Setibanya di rumah, Rere terus ngedumel tidak jelas pasalnya dosen nyebelin itu terus mengacuhkannya sejak insiden tadi. Rere menarik napasnya dari hidung lalu mengeluarkannya dari mulut, setelah itu barulah ia menyusul Fano yang sudah masuk duluan ke dalam tanpa mengajaknya, toh tanpa di ajakpun Rere akan tetap masuk.
"Dikit-dikit ngomel, dikit-dikit marah. Maunya apa sih? Udah tau gue bukan cenayang yang bisa nebak apa maunya dia. Huft."
Fano yang sedang duduk di sofa ruang tamu pun menoleh saat mendengar celotehan istrinya, ingin tertawa tapi ingat kalau dirinya lagi edisi marahan sama Rere. "Khem, apa kamu bicara sesuatu?" Ucap Fano pada akhirnya dengan suara yang dibuat-buat ketus.
"Eh?" Rere menoleh, perlahan cengiran kuda nil mulai menghiasi wajahnya. Saking sibuknya mengoceh, Rere baru sadar jika Fano berada di ruang tamu.
"Eungh, enggak kok. Aku gak bilang apa-apa, hehe."
"Sungguh?" Fano menampilkan tatapan menyelidik andalannya. Rere yang ditatap se-intens itu pun tanpa sadar menggaruk kepalanya yang sama sekali tak gatal.
"Iya," ujar Rere sambil kembali melangkah gontai, niatan hati ingin pergi ke kamar eh gagal total saat Fano kembali berucap ketus.
"Sepertinya, saya mendengar suara perempuan yang mengata-ngatai suaminya." Dengan santainya, Fano mengelus-elus dagunya dengan jari jempol dan jari telunjukknya. "Eum, masa kamu tidak mendengarnya?"
Nendang suami gak dosa kan?
"Hah? Seriusan? Kok aku gak denger ya? Kamu halu kali." Ucap Rere sambil memutar kembali tubuhnya menghadap Fano. Rere melangkah mendekati Fano yang sudah berdiri di dekat sudut sofa yang tadi ia duduki. Smirk pun muncul di bibir ranumnya. Sepertinya, mengerjai cowok yang satu ini bakalan seru dan lagi Rere sangat jengkel dengan tingkah nyebelinnya itu. Tanpa ragu dan tanpa berpikir dua kali, Rere melayangkan bogeman tangan mungilnya ke perut Fano.
Fano tak menampilkan ekspresi apapun, mimik wajahnya masih terlihat sama, menyebalkan dan datar.
"Eh, gak sakit ya?" Tanya Rere kebingungan, sepertinya tonjokkannya barusan lumayan kencang. Tapi lihatlah, cowok di depannya ini tidak menampilkan ekspresi kesakitan sedikitpun.
"Eum, sedikit." Fano memegangi perut sixpacknya, kemudian kembali duduk di atas sofa dengan kaki yang sengaja ia silangkan.
"Kok bisa?" Plis deh Re, kalo bego jangan kelewatan.
"Tentu saja bisa. Kan saya yang merasajannya, bodoh." Fano berdiri, menghapiri Rere lalu menoyor jidat Rere saking gemasnya. Ouh sungguh, semakin hari istrinya ini semakin terlihat.. Manis. kalau seperti ini, Fano mulai goyah dengan dirinya sendiri.
"Ish, sakit bego." Gerutu Rere sambil mengusap jidatnya yang kena sentilan Fano.
"Re," panggil Fano begitu nge bass.
"Apaan?"
"Coba tatap mata saya, sebentar saja."
"Dih, ogah."
"Hanya sebentar, apakah sulit?"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lecturer Is My Husband (END)
Любовные романыStory 1📙 Jadi, mohon maaf kalau masih agak berantakan. [belum revisi] Dijodohin itu gak ada dikamus gue. Apalagi dijodohin sama dosen yang galak seperti Fano. Dih, ogah. Bisa kebayang gak tuh kehidupan gue ke depannya? Gak jauh dan gak lebih pasti...