3. KookMin: Ian VS Sujimin [Bagian 1]

366 32 39
                                    

Suatu sore di sebuah desa nun jauh di sana, seorang pemuda bersurai merah berusia duapuluhan tampak menggeram kesal. Kakinya beberapa kali menendang ban mobilnya yang kempes.

"Sial! Sial! Kenapa harus di tempat seperti ini sih?" gerutu pemuda berbadan tegap itu. Ia mengeluarkan ponsel mahal dari saku jasnya yang juga mahal dan menghubungi seseorang.

"Halo, Mas Ian? Mas Ian di mana?"

"Bagyo, aku kesasar nggak tahu di mana. Bannya kempes. Kamu ke sini cepet!"

"Anu, Mas, say...gi...bu. Jadi nung...tar. Nan...yan...ya."

"Hah? Apa? Ngomong apa kamu barusan? Putus putus suaranya!"

"I...as...ti...ya jem...."

Tut tut tut!

"Bagyo? Hei!"

Pemuda yang tengah kesal itu kembali menatap layar ponsel keluaran terbarunya. Namun, hal tersebut justru membuatnya semakin frustrasi. "Zaman moderen begini masih ada tempat yang nggak nangkep sinyal! Apa di sini masih zaman batu?"

Ia terus menggerutu sambil berjalan bolak-balik seperti setrika. Tak berapa lama, dari kejauhan ia mendengar sayup-sayup suara...moooo?

"Sapi? Dari mana arah suaranya?"

Pemuda tersebut mengikuti arah datangnya suara. Setelah berjalan entah satu atau dua menit, ia melihat seorang petani yang tengah membajak sawah dengan menggunakan sapi. Ia mendekat dan mencoba menarik perhatian petani itu.

"Permisi, Pak!"

Moooo

"Halo?"

Moooo

"Dasar sapi sialan!" umpatnya gara-gara sapi itu yang selalu melenguh pada saat yang sama ia membuka mulut. "Permisi, Pak!"

Petani tua yang merasa dipanggil itu pun menoleh dan melihat seorang pemuda tampan melambaikan tangan.

"Sapa kuwi ya? (Siapa itu ya?)"

Ia mendekati pemuda yang berdiri di tepi sawahnya dan memperhatikan penampilannya yang jelas menunjukkan dirinya bukan orang desa ini.

"Nggih? Dos pundi, Dik? (Ya? Gimana, Dik?)"

"Itu ban mobil saya kempes. Ada bengkel nggak deket sini?"

"Wah ndak ada nek (kalau) deket sini. Tapi itu ada Mas Sujimin yang kagungan (punya) mobil. Dicoba aja. Nggih siapa tahu bisa."

"Rumahnya mana?"

"Ke sana. Bablas terus sampai apa kuwi jenenge (apa itu namanya) oh ho'oh sampai ada reca sing enten pentungane (patung yang ada pentungannya). Catnya ijo. Nah niku daleme Mas Sujimin (Nah itu rumahnya Mas Sujimin). Rumah yang paling gede ada pohon jambu klutuk."

"Ini kakek-kakek ngomong apa sih?" gumam Si Pemuda. Namun, setelah melihat petani tua itu menunjuk ke satu arah, ia pun mengangguk lalu mengeluarkan dompet dan menyodorkan selembar uang berwarna biru ke arah petani tua di depannya itu.

"Napa niki, Dik? (Apa ini, Dik?)"

"Buat situ. Ambil aja."

"Mpun, diasto mawon (Sudah, dibawa saja)," tolak Sang Petani dengan senyuman ramah.

"Tumben ada orang nolak cuan gratis. Ya udah, masukin lagi."

---

"Apa ini maksudnya?" Ia mengamati sebuah patung yang membawa pentungan di depan rumah hijau.

Monkey Business 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang