"Dari mana saja kamu?" Kalimat yang begitu menusuk itu keluar dari bibir Fano ketika Rere baru saja menutup pintu utama mansion mereka. Fano menaruh cangkir yang ia pegang ke atas meja bundar di hadapannya lalu berdiri membalik badan menatap Rere yang masih diam di ambang pintu. Dengan gerakkan ringan, Fano melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Alisnya terangkat naik, kemudian tatapannya kembali menghujam Rere yang masih tak bergeming di tempatnya.
"Kenapa hanya diam? Saya sedang bertanya sama kamu." Fano berjalan ringan menghampiri Rere, kemudian tangan kanannya terulur mengangkat dagu Rere dengan jari telunjuknya. Gadis itu tampak memelototkan kedua bola matanya tak suka atas perlakuannya ini. "Bukan sama tembok." Sambungnya sarkas.
"Aku.."
"Mau mencari-cari alasan nona? Tapi sayangnya, saya sudah tau yang sebenarnya. Ch" Fano bersedekap dada, matanya masih menyorot tajam gadis di depannya.
Rere malah memutar bola matanya malas. "Oh ya? Tau.. Apa?" Tanya Rere sambil ikut bersedekap dada, kini kedua nya saling berhadapan.
"Saya tidak suka jika kamu pergi dengan pria lain tanpa meminta ijin terlebih dulu sama saya...."
Lihatlah, baru saja tadi pagi Rere mendengar suaminya ini mengomel dan sekarang dia kembali mengomel layaknya ibu-ibu yang sedang memarahi anaknya.
"Apa kamu paham?" Ujar Fano di akhir kalimatnya.
Rere mengangguk malas lalu melenggang pergi melewati Fano yang masih diam dengan ocehan pedasnya itu. Rere benar-benar lelah, ingin pergi untuk beristirahat saja terasa susah.
Sesampainya di dalam kamar, Rere segera bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya terlebih dahulu.
Tak butuh waktu lama, kini Rere sudah selesai dengan rutinitasnya itu. Langkahnya terlihat tak bersemangat menghampiri meja belajarnya. Ya, tentu saja ia akan belajar, ralat maksudnya mengerjakan tugas yang Fano berikan tadi siang. Kalau saja ia tak pergi makan dengan Sam mungkin tugas sialan ini sudah ia selesaikan dari tadi. Tapi yasudahlah, lagipula Rere merasa bahagia karena bisa makan malam dengan Sam seperti dulu lagi. Kesempatan tak akan datang dua kali bukan?
"Ch, udah mah galak, bawel, suka ngatur urusan orang, pelit nilai lagi. Apes banget sih hidup gue. Harusnya tuh ya gue itu bahagia karena punya suami dosen yang bisa bantuin gue ngerjain tugas. Eh, ini malah bikin gue sengsara." Ocehnya sambil membolak-balik halaman buku paket yang ia pegang.
"Siapa yang galak, bawel, suka ngatur dan pelit nilai itu, huh?"
Rere diam, tak mampu hanya untuk sekedar menoleh ke belakang tubuhnya, lebih tepatnya ke arah pintu dimana suara yang terdengar santai namun begitu menusuk itu berasal. Rere terus merutuki kebodohannya.
Sementara Fano, pria itu kini sudah berdiri tepat di belakang tubuh istrinya. Ia mencondongkan tubuhnya dan wajahnya sengaja ia susupkan di ceruk leher istrinya. Fano menghembuskan napas hangat miliknya begitu sensual. Bibirnya bahkan sudah sangat dekat dengan leher jenjang Rere.
Rere mematung saat benda kenyal itu mendarat di lehernya. Ingin berteriak dan memperotes tak suka, namun bibirnya terasa kelu. Rere memejamkan kedua bola matanya rapat ketika kecupan itu berubah menjadi hisapan-hisapan kecil. Tubuhnya terasa panas dingin. Akal sehatnya menyuruhnya untuk memprotes, namun tuhubnya malah melakukan yang sebaliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lecturer Is My Husband (END)
RomansaStory 1📙 Jadi, mohon maaf kalau masih agak berantakan. [belum revisi] Dijodohin itu gak ada dikamus gue. Apalagi dijodohin sama dosen yang galak seperti Fano. Dih, ogah. Bisa kebayang gak tuh kehidupan gue ke depannya? Gak jauh dan gak lebih pasti...