"Lo serius mau cabut dari sini?" Gusti duduk di pinggiran kasur temannya. Tapi karena Iis cuma mengangguk dan tidak memberikan jawaban, cowok itu ganti melirik Zane yang sedang bersandar di kusen jendela. "Oy, bantu bujuk dong!"
Sayangnya, Zane tetaplah Zane. Disawer semilyar juga belum tentu membuat sepasang bibir tipisnya mau mengucapkan kalimat yang diharapkan. "Ngapain? Baguslah Iis mau pindah. Di sini juga nggak kondusif."
"Kondusif, kondusif pala lo!" Gusti belum pernah sekesal ini menghadapi Zane yang suka nggak ngerti kapan saatnya songong dan kapan saatnya menurunkan ego. "Jangan digede-gedein dong, kawan. Nggak denger tadi Mail bilang urusan dia sama Regina udah tamat banget? Ya anaknya emang masih rada sensitif, tapi seenggaknya Regina udah di-cut off, nggak perlu khawatir bakal ketemu dia lagi di sini. Ayo dong, kita balik kayak dulu lagi. Apa nggak canggung kalau sekarang lo cabut, tapi nanti di kampus tiap hari ketemu lagi? Please, besarkanlah hatimu, Iis Jamilah. Masa temenan sama Zane kuat, sama Mail enggak? Padahal bangsatnya sama."
"Bangke!" Zane berdecih, sementara Iis masih diam.
Gusti menghela super napas. Belajar sabar. "Emang lo mau pindah ke mana sih malem-malem gini?"
"Hotel." Iis menyahut singkat.
Gusti mengangguk. "Deket-deket sini tapi, kan? Jangan jauh-jauh, besok pagi lo repot ke sekolahnya."
Iis nggak menjawab. Sudah capek sendiri membayangkan mesti packing-unpacking lagi. Masalahnya, jumlah bawaannya udah ngalah-ngalahin brand ambassador YSL kalau mau dateng ke PFW. Karena pikirnya nggak akan pindah-pindah selama dua bulan, dia memang membawa banyak sekali baju dan sepatu formal untuk mengajar—yang pasti bakal lecek kalau dibongkar-bongkar. Belum lagi dia punya sekoper besar buku-buku bergambar dan mainan edukatif untuk nanti dia bagikan sebagai hadiah perpisahan dengan murid-muridnya.
Tidak lekas mendengar jawaban Iis, sekali lagi Gusti menoleh ke Zane.
Zane mendesah. "Belum booking, dia. Paling malem ini gue bawa ke Seminyak dulu."
"Berdua doang?" Gusti melotot. Meski mereka semua berteman, membiarkan Iis masuk sendirian ke kandang buaya rawa tetaplah mengkhawatirkan. "Jangan lah. Mending di hotel aja. Biar gue booking-in."
Iis masih juga diam. Kenapa tadi dia mesti gegabah dan ngancem mau cabut? Yang ngeselin si Mail, kenapa malah dia yang repot?
"Tapi dibanding semua itu, lebih baik tetep di sini aja sih." Gusti sekali lagi mencoba membujuk.
Iis mesem tipis. Dia maunya juga di sini, tapi males banget lihat muka Ismail. "Gue beneran butuh space buat ngadem, Gus."
"Iya, iya, silakan. Makanya gue booking-in hotel aja yang deket sini. Seminyak kejauhan, belum lagi lo sama Zane, bukan Sabrina yang bisa bangun sebelum ayam berkokok."
Nah, kalau itu, baik Zane atau Iis terpaksa sepakat.
Meski udah bikin sepuluh alarm di handphone, alarm hidup jauh lebih efektif membangunkan mereka berdua.
"Mbak." Belum juga Iis membuat keputusan, tiba-tiba muncul Sabrina—disusul oleh Bimo—membuka pintu kamar mereka, lalu nimbrung masuk.
Berantemnya Iis dan Mail tadi memang tidak dilakukan terang-terangan. Ngambeknya Iis yang kemudian memutuskan untuk cabut dari villa juga dilakukan diam-diam. Tapi emang dasar tembok villa terlalu tipis, jadi semua desas-desus bisa terdengar jelas.
"I know I'm not a good roommate for you. Bang Mail is not a good housemate either. But can you please reconsider not to leave?" Cewek itu berkata dengan tampang malu-malu dan cuma menatap muka Iis selama sepersekian detik. Melihat tangannya saling bertaut dalam gandengan tangan Bimo, semua juga bisa menebak kalau yang dilakukan Sabrina sekarang ini atas bujukan Bimo. "Ya ... silakan aja kalau mau nenangin diri di lain tempat dulu malam ini, but can you please come back tomorrow? Kita datengnya bareng sebagai tim, kalau sampai pulangnya sendiri-sendiri, I don't think we'll be comfortable with that."
![](https://img.wattpad.com/cover/248715093-288-k516499.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Wrongful Encounter [COMPLETED]
Fiction générale"Iis daripada ngekos sendiri, tinggal bareng kita aja, gimana?" Mendengar tawaran Bimo yang terdengar tercela itu, semua kepala kontan menoleh. "Dan jadi babu kalian, gitu? Thanks, but no thanks." Cewek berbudi luhur itu menggeleng, masih sempat-sem...