Chapter 4

12.9K 677 4
                                    

🍃Aku memang tak mengenal apa itu cinta.. Tapi bersamamu hatiku selalu berdetak tak menentu.. Apa bisa ini dinamakan cinta?🍃
~Rere
••••

Sepulang dari restauran Fano disuruh mommy nya untuk mengantar Rere yang katanya calon menantu kesayangannya itu. Mau tak mau Fano terpaksa mengantarkan Rere ke rumahnya, walaupun awalnya Rere menolak.

Entah kenapa dengan perempuan yang satu itu? Disaat perempuan di luaran sana mengantri ingin bisa berdekatan dengan Fano, tapi Rere.. Kenapa dia tidak mau? Fano sampai dibuat pusing memikirkannya.

"Khem." Fano memecah keheningan. Matanya melirik Rere yang tengah sibuk dengan lamunannya.

"Khem," sekali lagi Fano berdehem agak keras.

Rere berbalik menatap Fano dengan sorot mata tajamnya. Rasanya Rere ingin sekali melenyapkan cowok yang ada disampingnya itu detik ini juga.

"Apa liat-liat?" Ucap Rere ngegas saat matanya menangkap Fano tengah melirik dirinya. Jujur saja, jauh di dalam sanah jantungnya sudah dag-dig-dug gak jelas. Tapi sekuat mungkin, Rere berusaha untuk terlihat biasa saja. Lagian ada apa dengan dirinya? Kenapa bisa se-grogi itu saat berdekatan sama si dosen galak. Tau ah, Rere pusing sendiri kalau memikirkan hal itu.

"Pede banget kamu." Fano berujar ketus, "siapa yang liatin kamu. Saya hanya sedang melihat keluar sana." Dalih Fano.

Rere mengikuti arah pandang Fano. "Lha. Kan dari situ juga bisa kali pak liatnya, ck." Rere memutar bola matanya malas. Alasan saja si dosgal yang satu ini. Bilang aja kalau dia memang tengah menatap Rere, apa susahnya.

"Hemm," gumam Fano sebagai jawaban. Fano tak bisa berkata-kata lagi. Mau jujur, tapi takut Rere kepedean dan salah mengartikan.

"Hish. Lelet banget sih pak. Bisa cepetan gak?!"

Fano itu bawa mobilnya super pelan dan ekstra hati-hati. Katanya sih gak papa pelan yang penting selamat sampai tujuan. Tuhkan, bawa mobil aja hati-hati banget, apalagi kalau jagain perempuan yang disayang mueheh.

Tapi kan, kalau selelet ini Rere juga bisa mati kebosanan.

"Diam saja gak usah banyak protes, yang penting saya nganterin kamu sampe tujuan," ucap Fano dengan mata yang fokus melihat ke depan.

"Yaiya sih sampe tujuan.. Tapi, kalo bapak bawa mobil nya se-pe-lan ini..  Kapan kita nyampenya, pak?" Rere dibuat gregetan sendiri. Ingin mengata-ngatai tapi takut sama ancaman si dosgal tadi siang, bagaimana kalau ancamannya itu jadi kenyataan? Bisa-bisa Rere gak lulus.

"Ish malah dikacangin." Rere berujar ketus. "Kacang.. Kacang.. Sekilonya dua ribu. Gak usah bayar gratis," teriak Rere tanpa rasa malu dengan tingkah pecicilannya.

Fano yang menyaksikan itu hanya mampu menarik dan menghembuskan napasnya pelan. "Plin plan kamu."

"Eh? Maksud ngana?" Rere menatap Fano dengan alis terangkat sebelah.

"Tadi katanya dua ribu perkilo, tapi tidak usah bayar. Itu gimana maksudnya? Kamu mau jualan apa mau sedekah? Kamu...." dan kalau Fano sudah membuka mulutnya, Rere hanya bisa pasrah. Mendengarkan pun bukanlah solusi yang baik, karena ocehan Fano itu benar-benar membuatnya pusing tujuh keliling, harusnya kalau mau ceramah itu bukan di sini tempatnya, tapi dipengajian. Kemampuan berbicara Fano itu memang sangat patut untuk diacungi jempol, karena kemampuan bicaranya melebihi ibu-ibu yang suka ngerumpi, nyerocos gak ada remnya. Sekali-kali mungkin harus dibawa kebengkel biar dipasangin rem, kan enak kalo ngomong ada remnya.

"Sudah sampai," intruksi Fano ketika mobilnya sudah tiba dipekarangan rumah keluarga Rere.

Rere menoleh dengan wajah lesunya.

"Muka kamu kenapa? Lesu gitu." Fano bertanya kebingungan.

"Gak. Iih ini gimana sih bukanya? Susah banget. Huam." Rere menarik-narik seatbelt di tubuhnya dengan sesekali menguap.

Ada-ada saja. Kok ucul ya--eh. Fano membatin. Tangannya mulai terulur untuk membukakan seatbelt di tubuh Rere.

"A-em ba-bapak mau.. Ngapain?" Cicit Rere pelan saat Fano tiba-tiba sudah memajukan tubuhnya mendekati Rere.

Deg..deg..deg..

Jantung Rere mulai berirama tak menentu. Hembusan napas Fano bisa Rere rasakan menerpa permukaan kulit wajahnya. Kini tubuh keduanya sudah begitu dekat begitupun dengan wajah, tinggal beberapa centi lagi maka gerak sedikit bibir keduanya akan bersentuhan.

Dlep.. Rere menelan salivanya susah payah. Ya Lord, kalau seperti ini terus, lama-lama Rere bisa pingsan. Wajah Rere memerah dengan pikiran melenceng jauh.

"Kok muka kamu merah? Saya hanya ingin membantu melepas ini." Fano menunjukkan seatbelt yang sudah terlepas sambil menjauhkan tubuhnya dari Rere.

Rere melebarkan kedua bola matanya dengan wajah yang semakin merah padam.

"A-e-engak kok. Apaan sih," secepat kilat Rere membuka pintu mobil dan berlari ke dalam rumahnya.

Ugh, rasanya Rere sangat malu.

Melihat itu, Fano segera menyusul Rere ke dalam untuk berpamitan ke mamah dan papahnya Rere.

"Haha dasar aneh. Saya hanya membantu melepas seatbelt saja wajahnya sudah semerah itu. Apalagi kalau saya ciu--eh kenapa saya jadi berpikiran mesum begini." Gumam Fano disepanjang langkahnya memasuki rumah Rere.

Ceklek..

Pintu terbuka, tanpa sepatah katapun Rere langsung menerobos masuk dengan wajah yang ia tutupi menggunakan tangan kanannya. Riska yang membukakan pintu diam melongo, putrinya itu benar-benar keterlaluan bukannya mengucap salam malah main nyelonong masuk, itu lagi muka pake ditutup-tutupin segala udah kayak maling aja.

"Anak itu ck."

"Assalamu'alaikum tan."

"Wa'alaikum salam. Eh nak Fano. Kok tante sih. Panggil mamah dong. Kan bentar lagi kamu jadi suaminya Rere." Riska tersenyum hangat menyambut kedatangan Fano.

Fano menyalimi punggung tangan calon mertuanya dengan sopan.

"Hehe iya mah. Yaudah kalau gitu Fano mau pamit pulang."

"Lho. Kok buru-buru, gak mau mamah bikinin kopi dulu atau teh hangat?"

"Eum gak usah mah. Udah malem, gak enak malem-malem dirumah anak gadis." Fano merutuki bibirnya yang main asal ceplos. Kenapa dia bisa berucap seperti itu hah? Apa gak ada kata lain yang lebih tepat?

"Haha kamu ini. Gadis yang kamu maksud'kan bentar lagi jadi istri kamu, ya gak papa kalo mau main. Eh kalo boleh tante tahu, itu kok Rere lari-lari gitu. Kenapa ya?" Riska melirik ke dalam rumah lalu kembali menatap Fano yang terlihat salah tingkah.

"Gak tahu mah. Kalau gitu Fano pamit ya." Fano kembali mencium punggung tangan Riska sebagai bentuk sebuah penghormatan kepada yang lebih tua.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam." Riska tersenyum bahagia, ia tak pernah mengira akan mendapatkan menantu sebaik, sesopan, dan seganteng Fano, paket komplit pokoknya, calon suami idaman banget.

"Masyaallah calon mantuku sopan banget sama yang lebih tua. Tapi putriku, sembrono gak jelas gitu astagfirullah." Riska mengusap wajahnya gusar.

Di kamarnya, Rere terus memandangi wajahnya di cermin, sesekali Rere menepuk-nepuk pipinya yang memerah. "Duhh. Gue kenapa sih? Masa iya gue baper sama si dosgal. Iuh gak banget. Gak, pokoknya gue gak boleh sampe suka sama tu dosen. Mau ditaro di mana muka gue kalau sampai Sherin sama Carlote tau. Huaaaa gak, pokoknya gak boleh sampe suka titik segede semut."

°°°°
Bersambung^^

My Lecturer Is My Husband (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang