inez menunjukkan wajah enggan.
Nggak ada harapan.
Mail memutuskan akan menunggu sebentar lagi, barangkali Regina keluar mengambil pesanan delivery makan malam.
"Masuk aja, deh. Tapi jangan bilang kalau aku yang bawa kamu masuk." Di luar dugaan, tetangga Regina itu mendadak berubah pikiran. "Tapi kamu masuk duluan. Pastiin nggak belok ke mana-mana. Aku nyusul semenit lagi."
"Thank you, thank you." Ismail segera masuk sebelum penolongnya itu kembali bimbang, segera berjalan cepat ke ujung belakang area parkir, menuju tangga yang mengarah ke kamar Regina di lantai dua.
Kalau ditanya seberapa gugup dan takutnya Mail saat ini ... jawabannya lebih takut ketimbang saat pertama kali dipanggil ke ruang BK saat SMP.
Semua pikiran buruk berkecamuk di kepala.
Bagaimana kalau—seperti kata Gusti—Regina sedang tidak sendirian di kamarnya?
Meski nggak bermaksud tidak bertanggung jawab, tetap saja Mail ngeri akan mendapat bogem mentah lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wrongful Encounter [COMPLETED]
Fiksi Umum"Iis daripada ngekos sendiri, tinggal bareng kita aja, gimana?" Mendengar tawaran Bimo yang terdengar tercela itu, semua kepala kontan menoleh. "Dan jadi babu kalian, gitu? Thanks, but no thanks." Cewek berbudi luhur itu menggeleng, masih sempat-sem...