Chapter 11

11.9K 645 2
                                    


🍃Walaupun terkadang tingkahmu begitu aneh, tapi saya tetap menyukaimu. Karena, keanehan itulah yang membuat saya tertarik padamu, untuk mengenalmu lebih jauh🍃
~Fano
°°°°


Rere mengerutkan keningnya bingung. Matanya meneliti jalanan yang mereka lalui saat ini. Tungu dulu, ini bukan jalan ke rumahanya ataupun rumah mommy mertuanya. Lalu, Fano akan membawanya kemana?

"Lho, kok ke sini sih pak. Inikan--bukan jalan pulang." Rere menolehkan kepalanya, menatap Fano yang tengah sibuk mengemudi.

"Nanti, kamu juga bakalan tahu." Fano berujar acuh.

Rere kembali diam, mau bicara pun bingung mau mengatakan apa. Fano seakan tak memperdulikan keberadaannya, laki-laki ini benar-benar menyebalkan. Pemandangan di luar sana seakan menghipnotisnya, pohon-pohon yang berjejer rapih disepanjang jalan, rindang dan membuat siapa pun nyaman saat berada di tempat seperti ini. Rere merubah posisinya senyaman mungkin, matanya mulai terpejam. Rasanya kantuk mulai mengambil alih kesadarannya.

Fano menoleh, menatap sekilas pada istrinya yang sudah tertidur pulas. Sangat manis, Fano akui itu.

Dua puluh lima menit kemudian..

Fano mematikan mesin mobilnya disebuah pekarangan rumah yang begitu megah nan luas. Siapapun yang melihatnya, pasti akan terkagum-kagum. Fano turun dari mobilnya, mengitari mobil lalu membuka pintu penumpang. Tangannya terulur untuk menggendong Rere yang masih tak kunjung bangun. Mungkin gadis ini terlalu lelah, pikirnya. Awalnya, Fano ingin membangunkannya saja, tapi saat melihat wajah tenangnya, Fano tidak tega.

"Ternyata kamu berat juga ya. Makan apa sih? Padahal badan kamu kecil gini." Ucap Fano sambil memandangi wajah damai Rere yang berada dalam gendongannya. Fano mulai melangkah memasuki rumah besar itu dengan Rere yang ia gendong ala bridal style. Pemandangan pertama yang Fano dapati adalah mommy dan mamah mertuanya yang sudah menunggu di ruang tamu.

"Assalamu'alaikum." Ucap Fano sambil memdekati kedua wanita paruh baya yang tengah tersenyum ke arahnya. "Maaf, sudah membuat kalian menunggu lama." Sambungnya.

"Lho, Fan. Rere nya kenapa? Kok bisa kamu gendong gitu. Mantu mommy gak kenapa-napa kan?" Ana mendekati putranya, wajahnya terlihat sangat khawatir. Berbanding terbalik dengan Riska yang terlihat santai-santai saja. Riska sudah tahu betul, palingan putrinya itu tidur. Bukan hal yang aneh, itu memang sudah menjadi kebiasaan Rere, kalau bepergian memakai mobil pasti saja tidur.

"Gak papa kok, mah. Ini, tadi Rere ketiduran di mobil."

"Iya jeng. Jangan terlalu khawatir, emang sudah kebiasaannya dari kecil, kalau naik mobil pasti suka ketiduran." Riska berujar sambil mendekati besannya, menepuk bahunya pelan.

"Hem, yasudah. Kamu bawa Rere ke kamar kalian ya. Kasian, sepertinya mantu kesayang mom sangat kecapean." Ana mengelus kepala Rere begitu lembut.

"Kalo gitu, Fano ke atas dulu ya mah, mom."

"Eh, tunggu bentar nak Fano." Riska berujar agak lantang. Fano yang sudah siap menaiki anak tangga pun menoleh. "Inget, mamah pengen cepet-cepet nimang cucu. Kamu harus buat sekarang juga, oke." Riska mengerlingkan matanya jahil.

Fano terlihat salting, kupingnya mulai memerah itu artinya dia sedang merasa malu. Tentu saja, mertuanya ini terlalu blak-blakka"Haha, kamu ini ada-ada saja jeng. Lihat anak saya jadi malu kan. Sudahlah biarkan saja mereka, jangan ganggu mereka. Nanti, pasti mereka bakalan buat. Haha, ya kan Fan?"

Fano mendelik ke arah mommy nya. Mommy nya ini benar-benar membuatnya malu setengah mati. Tanpa mau mendengarkan tawa kedua wanita paruh baya yang otaknya agak mesum itu, Fano segera bergegas menaiki anak tangga begitu tergesa. Tawa kedua wanita paruh baya itu benar-benar membuat kupingnya panas.

Sesampainya di dalam kamar yang didominasi dengan warna hitam dan juga putih ini, Fano membaringkan tubuh mungil Rere di atas kasur berukuran king size yang terletak di tengah-tengah ruangan.

"Gak sia-sia juga ya, saya nikahin kamu. Kamu cantik, saya makin suka saat melihat kamu tertidur seperti ini." Fano mengelus puncak kepala Rere lalu turun ke pipi. Tangannya membelai wajah Rere begitu lembut, seakan-akan takut jika usapannya membuat si empunya wajah terbangun dan malah berakhir memojokkannya.

"Shit." Fano mengumpat tertahan, saat merasakan sesuatu di bawah sana mulai menegang. Baru membelai wajahnya seperti ini saja sudah membuatnya turn on, apalagi kalau--

"Khem." Fano berdehem singkat untuk menghilangkan pikiran mesum yang mulai menguasai pikirannya. Tidak, Fano tidak akan melakukakan apa pun jika bukan atas persetujuan dari Rere. Tidak, Fano tidak mau sampai mengecewakan gadis yang telah mengisi separuh ruang dalam hatinya ini. Fano mulai bangkit, namun tangannya di tahan oleh tangan mungil yang memegang lengannya begitu erat.

"Jangan pergi," racau Rere begitu tak jelas dengan mata yang masih terpejam.

Fano ingin melepaskan tangan itu, namun genggamannya malah semakin erat. Fano mengalah, dengan gerakkan pelan Fano mulai duduk di sebelah Rere. Fano menaikkan kakinya ke atas ranjang dengan kepala yang bersandar di kepala ranjang. Matanya mulai terpejam dan tanpa Fano sadari kegelapan mulai menguasainya, keduanya tertidur pulas.

Ceklek..

Pintu kamar sedikit terbuka, Riska dan Ana menyembulkan kepalanya secara bersamaan di celah-celah pintu. Seketika, wajah keduanya terlihat di tekuk.

"Yah, gak jadi punya cucu dalam waktu dekat ini mah." Riska berujar pelan lebih tepatnya berbisik.

Ana menganggukkan kepalanya pelan, "iya jeng. Padahal saya udah pengen banget gendong cucu. Yasudah, kita pergi dari sini sebelum ada yang bangun dan mergokin kita lagi ngintip di sini."

"Iya, jeng. Lebih baik kita pulang." Riska menutup kembali pintu kamar putri dan menantunya itu sangat hati-hati.

****

Rere menggeliatkan tubuhnya, matanya masih terpejam. Tangannya meraba-raba sesuatu yang menindih perutnya, membuatnya sulit bernapas. Matanya terbuka perlahan-lahan, pandangannya mulai turun ke arah perutnya dan detik berikutnya matanya membelalak sempurna.

"Kyaaaaaaaaaaaaaaaaaa." Teriakkan pun keluar dari bibir ranumnya. Secara bersamaan kaki dan tangannya mendorong paksa seseorang yang sangat lancang memeluknya dari arah belakang itu.

Gedebruk....

"Auh."

"SIAPA--" mulutnya menganga sangat lebar, matanya tak mampu untuk berkedip. Rere tak percaya ini. Duh mampus gue, kok dia bisa meluk gue sih? Duh gimana ini? Rere benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Matanya masih menatap horor ke arah Fano, suaminya.

"Ssh, dasar bodoh. Kamu pikir siapa, huh?" Fano berdiri dengan tangan yang memegangi pinggangnya. "Ahh, tuhkan pinggang saya sakit."

Rere tersadar dan segera mendekati Fano yang terlihat sedang kesusahan untuk berdiri. "Muehehe. Mon maaf ya, pak. Tadi, saya gak tahu kalau itu bapak. Saya kira--"

"Kamu kira apa, huh? Pokoknya saya gak mau tahu ya, kamu harus tanggung jawab. Auh."

"A a i-iya s-saya bakal tanggung ja-jawab." Ucap Rere terbata-bata.

Jauh di dalam lubuk hatinya, Fano tersenyum penuh kemenangan. Sebenarnya, pinggangnya tidak benar-benar sakit. Hanya saja, sepertinya jika mengerjai istrinya yang bawel ini akan sedikit lebih menyenangkan bukan? Haha, katakanlah Fano jahat dan sebagainya. Tapi, Fano juga tidak tahu kenapa dirinya bisa berubah jadi sejahil sekarang, ini semua terjadi tanpa ia sadari. Semua berubah saat ia mengenal gadis yang sedang memapahnya ini, gadis yang sudah berstatus sebagai istri sahnya.

••••
Bersambung^^

My Lecturer Is My Husband (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang