Dua hari yang lalu Rere sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Tapi dengan catatan tidak boleh kemana-mana dulu sampai ia sembuh katanya. Padahal yang ngerasain sakit apa enggaknya itukan Rere, bukan dokter ataupun Fano, tapi kok mereka malah ngelarang-larang. Aneh, apalagi Fano tuh kalau ngeliat Rere berdiri dari atas tempat tidur aja udah dipelototin. Bahkan paling parahnya lagi Fano sampai gak masuk kerja mau jagain Rere dua puluh empat jam katanya, sampai-sampai pria itu mengerjakan pekerjan kantornya di meja belajar Rere yang ada di kamar. Ke kampus pun Fano gak masuk, dia malah memberikan tugas lewat grup whatsapp ke semua mahasiswanya. Bahkan Carlote dan Sherin sempat menanyakan perihal Rere sama Fano yang gak masuk kampus barengan. Mereka itukan kepo banget. Kalau gak dijawab nanya terus kalau dijawab apalagi, jadinya itu Rere kalau mundur kena, maju juga kena. Ampun deh, punya sahabat kepopers banget.
Rere menatap malas pria yang terlihat sibuk dengan laptopnya. Saking sibuknya megangin cangkir kopi aja gak dilihat, kalau kopinya tumpah di atas laptonya gimana coba? Kan sayang kopinya. Itu lagi apa-apaan coba pake gigit-gigit bibir segala, dia kira Rere bakalan kegoda apa. Kuping ditutupin headset, tapi giliran Rere mau beranjak dari kasur dia langsung tau dan bakal negur sambil melototin mata elangnya itu.
"Kenapa liatin saya sampai segitunya? Ah, jangan bilang kalau kamu lagi mengagumi ketampanan saya ini, ya? Sudahlah, jangan terlalu mengagumi saya. Saya memang sudah tampan dari sananya."
Tampan dari sananya katanya, eh? Gak salah tuh? Rere menatap Fano lebih intens seolah sedang meneliti. "Gak tampan-tampan banget, tapi pedenya sampai selangit." Celetuk Rere gamblang, ia bahkan sudah bertopang dagu dengan bantal yang ada di atas pangkuannya sebagai tumpuan kedua sikutnya.
"Bilang saja kalau kamu gengsi untuk mengakui ketampanan saya."
"Dih, mohon maaf aja nih ya Fan. Tapi di mata aku kamu itu gak tampan-tampan banget dan gak jelek juga. Bisa dibilang pas-pasan." Ucap Rere kelewat jujur. Lebih baik jujur bukan, daripada bohongkan dosa.
"Paling yang kamu maksud itu pas-pasan bisa bikin kamu jatuh cinta. Sudahlah, sudah keliatan dari mata kamu kalau kamu sudah jatuh cinta kan sama saya."
Rere berdecak malas, ingin rasanya ia melakban bibir itu yang kalau bicara suka tepat sasaran. "Jatuh cinta." Ulang Rere sambil menatap langit-langit kamar. "Jatuh cinta itu sakit tau, Fan."
"Sakit dari mananya tuh?"
"Udah mah jatuh, pasti sakitlah. Cinta lagi. Udah mah disakitin masih aja cinta. Jadi, menurut aku jatuh cinta itu ya sakit. Emuehehe."
Fano mencibir pelan. "As you wish, nona. Pusing saya kalau debat sama kamu."
"Yaudah sih, kalau pusing ya tinggal minum bodrex aja. Hehe."
"Hmm." Gumam Fano malas. Ia kembali memfokuskan pandangan dan juga fikirannya ke laptop di depannya. Karena sudah beberapa hari tidak masuk ke kantor dan ke kampus tugasnya jadi bertambah banyak dan ditambah lagi tugas dari mahasiswa/i nya harus ia periksa. Benar-benar merepotkan. Kalau bukan karena permintaan daddynya untuk ngajar di kampus mungkin Fano tidak akan mau.
Rere mengambil ponselnya dari atas nakas di samping tempat tidurnya. Ia segera menghidupkan ponselnya dan hal pertama yang ia lihat adalah beberapa notif whatsApp dari Sam. Cowok itu lagi, sebenarnya maunya dia apa sih? Di saat Rere udah move on aja ada, eh dulu kemana aja? Ke planet Mars? Ke sungai Amazon? Atau ke Ragunan? Kan gak mungkin.
![](https://img.wattpad.com/cover/280326602-288-k197770.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lecturer Is My Husband (END)
RomanceStory 1📙 Jadi, mohon maaf kalau masih agak berantakan. [belum revisi] Dijodohin itu gak ada dikamus gue. Apalagi dijodohin sama dosen yang galak seperti Fano. Dih, ogah. Bisa kebayang gak tuh kehidupan gue ke depannya? Gak jauh dan gak lebih pasti...