23 | painkiller

11.7K 1.6K 201
                                    

"Apa gue bilang? Elo tuh pucet banget kemarin, Bang. Bukannya ke dokter malah clubbing!"

Diomeli begitu oleh Sabrina, Ismail mendadak jadi rindu ibunya di rumah. Persis banget soalnya, meski mulut ngomel-ngomel, kalau ada anggota keluarga yang tertimpa musibah karena kebodohan sendiri, tangannya tetap sigap membantu sebisanya.

Saat ini sambil ngomel-ngomel juga Sabrina tetap gercep memberinya minum air hangat karena Mail mendadak mual dan muntah-muntah di tengah waktu sarapan. Sementara anak-anak yang lain sudah berangkat karena kebetulan Mail memang kesiangan.

"Kemarin balik kantor udah enakan, jadi nggak kepikiran lagi mau ke dokter." Sang cowok cepat-cepat beringsut menjauh setelah dahinya disentuh Sabrina.

Merinding—karena Sabrina ini jelas masuk daftar cewek yang nggak boleh menyentuh serta disentuh olehnya.

Kesannya kayak PK banget ya si Mail ini? Atau murahan banget, sampai dengan Sabrina saja mesti behave kalau nggak mau baper. Kalau melihat record, iya memang, sih, Mail ini gampang baper plus PK juga. Tapi ... Sabrina memang pantes jadi exceptional, kok.

Walau usianya hampir lima tahun lebih muda dibanding Ismail, pun kelakuannya hampir selalu konyol, diam-diam Sabrina ini punya sisi yang membuatnya nggak bisa dipandang sebelah mata. Kayak ... pada momen-momen tertentu tuh, dia bisa sangat diandalkan lebih dari siapapun, dan Mail yakin bukan cuma dia—selain Bimo, of course—yang berpikiran seperti ini. Ngeri nggak, sih?

Kata Sabrina, itu efek karena hidupnya pernah susah aja, jadi udah biasa ngemong diri sendiri dan orang-orang terdekatnya. Jadi sebenarnya kalau nggak dimanja sama Bimo, aslinya Sabrina mah bisa-bisa aja survive hidup di Jabodetabek yang keras. Cuma, berhubung ada yang menawarkan diri jadi shoulder to lean on, ya kenapa nggak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya?

Terserah cewek itu ngomong apa, yang jelas selama dia sudah taken, baiknya Mail menjaga jarak darinya.

"Lagian gue bukan orang yang minum tanpa ngitung alcohol intake, kali. Sorry to say, tapi matematika gue bagus, dan gue paham cara kerjanya orang di bar." Mail bersuara biar pikirannya nggak ke mana-mana kelamaan hening.

"Ya tapi kan lo jadi kurang tidur karena pulang kepagian!" Sabrina lanjut mengomel sambil membuang kertas kemasan gula ke tong sampah.

Mail tertawa pelan. Tawa sumbang. "Galak banget, kayak ibu tiri."

"Ck." Sabrina memukul kepalanya, membuat Ismail mengaduh kesakitan. Udah pusing, dianiaya pula. "Terus sekarang gimana? Masa masih nggak mau dianter ke dokter juga?"

"Nggak perlu, pacar Bimo tersayang. Udah mau telat juga gue ngantornya. Nanti aja kalau pulang kerja masih sakit kepala dan mual-mual, gue beneran bakal mampir ke dokter sendiri. Lagian, emang lo nggak ada kelas?"

"Ada, lah. Tapi masa gue berlagak nggak tahu ada temen kesusahan?"

Nah, beruntung banget si Bimo dapat Sabrina, ya kan? "Sekarang gue minta painkiller aja kalau ada."

"Ada, sih. Tapi kan tadi abis minum susu." Sabrina cemberut, ingat kalau susu dan obat nggak boleh dibarengin. "Ada maag nggak?"

Mail menggeleng.

"Gue kasih obatnya, tapi minum dua jam lagi, ya."

"Siap, Ibu Kos."

Sabrina berdecak lagi, tapi kakinya tetap melangkah juga ke kamarnya, sebelum kembali tidak lama kemudian dengan satu strip Ibuprofen.

"Tunggu bentar, gue bawain roti buat pengganti yang dimuntahin tadi." Cewek itu menambahkan ketika dia lihat Ismail sudah akan beranjak.

Sungguh enggak aman lama-lama berduaan sama pacar orang berjiwa caretaker begini. "Nggak usah repot-repot. Ada yang namanya kafetaria di kantor gue, Sabrina."

Wrongful Encounter [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang