🍃Mungkin, saat ini aku belum mengenalmu. Tapi, biarlah waktu yang mengenalkan kita🍃
~Rere
°°°°
Rere melangkahkan kakinya begitu gontai mengikuti Fano yang sudah berjalan di depannya. Rere menghembuskan napas prustasi, laki-laki di depannya ini tidak peka sama sekali. Jangankan bergandengan tangan, jalan beriringan pun tidak. Bukannya Rere mau dekat-dekat sama Fano. Tapi setidaknya, mereka jalan beriringan. Kalau seperti ini, Rere terlihat seperti seorang sekertaris yang mengikuti kemanapun bosnya pergi. Rere tak menyukai situasi seperti ini, big no.
"Pak, pelan-pelan napa. Saya capek. Mo makan, mo minum, mo duduk-duduk cantik dulu biar kaki saya gak segede kaki ayam. Ya ya ya ya."
Fano menatap Rere malas. Baginya Rere itu terlalu banyak mengeluh dan banyak maunya. Kecapean dikit, ngeluh. Liat makanan enak langsung mau makan.
"Kita baru jalan lima menit yang lalu. Dari parkiran kesini dan itu gak bakalan bikin kaki kamu segede kaki ayam. Orang gedean kaki kamu kok daripada kaki ayam, ck." Fano kembali melangkahkan kakinya memasuki butik langganan mommy nya. Yaps, hari ini mereka berdua akan feeting baju pengantin.
Rere mengerucutkan bibirnya, dengan langkah lamban, Rere kembali mengikuti Fano yang sudah berada jauh di depannya.
Saat ini, Rere sudah berada di ruang ganti untuk mencoba beberapa gaun yang menurutnya terlalu terbuka. Bibirnya tak ada henti-hentinya mengomentari ini itu, sampai-sampai si mbak yang membantunya pun terkikik geli.
"Huftt. Bagus gak sih?" Rere bermonolog, memandang dirinya di depan cermin berukuran sedang."Hii, bodo amat deh. Mau cantik kek, mau jelek kek, gue gak peduli pokoknya. Gue kan gak mau nikah, hiks."
Fano mendongak saat tirai di depannya bergerak terbuka. Matanya tak berkedip sama sekali saat melihat Rere menggunakan gaun pilihannya tadi.
Glek..
Fano meneguk salivanya. Apa gadis yang berada di hadapannya ini benar-benar Rere? Seriousely? Fano tidak sedang bermimpikan?
"Cantik," gumam Fano pelan tanpa ia sadari.
"Hah?" Rere seolah seperti orang bodoh, tapi tunggu dulu, apa Rere tak salah dengar. Fano mengatakan bahwa, dirinya cantik? Sungguh?
"Bapak bilang apa? Saya...." Rere menggantungkan ucapannya, matanya menatap Fano dengan tatapan mengejek. "....gak mendengar apa yang barusan pak Fano bilang. Bisa bapak ulang lagi?"
Seketika Fano tersadar, wajahnya terlihat salting dengan kuping yang memerah. "Tidak ada."
"Yakin, huh? Tapi saya rasa--ah sudahlah. Lupakan."
Fano bernapas lega, untung saja Rere tidak melanjutkan ocehannya.
"Gimana?" Rere berusaha untuk tersenyum manis, meminta pendapat Fano mungkin tidak terlalu buruk.
"Gimana, apanya?" Fano malah bertanya balik, sangat tidak peka.
"Huft." Rere mengembungkan pipinya, "maksud saya, gimana, bajunya cocok gak sama saya? Cih, dasar gak peka." Rere memelankan suaranya di kalimat terakhir.
"Em." Fano mengelus-elus dagunya berpikir. "Bagus. Yasudah, mbak, saya ambil yang ini saja." Ucap Fano pada mbak-mbak yang membantu Rere tadi.
Tak ada ucapan manis ataupun sebuah pupujiaan.
****"Kamu kenapa? Kok manyun gitu," ucap Fano memecah keheningan di dalam mobil.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lecturer Is My Husband (END)
RomanceStory 1📙 Jadi, mohon maaf kalau masih agak berantakan. [belum revisi] Dijodohin itu gak ada dikamus gue. Apalagi dijodohin sama dosen yang galak seperti Fano. Dih, ogah. Bisa kebayang gak tuh kehidupan gue ke depannya? Gak jauh dan gak lebih pasti...