🍃Jika hadirmu tak kuharapkan. Lantas kenapa, hati ini, terasa nyaman?🍃
~Rere
••••Pagi ini, Rere sudah diperbolehkan pulang, dengan catatan harus banyak istirahat dan juga harus minum obat tepat waktu. Rere memainkan ponselnya sambil menunggu Fano yang sedang pergi untuk membayar biaya rumah sakit.
"Re. Mamah duluan ya. Ini baju-baju kamu." Riska menunjuk tas berukuran sedang di atas sofa.
"Hemm." Gumam Rere, matanya tak bisa berhenti menatap layar persegi ditangannya itu.
"Ham, hem, ham, hem. Inget jangan pergi, sebelum suami kamu jemput, ya."
"Iya mah iya. Rere dengar kok." Rere menatap mamah nya sekilas lalu kembali ke layar ponselnya.
Lima belas menit kemudian..
Pintu terbuka lebar, menampilkan sosok cowok jangkung nan tampan, ya dia suaminya. Suami yang tak pernah Rere harapkan, sangat ironis bukan? Tapi, inilah takdir, Rere tak bisa menyangkal ataupun menghindar.
"Sudah selesai, pak?" Rere menyimpan ponselnya ke dalam saku celananya.
"Sudah. Kamu?" Fano balik bertanya.
"Eum, seperti yang bapak lihat."
"Yasudah. Kita pulang." Tanpa komando, Fano langsung menarik lalu menggenggam tangan mungil Rere, membawanya berjalan beriringan. Jika dilihat seperti ini, mereka terlihat serasi. Hanya saja, Rere terlalu gengsi jika harus sedekat ini dengan dosennya sendiri dan jangan lupakan, dosen ini adalah suaminya. Ouh, tidak Rere sangat malu. Lihatlah, apa-apaan tatapan orang-orang yang ada di lorong rumah sakit yang Rere dan Fano lewati ini? Membuat Rere jadi risih saja. Apakah ada yang salah dengan penampilannya? Jika ya, tolong beritahukan sekarang juga. Rere tak suka ditatap seperti itu, sangat menjengkelkan. Rere meremas tangan Fano yang setia menggenggam jemari lentiknya.
"Kenapa?" Fano bertanya saat merasakan Rere meremas tangannya.
"Eum. Itu, kenapa mereka menatap kita seperti itu?" Rere bertanya sangat pelan, takut jika orang-orang aneh itu mendengar perkataannya.
Fano menatap sekelilingnya, kedua alisnya menaut, "tidak ada apa-apa. Mereka terlihat biasa saja. Tidak ada yang aneh."
Omg, rasanya Rere ingin ngejedotin kepala suaminya ini ke dinding rumah sakit, "s-sudahlah. Lupakan saja. Ayo, kita segera pergi dari sini, aku gak suka lama-lama di sini." Rere sedikit mengeratkan genggaman tangannya dilengan Fano. Fano yang diperlakukan seperti itu hanya tersenyum.
Woah, ganteng nya.
Eh, ini mimpi bukan sih. Berasa nyata.
Yeu ini emang nyata pea.
Ah, masa sih. Kok ada ya, makhluk sesempurna pria tampan itu.
Kuping Rere terasa panas mendengar beberapa komentar dan pujian yang pastinya mereka lontarkan untuk Fano. Lihat saja, tatapan lapar mereka itu, seperti ingin menelan Fano bulat-bulat dan para suster itu, terlihat sangat genit dan sangat kecentilan. Apakah mereka tidak punya urat malu? Apa mereka tak melihat dirinya? Hey, i'm here, jangan menatap suami ku seperti itu. Ups, maaf Rere tak bermaksud mengakui Fano sebagai suaminya. Hanya saja, Fano memang benar suaminya bukan?
Dalam diam, Fano mengamati wajah istrinya yang mulai badmood. Fano tahu, sebenarnya istrinya ini sedang cemburu. Istri mana yang tak akan cemburu bila melihat suaminya sendiri ditatap oleh wanita lain di depan matanya.
"Khem. Muka kamu kenapa? Sepertinya, kurang bersahabat." Fano berusaha membuka percakapan dengan senyum tipis yang ia sembunyikan.
Woahh, sir aku padamu.
I love you beybeh, muach.
"Dih, lagi sakit aja udah keganjenan, apalagi kalo sehat." Rere menggerutu tanpa ia sadari. "Itu lagi nenek-nenek, udah ompong, masih bisa-bisanya bilang i love you."
"I love you too." Ucap suara bass didekat telinganya dan Rere bisa merasakan ada sebuah kecupan singkat di daun telinganya. Tubuhnya membeku.
"Dih, apaan sih pak. Bapak jan kegeeran ya. Saya cuman gak suka aja sama kelakuan mereka, bukan cemburu. Saya kan, gak suka sama bapak." Nada suaranya sedikit memelan dengan rasa gugup yang mendominasi.
"Ouh, kamu juga jangan geer. Saya hanya menjawab perkataan nenek manis itu." Fano melirik nenek-nenek yang sedang duduk dikursi roda yang menghadap ke arah mereka berdua. "Saya enggak mengatakan jika kamu cemburu."
Rere membulatkan matanya, wajahnya semakin tak bersahabat. "Oh, manis ya?" Rere menatap nenek itu sekilas lalu matanya kembali menatap Fano dengan tatapan yang sangat tajam. "Yaudah, gih samperin aja. Ajak pedekatean sekalian. Gue mau pulang." Rere segera melangkah meninggalkan Fano, langkahnya sangat terburu-buru. Rere ingin cepat-cepat pergi dari tempat terkutuk ini. Bisa-bisanya ya, disaat istrinya baru pulih matanya malah jelalatan. Mana sama nenek-nenek pula, gimana Rere gak kesel coba? Dasar suami gak peka, istrinya udah kesal malah dibikin tambah kesal. Apa-apan dengan dosen galak itu, apa matanya baik-baik saja? Tidak rabun bukan? Nenek-nenek dibilang manis, yang benar saja.
"Manis. Dasar dosen gilaa." Gerutunya. Langkahnya terhenti saat dirinya sudah berada di dekat parkiran. Kepalanya celingak-celinguk kesana-kemari, mencari kendaraan yang bisa ia tumpangi. Matanya memicing, saat sebuah mobil sport berwarna merah terang berhenti tepat di hadapannya. Rere mengerutkan jidatnya bingung. "Mobil siapa nih." Gumamnya. Sebelumnya, Rere tak pernah melihat mobil ini. Seseorang keluar dari balik kemudi, Rere memelototkan matanya tak percaya.
"Pak Fano?" Bukankah itu suaminya dan ini..ini mobilnya. Woah keren banget, Rere berteriak kegirangan di dalam hati. Namun, wajahnya terlihat masih tak bersahabat, tanpa ekspresi.
Fano mengitari mobilnya dengan gaya angkuhnya, mendekati Rere. "Ayo." Fano menarik tangan Rere. Namun, Rere justru malah menghempas genggaman tangan Fano dilengannya.
"Lepas. Aku gak mau pulang sama bapak. Aku..mau cari taxi." Rere berujar agak gugup, kenapa harus segugup ini saat berbicara dengan Fano.
"Saya tidak suka penolakkan." Tanpa ba bi bu, Fano menarik tangan Rere, sebelah tangannya yang bebas membukakan pintu mobil dan segera mendorong tubuh mungil itu untuk masuk ke dalam.
"Pemaksa." Cibir Rere saat Fano duduk di sebelahnya, di balik kemudi, ya Fano yang nyetir. Karena, Fano tak suka menggunakan sopir, itu..sangat merepotkan.
"Bisa kamu ulang, lagi?" Fano memiringkan tubuhnya, matanya menatap manik hazel di hadapannya.
"E-gu..hehe maaf." Cicitnya pelan, kepalanya mulai menunduk. Rere tak sanggup untuk bertatapan dengan sorot mata elang nan tajam itu.
"Hemm." Gumam Fano sebagai jawaban. Mobil yang mereka tumpangi pun mulai membelah jalanan yang lumayan lenggang, tak seperti hari-hari biasanya yang selalu macet.
Rere menoleh sekilas, matanya terus curi-curi pandang ke Fano. Ya lord, sungguh indah ciptaanmu ini, sangat sempurna. Matanya, sangat tajam namun terkadang membuat Rere nyaman dan hanyut kedalamnya. Hidungnya, terpahat sangat sempurna, begitu mancung dan lancip. Bibirnya, Rere meraba bibirnya saat matanya menatap bibir tipis milik Fano, bibirnya--manis, eh? Matanya turun ke bawah, jakunnya..ugh, sangat-sangat menggoda.
"Sudah puas memperhatikan suami mu ini huh? Iler kamu sampai menetes tak karuan." Ujar Fano dengan suara yang ngebas dan ada sedikit unsur mengejek.
Rere tersadar dan gelagapan sendiri. Tangannya meraba-raba bibirnya, memastikan apakah benar ada iler yang menetes dari bibirnya. Rere mengutuk dirinya sendiri. Astaga, Rere malu. Mau dititipin di mana wajahnya ini.
"Haha." Tawa renyah ke luar dari bibir cowok di sebelahnya, sangat tak bisa dipercaya. Fano, tertawa? Itu sangat luar biasa. Rere sampai dibuat semakin terpesona, eh?
"Kamu lucu." Sambung Fano saat tawanya sudah mereda, tangannya mencubit hidung Rere begitu gemas. "Uluh-uluh. Istrinya siapa sih ini? Haha." Lagi, Fano tertawa semakin kencang dari sebelumnya.
"Ish. Apaan sih. Jan pegang-pegang." Dengan kasar, Rere menepis tangan Fano dari hidung mancungnya. Fano itu sangat menjengkelkan dan begitu menyebalkan. Kalau bisa, Rere ingin menelan cowok ini hidup-hidup detik ini juga. Tapi, Rere tidak bisa, sangat mustahil, dasar konyol.
°°°°
Bersambung^^
Readers yang baik, kasih voment nya ya hehe..
Biar author tambah semangat nulisnya^^:)
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lecturer Is My Husband (END)
RomanceStory 1📙 Jadi, mohon maaf kalau masih agak berantakan. [belum revisi] Dijodohin itu gak ada dikamus gue. Apalagi dijodohin sama dosen yang galak seperti Fano. Dih, ogah. Bisa kebayang gak tuh kehidupan gue ke depannya? Gak jauh dan gak lebih pasti...