🍃Biarlah, semua berjalan apa adanya. Karena menolakpun, aku tak bisa🍃
~Rere
••••
Dua puluh menit yang lalu semua tamu undangan pulang ke rumahnya masing-masing, mengingat ini sudah pukul sebelas malam. Kini, yang tersisa hanya tinggal keluarga Wardana dan keluarga Arkana, dua keluarga itu masih terlihat sedang bercanda gurau.
Rere menekuk wajahnya, hari ini sungguh sangat melelahkan. Bahkan, sedari tadi sore Rere belum memakan apapun. Bagaimana bisa makan sesuatu, kalau tamu undanganpun terus berdatangan. Ingin sekali rasanya Rere meneriaki mereka semua, bahwa dirinya sedang kelaparan, cacing-cacing diperutnya bahkan sudah berdemo minta diisi.
"Kamu kenapa?" Fano memegang pundak Rere. Wajahnya terlihat datar tanpa ekspresi.
"Gak papa." Rere menjawab seadanya, huft rasanya, untuk berbicarapun ia tak sanggup.
"Yasudah. Kalau begitu, saya mau menemui daddy sama papah di ruang keluarga."
"Huum." Rere bergumam tidak jelas sebagai jawaban.
Bukannya basa-basi dulu, Fano malah langsung pergi. Benar-benar suami yang tidak pengertian. Tidak tahukah, istrinya sedang kelaparan. Yasudahlah, lebih baik Rere pergi ke kamar saja, di sana ia bisa rebahan sepuasnya. Setidaknya, dengan rebahan di kasur rasa pegal ditubuhnya mungkin saja bisa hilang.
"Huft. Akhirnyaa, gue bisa endusel-endusel sama lo lagi sur. Sumpah, dari tadi siang gue kebayang-bayang lo terus, muehehe. I'm coming."
Bruakk..
Rere membuka pintu kamarnya dengan kasar. Rasanya tak sabar untuk segera menemui kasur berukuran queen size kesayangannya. Eh, tapi tunggu dulu. Rere menautkan kedua alisnya bingung.
"Lha. Sejak kapan kasur gue jadi secuil kek gini. Ya Lord, ini pasti ulah mamah sama papah. Ya enggak salah lagi. Maksudnya apa coba. Kalo kasurnya segede upil semut gini sih mana enak buat bobo cantik. Huft, yaudah deh. Buodo amat, yang penting bisa bobo. Besok pagi baru gue bakalan protes, enak aja maen ganti-ganti kasur kesayangan gue. Sur, lo di mana sih? Gue butuh lo nih. Gak kasihan lo sama gue. Auh, punggung gue. Pegel bangett." Rere meraba punggungnya yang agak ngilu, gilak berdiri berjam-jam ternyata bisa bikin encok juga ya. Kalau tahu bakalan gini, Rere ogah kali harus berdiri layaknya patung.
"Hemm, mandi dulu deh." Rere berjalan ke kamar mandi. Berendam sebentar mungkin akan sedikit membuatnya lebih rileks.
Lima belas menit kemudian..
"Astaga. Gue lupa bawa baju." Rere menepuk jidatnya. Ceroboh sekali, kenapa ia sampai lupa membawa baju ganti. Untung ada handuk, kalau tidak, yakali ke luar gak pake apa-apa. Walaupun tidak ada siapa-siapa, tetap saja Rere merasa risih. Siapa tahu ajakan, itu cicak-cicak di dinding suka ngintip.
Cklek..
Rere membuka pintu kamar mandi perlahan. Berjalan santai ke lemari pakaiannya. Tangannya terulur untuk membuka lemari.
"WHAT," pekiknya tak percaya, bahkan Rere mengucek-ngucek matanya. Takutnya matanya nge blur. "Bujubuneng, baju sama celana gue pada kemana? Yakali pada jalan sendiri. Sampai daleman pun gak ada? Ini?" Rere meraih sebuah kotak yang tergeletak dilaci paling bawah, "apaan nih?" Rere mengguncang-guncang kotak ditangannya.
"Apaan sih? Ah gue buka aja deh. Siapa tahu ada duit segepok. Kan lumayan, muehehe."
Rere dibuat melongo saat kado itu sudah terbuka sepenuhnya. Tangannya mengangkat sebuah baju aneh dari kotak itu. Matanya tak berkedip.
"Lha. Ini apaan ya? Masa iya baju bentukkannya kek gini?" Rere memutar-mutar baju itu.
"Itu lingeri."
Deg..
Rere mematung ditempatnya dengan lingeri yang sudah jatuh ke lantai. Ragu-ragu kepalanya menengok ke belakang tubuhnya. Di sana, sudah ada Fano dengan smirk diwajah tampannya.
Glekk..
Rere menelan salivanya susah payah. "Kyaaaaaa. Kok pak Fano ke sini, mau ngapain?" Rere berteriak kencang dan tangannya sibuk menutupi area dada dan pahanya. Handuk lucknat, kenapa tidak bisa panjangan dikit sihh, mau dititipin ke mana nanti muka Rere. Mamah Rere malu. Rere membatin.
"Menurut kamu?" Sebenarnya, Fano sudah ingin tertawa terpingkal-pingkal sedari tadi. Namun, Fano berusaha menahannya. Ya, Fano sudah berdiri di ambang pintu yang sudah ia tutup rapat saat Rere baru ke luar dari kamar mandi hanya dengan handuk yang meliliti tubuhnya. Sepertinya Rere tak menyadari kehadirannya.
Glekk..
Rere kembali menelan salivanya susah payah. Matanya membelalak sempurna, saat Fano berjalan ke arahnya. "Jangan macem-macem yah pak. Nanti sa--"
"Kenapa tidak?" Fano menikkan sebelah alisnya. "Saya kan suami kamu."
"A-e-em, stoppp. Jangan deket-deket pak, saya mohon." Rere memasang pupy eyes andalannya dengan mata berkaca-kaca.
Fano geli sendiri melihatnya. Lucu banget sih kamu, saya jadi tambah suka. Fano membatin. Langkahnya berhenti tepat didekat tubuh Rere, hanya tinggak satu jengkal lagi tubuh mereka akan menempel.
"Kamu cantik. Saya suka." Bisik Fano tepat di kuping sebelah kiri Rere.
Rere merasakan tubuhnya mulai meremang, ouh tidak, ada apa dengan dirinya. "Ahahaha," tawa yang dipaksakan ke luar dari bibir ranumnya yang mulai kaku. "Saya mohon pak. Saya mohon sama bapak, jangan apa-apain saya ya pak, please."
Fano membeku saat Rere menatapnya seperti itu. Sangat lucu. Fano tidak bisa menolak.
"Saya janji deh pak. Saya bakalan baik-baikin bapak. Saya bakal nurut sama bapak. Asal...." Rere menggantungkan ucapannya. Matanya berusaha menatap mata elang Fano.
"Asal?" Fano meminta kelanjutan.
"Em, asal, bapak jangan apa-apain saya. Ya ya ya ya please."
"Hemm, oke."
"Yeyy, makasih pak. Hehe bapak ganteng deh."
Fano tersenyum tipis, "nih, kamu gak punya pakaian bukan." Fano mengulurkan kemeja berwarna abu ke Rere.
Rere menatap kemeja itu horor. "Em, itukan, kemeja bapak. Gak ah saya gak--"
"Mau atau tidak?"
"Huft, yaudah deh sini. Terpaksa." Rere meraih kemeja ditangan Fano. Kakinya akan melangkah namun tersandung sesuatu, alhasil Fano yang melihat itu segera menangkap tubuh Rere. Sesaat keduanya saling berpandangan.
Duh, kok jadi makin cantik gini sih kamu. Cium dikit, gak dosa kan? Fano mulai mendekatkan wajahnya ke wajah Rere.
Rere membelalakan matanya. Yaampun, mampus .
Deg..
Rere semakin membelalakan matanya, rasanya ia sedang bermimpi. Fano benar-benar menciumnya, lagi. Rere meremas punggung Fano, berharap laki-laki jangkung ini sadar dan melepaskan ciuman keduanya. Namun, dugaannya ternyata salah, Fano malah semakin gencar melumat bibirnya.
"Hempft..lep..ash." Rere memukul-mukul dada bidang Fano. Fano tak bergeming sama sekali, tenaga Rere tak sebanding dengan Fano. Tanpa Fano sadari, tiba-tiba wajah Rere berubah pucat pasi, tubuhnya mulai melemas. Rasanya Rere tak sanggup untuk berdiri dan perutnya--terasa sangat sakit, seperti ada yang menusuk-nusuk. Pasti penyakit lambungnya kambuh lagi gara-gara telat makan. Perlahan matanya mulai terpejam, cengkraman dipunggung Fano pun mulai melemah dan dalam hitungan sepersekian detik, tubuhnya ambruk dipelukkan Fano.
Fano yang tengah asik mencumbui bibir mungil nan manis istrinya seketika berubah panik saat Rere tak sadarkan diri dipelukannya. Fano menepuk-nepuk pipi Rere pelan, berharap gadis ini membuka kedua matanya.
"Re, bangun. Jangan bikin saya khawatir. Kalau tidak, saya akan--astaga, wajah kamu pucat banget Re. Hey, bangun. Ayolah, saya mohon." Setitik air mata jatuh dari pelupuk mata Fano, dirinya sangat khawatir. Fano takut terjadi sesuatu yang buruk pada Rere. Tanpa ba bi bu lagi, Fano segera memakaikan baju kemeja miliknya ditubuh Rere lalu segera mengangkat tubuh mungil itu ala bridal stile, membawanya keluar kamar. Fano akan membawa Rere kerumah sakit terdekat.
°°°°
Bersambung^^
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lecturer Is My Husband (END)
Roman d'amourStory 1📙 Jadi, mohon maaf kalau masih agak berantakan. [belum revisi] Dijodohin itu gak ada dikamus gue. Apalagi dijodohin sama dosen yang galak seperti Fano. Dih, ogah. Bisa kebayang gak tuh kehidupan gue ke depannya? Gak jauh dan gak lebih pasti...