Kelas sudah dibubarkan beberapa menit yang lalu. Saat ini, Rere tengah berjalan di koridor kampus menuju parkiran, di sana sudah ada Fano yang menunggunya. Langkahnya terhenti saat ada sebuah tangan yang menyentuh bahunya. Rere menoleh, matanya menatap Sam yang sudah berdiri di dekatnya. Dengan cepat, Rere menepis tangan itu dan akan kembali berjalan. Baru satu langkah tangan itu sudah mencekal pergelangan tangan kanannya. Rere kembali menoleh dengan tatapan tak suka nya.
"Hi," ujar Sam dengan suara basnya dan seulas senyum tipis yang menghiasi wajah tampannya.
"Gak usah so kenal, lepasin tangan gue." Rere berusaha melepaskan tangan mungilnya dari cekalan tangan besar Sam. Berhasil, Rere berhasil menarik paksa tangannya. Tanpa memperdulikan tatapan memohon yang Sam tunjukkan padanya, Rere kembali melangkahkan kaki jenjangnya dengan gemuruh aneh yang kembali menghinggapi hati kecilnya. Sebenarnya, Rere tak mau menjauhi Sam dengan cara seperti ini, hatinya terus meronta meminta dirinya untuk tidak menjauhi cowok itu. Tapi, egonya memaksa dirinya untuk melakukan semua itu dan lagi saat ini Rere sudah berstatus sebagai istri sahnya Fano. Tidak, Rere tidak akan menghianati Fano. Walau bagaimana pun, Rere sudah mulai menyukai cowok itu, Fano suaminya.
"RE, TOLONG KASIH GUE SATU KESEMPATAN." Teriak Sam tanpa memperdulikan tatapan aneh dari semua orang. "KASIH GUE KESEMPATAN BUAT JELASIN SEMUANYA. SEMUA GAK SEPERTI YANG LO LIHAT." Sambungnya, namun punggung mungil itu sudah menghilang di balik tembok. Sam menjambak rambutnya frustasi lalu segera pergi dari tempat itu dengan perasaan campur aduk.
****Di mobil, Fano mengerutkan alisnya bingung, sedari tadi Rere tak mengeluarkan suara sedikit pun. Ada apa dengan istrinya itu? Fano rasa ia tak berbuat salah.
"Kamu kenapa?" Tanya Fano memecah keheningan.
Rere tersadar lalu menoleh menatap suaminya dengan alis yang saling bertautan. "Hem?"
"Maksud saya, kamu kenapa? Gak biasanya diem gini."
"Em, gak papa kok. Aku baik-baik aja." Rere berusaha untuk tersenyum semanis mungkin untuk menutupi keresahan di hatinya.
Tanpa komando, tangan Fano mengacak-acak rambut panjang Rere gemas. "Lucu," ujarnya.
"Bapak gak sakit kan?" Ucap Rere heran, tangannya sudah menyentuh dahi Fano berulang-ulang.
"Saya sehat walafiat. Singkirkan tanganmu itu. Bau terasi dan jangan panggil saya Ba-pa-k." Fano menekankan kata Bapak di akhir kalimatnya.
Rere mendelikan matanya tak terima, "enak aja, tangan aku wangi gini kok."
"Hemm."
"Dasar nisa sablon. Ham hem ham hem." Gerutu Rere jengkel. Rere menolehkan wajahnya ke luar jendela mobil. Suara cekikikan Fano terdengar di indera pendengarannya. Namun, kantuk sudah menguasainya. Rere mulai memejamkan matanya tanpa memperdulikan keberadaan Fano dan semuanya berubah gelap.
Fano menoleh ke sebelahnya saat tak ada lagi sahutan dari Rere. Ternyata, gadis itu sudah tertidur pulas. Lengkungan tipis menghiasi wajahnya, ya Fano tersenyum. Tangan kekarnya mulai terulur, menyelipkan beberapa rambut yang menghalangi pemandangannya itu ke telinga Rere. Sempurna, sangat cantik dan.. Manis.
"Kalau sedang tidur seperti ini, kamu terlihat sangat manis. Tapi, kalau sudah bangun, terlihat seperti mak lampir, haha." Tawa Fano pun pecah dan tanpa terasa, mereka berdua sudah sampai di depan pekarangan rumah. Tanpa mau mengganggu tidur pulas Rere, Fano mengangkat tubuh mungil itu di pangkuannya dan segera membawanya ke dalam rumah.
"Tuan, itu non Rere kenapa?" Tanya bi Iyem begitu khawatir saat tuannya membawa Rere dalam keadaan tak sadarkan diri.
"Gak papa bi. Tadi Rere ketiduran di mobil. Yasudah saya bawa ke atas dulu ya bi."
"A i-iya tuan."
Sesampainya di dalam kamar, Fano segera merebahkan tubuh Rere di atas kasur king size mereka. Fano menatap lekat-lekat wajah damai Rere. Entah dorongan dari mana wajahnya mulai mendekati wajah Rere.
Cup..
Fano mengecup bibir itu singkat.
"Manis." Gumamnya. "Huft, apa yang saya lakukan? Tidak Fan. Kau tak boleh terbawa suasana seperti ini."
Fano membulatkan kedua matanya, matanya tak mampu berkedip menatap perut rata Rere yang sedikit terekspos karena bajunya menyingkap ke atas. Tenggorokkannya terasa panas, jakunnya naik turun tak menentu.
Glek..
Fano menelan salivanya gusar. "Ah, ini tidak benar." Tangan Fano mulai terulur untuk membenarkan selimut di tubuh Rere.
"Lihatlah, saya kuat bukan? Saya tidak akan menyentuh kamu, sebelum kamu yang memintanya."
Fano menurunkan pandangannya ke bagian tubuh bawahnya. Matanya kembali membulat sempurna. "Ck, sangat menyebalkan. Tapi maaf Mark, aku tak bisa berbuat lebih. Kita selesaikan saja urusan kita di kamar mandi." Sebut saja ia gila karena mengajak ngobrol Mark alias benda pusakanya itu. Fano melangkah gontai ke kamar mandi dengan handuk yang ia sampirkan di bahu kekarnya.
Air dari shower mengguyur seluruh tubuhnya, membuatnya merasa sedikit lebih rileks. Fano memejamkan matanya menikmati setiap tetesan air yang mengenai tubuhnya. Kedua tangannya sudah ia tempelkan di tembok di dekat shower.
****Pagi sudah tiba, sang surya pun sudah mulai menampakkan dirinya. Silau mentari yang menerobos lewat celah-celah gorden berhasil mengusik tidur nyenyak Rere. Rere menggeliat kecil, pergerakkannya terhenti saat merasakan ada sesuatu yang menindih perutnya. Rere menurunkan pandangannya, tangan? Rere sudah akan membuka mulutnya untuk berteriak, namun seketika ia teringat sesuatu.
"Huft." Akhirnya hanya hembusan napas pasrah yang bisa ia lakukan. Tangannya bergerak sangat hati-hati untuk memindahkan tangan besar itu dari perutnya. Bukannya lepas, tangan itu malah semakin erat memeluknya. Rere berdecak kesal.
"Morning."
Rere merasakan seluruh tubuhnya meremang saat suara serak nan seksi itu menyapa indera pendengarannya. Lalu disusul sebuah kecupan di tengkuknya yang justru malah membuatnya semakin merinding. Rere menelan saliva susah payah. Ouh no, kenapa tubuh gue berasa kaku gini? Huaa mamah tolongin Rere. Rere membatin.
"Kenapa? Kok pipi kamu merah gitu." Ujar Fano begitu polos, seolah-olah ia tak melakukan apapun.
Rere meremas sprei di bawahnya untuk melampiaskan kekesalannya pada Fano. "Gak papa. Bisakah kamu melepaskan tanganmu itu? Aku ingin bersiap-siap untuk pergi ke kampus."
"Sebenarnya.. Saya masih pengen meluk kamu." Fano berkata dengan mimik wajah yang dibuat-buat sedih. "Tapi, karena kamu ada kuliah pagi. No problem, saya lepas. Tapi.."
"Tapi apa?"
"Cium dulu." Ucap Fano tanpa rasa malu, bibirnya pun sudah manyun-manyun gak jelas.
Rere bergidik ngeri. Apakah suaminya ini, kerasukan? Tidak biasanya Fano bertingkah alay seperti ini. Pftt, jujur saja Rere ingin sekali tertawa terbahak-bahak.
"Cepet atau saya gak bakalan lepasin kamu sampai sore."
"What? Bapak gila.."
Cup..
Rere membulatkan matanya, tubuhnya mendadak terasa kaku.
"Itu hukuman. Bukankah saya sudah bilang jangan memanggil saya dengan embel-embel bapak. Kesannya saya seperti sudah tua." Tuhkan jiwa emak-emaknya mulai berkoar.
Rere menolehkan kepalanya, menatap manik mata suaminya lekat-lekat. "Harus banget ya?"
"Huum." Fano mengangguk seperti anak berumur empat tahun. Rere yang melihatnya dibuat terpukau. Bukan, bukan karena tingkah kekanakannya itu, tapi.. Senyumannya. Fano tersenyum sangat manis, Rere menyukainya sangat-sangat menyukai senyuman suaminya itu sungguh sangat manis muehehe.
"Kenapa? Ganteng ya?" Fano menaik-turunkan sebelah alisnya menggoda.
"Dih, pede buanget ngana. B aja kali." Ucap Rere ketus, jauh di dalam hatinya ia sudah komat-kamit gak jelas. Gilaa aja, orang beneran cakep gini kok. Tapi gengsi keles, entar yang ada ni dosen malah makin kepedean.
"Bukan bermaksud kepedean ataupun menyombongkan diri." Fano tersenyum manis, lagi? Pagi hari ini Rere benar-benar sedang mendapat keberuntungan. Dosen yang galak dan bawel seperti Fano ternyata bisa tersenyum juga, mana manis lagi.
"Tapi, saya memang sudah ganteng dari sananya." Sambungnya yang membuat Rere ingin menggampar Fano dengan bibirnya, eh?
Oke, daripada berdebat tidak jelas seperti ini hanya akan membuang-buang waktunya. Rere sudah memutuskan sesuatu, ya walaupun ini sedikit sulit dan akan membuatnya malu bukan main.
Cup..
Rere mengecup singkat bibir merah alami Fano. Ya, itu yang Rere putuskan, mencium Fano. Benar-benar membuatnya malu, rasanya Rere ingin pingsan detik ini juga. Pipinya pasti sudah berubah menjadi semerah tomat.
Sedangkan Fano tak jauh berbeda dengan dirinya. Baru kali ini Rere melihat Fano salting. Lihatlah, bahkan wajahnya sudah seperti kepiting rebus dengan tubuhnya yang terlihat kaku. Apakah menertawakan suami sendiri tidak dosa? Kalau tidak, maka Rere ingin tertawa sambil guling-guling detik ini juga. Ugh, sangat menggemaskan.
°°°°
Bersambung^^
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lecturer Is My Husband (END)
Storie d'amoreStory 1📙 Jadi, mohon maaf kalau masih agak berantakan. [belum revisi] Dijodohin itu gak ada dikamus gue. Apalagi dijodohin sama dosen yang galak seperti Fano. Dih, ogah. Bisa kebayang gak tuh kehidupan gue ke depannya? Gak jauh dan gak lebih pasti...