3 | roommates shouldn't fight

20.6K 2.2K 189
                                    

"Oh—you awake?" Setelah berpuluh-puluh menit berlalu, akhirnya ABG satu itu menyadari juga keberadaan Zane di rumah saat hendak ke dapur mengambil minum. Padahal, Zane sudah lama duduk di bar sambil ngopi dan menontonnya jungkir balik melakukan segala gaya renang dengan sangat payah. Sudah sempat mengecilkan volume music player yang tadi dinyalakan dengan barbar juga. "Udah sarapan? Tadi Bang Mail sempet manggang roti buat ganjel perut sebelum pergi."

Zane refleks mengikuti arah pandang Sabrina ke meja makan.

Memang benar, ada piring di bawah tudung saji di situ, yang juga sudah sempat Zane lihat tadi. Tapi berhubung Zane tidak terbiasa tinggal bersama orang lain, makan yang bukan miliknya tanpa dipersilakan tidak mungkin dia lakukan.

Sembari berjalan melewati meja, Sabrina lalu sekalian mengambilkan piring itu untuk Zane, sebelum kemudian mengambil gelas dan menuang air dari dispenser untuk dirinya sendiri.

Zane mencuil rotinya sedikit. Melirik housemate-nya yang sedang minum. Kemudian salah fokus ke jejak basah yang ditimbulkannya di lantai, membuatnya berjengit tanpa sadar.

Tubuh cewek itu sudah terbungkus bathrobe dan handuk tebal di kepala. Tapi meski sudah memakai sandal juga, tetesan air dari tubuhnya yang belum keting betul masih membasahi sepanjang pinggir kolam sampai dapur. Untung dapurnya nggak berada di dalam rumah. Bahan lantainya juga nggak licin. Tapi tetap saja Zane merasa greget.

"Abis ini kalau nggak ada rencana ke mana-mana, temenin ke pasar ya, Bang?"

Seketika, gerakan mengunyah Zane terhenti.

Timbang sarapan roti panggang isi Nutella dua lembar aja disuruh jadi supir? Nggak sepadan bener. Mana Zane masing ngantuk, lagi.

"Biar nanti yang lain dateng, udah ada bahan yang bisa dimasak. Makan roti doang nggak kenyang, kan?" Sabrina lalu menambahkan, membuat Zane menelan ludah.

"Delivery aja sih, daripada repot masak." Cowok itu kemudian memberi saran yang praktis.

Tapi Sabrina langsung membantah dengan wajah pantang semangat. "Nggak repot, kok."

Emang nggak peka banget! Zane mau marah tapi sudah janji nggak mau ribut.

"Ke Pepito, kan?"

"Ke pasar aja, lebih murah, belinya sekalian buat seminggu. Sekalian support pedagang lokal, dong!"

Lah? Dia nggak tahu kalau pasarnya jauh? Selisih harganya nggak bakal sebanding dengan waktu yang terbuang karena harus bermacet-macet di jalan.

Tapi baiklah, anggap saja Zane lagi apes. Ketemu Sabrina di pagi hari di saat nggak ada orang lain di rumah, dan jadi direpotin begini. Sekali-sekali nggak apa-apalah dia berbuat baik.

Sayangnya, usaha berbaik hati Zane berbuntut panjang.

Sabrina yang emang dasarnya kelebihan energi, nyerocos terus sepanjang jalan, juga sepanjang kegiatan mereka berbelanja.

Belum lagi, seluruh ocehannya disertai gestur-gestur hiperaktif. Alhasil, karena nggak fokus memandang ke depan, kakinya terperosok masuk selokan, membuat tubuhnya oleng dan menubruk kios telur.

Zane kalah cepat mau menangkap tubuhnya sebelum jatuh. Terpaksalah mereka pulang membawa sepeti telur setengah pecah daripada kena hujat seisi pasar.

Sabrina lalu menangis heboh, bahkan belum mau berhenti juga meski sudah tiba kembali ke rumah.

Sialnya, kemudian Bimo-Gusti-Mail datang di saat yang tidak tepat.

Sabrina masih tersedu-sedu sementara Zane mengabaikannya, membuatZane terlihat seolah-olah sebagai penjahatnya.

Wrongful Encounter [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang