Iis memandang cowok di depannya dengan penuh curiga, sementara yang dipandang masih sibuk makan tanpa sedikit pun terusik dengan apa yang barusan terjadi: Bimo dan Sabrina nyelonong ke gazebo, mengabaikan mereka bertiga—Gusti, Iis, dan Zane—di meja makan.
Tentu di meja makan hanya bertiga. Karena seperti biasa, Ismail butuh waktu lebih lama untuk bersiap-siap dibanding yang lain.
Melihat Zane selesai sarapan duluan tidak lama kemudian, segera Iis tarik lengan kemeja temannya itu supaya menjauh dari Gusti. "Kenapa lagi?" tanyanya to the point.
"Apanya yang kenapa?" Zane malah balik nanya dengan muka sok polos.
"She doesn't like me, I understand, berhubung semalem kita abis ribut. Tapi yang barusan tadi, kayaknya lebih serius ketimbang urusan lampu tidur doang. Jadi, abis lo apain tuh si bocil?"
Tidak bisa mengelak bahwa dia tidak melakukan apa-apa, Zane akhirnya hanya mengangkat bahu dengan malas. Lalu berjalan menuju rak sepatu dan memakai salah satu miliknya, mengabaikan Iis yang masih menunggu jawaban. "Lo mau nebeng apa enggak?"
"Zaneee!"
"Buruan!"
Sambil manyun, Iis segera lari ke kamar untuk mengambil tas. Kesal, tapi daripada ke sekolah jalan? Cuma lima menit, sih, tapi panasnya udah nyengat!
"Lo bikin urusan makin runyam tau nggak?" Gerutunya sembari menaiki jok motor di belakang Zane.
"Ya udah sih, cuekin balik aja. Bukan temen lo juga."
"Enteng banget ngomongnya, Pak!" Iis mencubit pinggang temannya itu berbarengan dengan motor mulai melaju, tapi Zane tidak memberikan reaksi berlebihan. Akhirnya Iis pasrah saja, membiarkan Sabrina berpikiran negatif padanya. Padahal, demi apapun, dia nggak bermaksud membuat itu cewek diomeli Zane.
Semalam, Iis memang nggak bisa tidur lagi semenjak Sabrina meninggalkannya ke kamar Bimo. Zane yang kebetulan melihatnya online, mengirim chat dan menanyakan, 'Tumben kebo masih bangun?'
Jadilah Iis cerita kalau dia ikut parno setelah ditinggal Sabrina.
Zane muncul di villa tidak lama kemudian, mengajak temannya tidur di depan TV saja, daripada nggak tidur sama sekali. End of the story.
~
Yang dilakukan Mail setiba di kantor adalah mengedit poster lowongan HR yang akan dibuka selama beberapa hari mendatang.
Regina betulan akan resign. Tepatnya tiga bulan setelah personil baru masuk. Tapi Mail menahan diri untuk tidak bertanya apa pun.
Tentu saja Mail nggak perlu khawatir Regina akan bersikap tidak kooperatif. Malah cewek itu membebaskannya untuk bekerja di mana saja, asal tugasnya beres.
Setidaknya selama mengerjakan poster, hidup Mail damai-damai saja, sampai tiba waktunya dia menyerahkan hasil pekerjaannya, dan menanyakan apakah ada revisi atau tidak.
Ismail meneliti poster itu sesaat, sebelum kemudian pandangannya pindah ke cowok di depannya.
Mail pura-pura tidak menyadari, kerenanya kemudian Regina bersuara. "Kamu sehat, Ismail?"
Gerakan tangan Mail yang memegang mouse terhenti, tapi dia tidak mengalihkan pandangan dari layar PC.
Dadanya bergemuruh nggak tahu diri. Susah payah dia berusaha terlihat biasa-biasa saja.
"Lo mengharapnya gue gimana?" tanyanya balik tidak lama kemudian, dengan suara nyaris datar.
Regina tersenyum kecut mendapati sahutan yang jauh dari ramah itu. "Kamu kelihatan kurusan. Aku harap kamu nggak kenapa-napa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Wrongful Encounter [COMPLETED]
Ficção Geral"Iis daripada ngekos sendiri, tinggal bareng kita aja, gimana?" Mendengar tawaran Bimo yang terdengar tercela itu, semua kepala kontan menoleh. "Dan jadi babu kalian, gitu? Thanks, but no thanks." Cewek berbudi luhur itu menggeleng, masih sempat-sem...