"Ecieee ...."
Paginya, Sabrina langsung heboh dikarenakan pemandangan tidak lazim: Mail bangun lebih awal dibanding ayam berkokok, juga dibanding dengan dirinya sendiri.
Dan bukan cuma itu, ketika Sabrina keluar dari kamarnya sambil menguap karena mendengar suara berisik dari luar, kompor di dapur sudah menyala.
Regina yang memasak, tentu saja.
Dan selagi Regina mencincang daun bawang, si Ismail bin Mail dengan pedenya berdiri rapat di balik punggung sang cewek, memeluknya dengan ekspresi berbunga-bunga saat mereka kelihatan ngobrol asyik, bak adegan di film-film romantis.
"Ada yang berseri-seri, nih!" Sabrina nggak membuang kesempatan untuk mengejek seniornya, yang kemudian cuma senyam-senyum tapi tidak tampak ingin menjauh dari ceweknya di depan Sabrina. "Udah official?"
Memang sih, belum ada setahun mengenalnya, Sabrina sudah sempat melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Ismail bin Mail ini sudah seringkali bergonta-ganti cewek.
Dan nggak kayak cowok-cowok lain yang Sabrina kenal di circle mereka, Ismail tuh PDKT-nya selalu ekspres. Baru kenal seminggu langsung jadian buka hal impossible, sehingga tak jarang Sabrina tutup mata pada drama percintaan Pak Menterinya itu.
Tapi, Regina jelas beda. Karena bukan hanya ke Mail, cewek yang lebih tua tiga tahun dari mayoritas penghuni rumah dan tujuh tahun dari Sabrina itu PDKT-nya ke mereka semua. Mana—terlepas dari tragedi di gazebo malam itu yang kadang-kadang membuat bulu kuduk Sabrina meremang sampai sekarang—Regina baik banget dan bisa ngemong mereka semua lagi. Jadi ... kenapa Sabrina mesti nggak ikut excited kalau akhirnya mereka pacaran?
"Ya gitu, deh." Mail mengelak untuk mengiyakan, tapi dia memang nggak perlu melakukannya. Udah jelas banget, boook! Kalau belum ada status, dia bakal sembunyi-sembunyi sayang-sayangannya, kayak kemarin!
"Mau dipotretin ala-ala prewed, nggak? Mumpung bagus, jam segini cahaya ilahinya masuk dapur, jadi nggak perlu pake filter."
Sebelum yang bersangkutan menyahut, Sabrina sudah mengeluarkan HP-nya duluan dan memberi aba-aba dua orang di depannya untuk melanjutkan apa yang sedang mereka kerjakan biar bisa diambil potret candid.
Dan terima kasih pada Gusti Prawirodiprodjo yang telaten memberi kuliah Sabrina tentang pengambilan angle, hingga Sabrina sekarang sudah pede semisal mau dimasukkan ke divisi pusdok di kepanitiaan apapun.
"Nama IG lo apa, Mbak?" Selesai memilih foto terbaik, Sabrina hendak mempostingnya di story dengan menandai dua orang objeknya itu, tapi Regina malah menggeleng.
"Kirim ke WA aja. Gue nggak main sosmed." Regina menjawab kalem, membuka tutup panci dan memasukkan daun bawang ke sup yang sudah matang. Bau segarnya langsung menguar ke sepenjuru dapur.
"Hah, serius? Why?" Sabrina masih mempermasalahkan permedsosan saat kemudian fokus Mail sudah pindah ke masakan pacarnya. Membantu Regina mengangkat panci itu biar kompornya bisa dipakai untuk melakukan hal lain.
Regina meletakkan teflon besar di atas kompor, menoleh ke Sabrina sekilas. "Karena nggak butuh?"
Sabrina kontan melongo. "Wow."
Memutuskan nggak punya medsos di zaman sekarang tuh wow banget menurutnya.
Regina lalu mesem lagi setelah memberi instruksi Mail untuk mengambilkan piring besar dari rak. "Gue lagi belajar jadi digital minimalist."
Dan Sabrina makin-makin dibuat melongo olehnya.
Pantes lah Regina dan Mail cepet nyambung.
Mail tuh, biarpun masih newbie, sedang proses menerapkan mindfulness juga. Itu tuh, gaya hidup yang simple-nya berarti 'living in the moment', biar nggak gampang overthinking. Dan salah satu cara untuk mindful pada apa yang sedang dikerjakan sekarang, ya jelas dengan mengurangi kecanduan menggunakan ponsel ke mana-mana. Mengurangi penggunaan produk digital yang nggak diperlukan juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wrongful Encounter [COMPLETED]
General Fiction"Iis daripada ngekos sendiri, tinggal bareng kita aja, gimana?" Mendengar tawaran Bimo yang terdengar tercela itu, semua kepala kontan menoleh. "Dan jadi babu kalian, gitu? Thanks, but no thanks." Cewek berbudi luhur itu menggeleng, masih sempat-sem...