🍃Pernikahan bukan hanya sebatas kata ijab dan kabul. Tapi, pernikahan ialah penyatuan antara dua insan yang saling mencintai satu sama lain, tanpa adanya paksaan🍃°°°°
"Makanya, mamah kan udah sering bilang sama kamu Re. Kamu itu, gak boleh telat makan. Gini nih, akibatnya kalau kamu gak dengerin nasehat orang tua." Sedari tadi Riska terus mengomeli putrinya. Rere yang baru sadar pun hanya pasrah mendengarkan, tak ada pilihan lain lagi bukan?
"Udah dong, mah. Kasihan itu Rere nya kalau mamah omelin terus." Jeda sesaat, "Re, kamu makan dulu ya." Fano yang sedari tadi hanya setia menjadi pendengar baik pun berdiri dari tempat duduknya, lalu mengambil bubur yang sudah disiapkan pihak rumah sakit ini.
"Gak ah. Gue gak mau makan. Gak suka bubur." Rere memalingkan mukanya.
"Makan dikit aja, ya. Biar kamu cepat sembuh. Emangnya kamu mau disini terus?" Fano masih setia membujuk, padahal aslinya udah gregetan. Udah dibilangin, tapi masih saja berani bicara lo-gue, huft. Sabar Fan, dia kan lagi sakit.
"Hish, anak ini." Riska menyentil kening Rere gemas. "Nakal. Suami kamu udah baik banget lho itu, mau nyuapin bayi gede kayak kamu."
"Dih. Rere kan gak minta disuapin." Rere menekuk wajahnya. "Pak Fano nya aja yang sok caper, ck."
Tahan Fan, tahan. Kalau sudah sembuh baru kasih pelajaran. Biar kapok. Fano membatin.
"Huft, yaudah mamah tinggal ke luar bentar ya. Fan, kalau Rere gak nurut langsung bawa pulang aja. Hukum di ranjang, biar tau rasa." Riska berujar sinis.
Fano menggaruk kepala bagian belakangnya, "hmm," gumam Fano tak jelas. Entahlah Fano bingung harus bicara apa, mamah mertuanya ini terlalu frontal.
"Buka mulutnya." Titah Fano yang sudah siap menyuapi Rere.
Rere menggeleng.
"Re."
"Gak mau. Jijik, lembek," tolak Rere sambil menutupi mulutnya dengan kedua tangan.
"Kamu buka sendiri. Atau, saya bakalan pake cara lain."
"Gak."
"Oke, kalau itu sudah menjadi pilihan kamu." Fano mulai memasukkan bubur itu ke dalam mulutnya.
Rere melongo. Lha, kok jadi dia yang makan sih? Hilih, bilang aja mau, pake acara ngancem-ngancem segala, ck. Rere membatin.
"Yaampun pak. Kalo bapak mau bilang dong dari ta--hempft." Rere membelalakan matanya tak percaya. Apakah cowok yang berstatus sebagai suaminya ini sudah benar-benar gila?
"Ma..kan." titah Fano disela-sela ciumannya.
Rere menggeleng, berusaha menutup rapat mulutnya. Sementara Fano, semakin mendorong tengkuk Rere agar ciuman keduanya semakin dalam. Fano menggit-gigit gemas bibir Rere agar terbuka.
"Hmpft..sesht..engh." Rere memberontak saat bibirnya terasa perih karena Fano menggitnya terlalu kuat. Rere semakin berontak ketika lidahnya mulai merasa ada sesuatu yang mulai memenuhi rongga mulutnya. Anjir, babi, kamvret, huaa bibir sekseh gue udah gak suci lagi. Makin gak suci lagi, kalu gue sampe nelen ni bubur yang ditransfer dari bibir Fano. Huek, pen muntah, sumpah lembek-lembek gimana gitu. Anjirr, ditambah jigongnya si galak. Huaa mamah, tolongin Rere. Rere membatin.
Glek..
Rere rasanya benar-benar ingin menangis detik ini juga, saat bubur itu berhasil lolos dikerongkongannya. Rere dapat merasakan senyum kemenangan dari bibir Fano yang masih menempel dibibirnya bergerak seperti membentuk sebuah lengkungan tipis. Rere menekan-nekan, bahkan memukuli dada bidang Fano, berharap cowok ini segera melepas ciumannya.
Perlahan, Fano mulai menjauhkan bibirnya dari bibir mungil di depannya yang mulai membengkak akibat ulahnya itu dan ada sedikit bercak darah disudut bibir itu. Fano menggerakkan tangannya, menyentuh sudut bibir istrinya dan menghapus jejak darah di sana dengan ibu jarinya.
Rere hanya diam mematung. Perlakuan Fano benar-benar membuatnya dilema, terkadang baik dan kadang galak, tidak bisa ditebak.
"Masih mau bandel? Masih gak mau makan? Apa perlu saya menyuapi bubur ini dari mulut saya sampai habis, huh?"
Rere benar-benar gugup, tatapan Fano benar-benar membuatnya merinding, sangat menusuk. "Eng..gak. gu--"
Cup..
Satu kecupan singkat mendarat dibibir ranumnya. Rere kembali seperti orang bodoh, diam membeku.
"Itu hukuman, karena kamu gak nurut. Bukankah saya sudah sering bilang, jangan berkata kasar di depan saya."
Rere mengerjap-ngerjapkan matanya lucu dengan bibir yang sedikit terbuka. Fano pun sampai dibuat diam mematung.
"A-em. Maaf," cicit Rere dengan suara yang sangat pelan.
Fano tersadar dan kembali memperbaiki ekspresi konyolnya. "Yasudah. Sekarang, kamu makan lagi."
"Eum, aku bisa sendiri." Cegah Rere saat Fano akan menyuapinya. Rere sadar dengan apa yang ia lakukan, buru-buru ia melepaskan genggaman tangannya dilengan Fano. "Maaf."
"Hem. Ini, habiskan. Jangan sampai saya melihat ada sisa sedikitpun. Oke?"
Rere hanya mengangguk, menurut hanyalah pilihan satu-satunya saat ini. Fano benar-benar galak, pemaksa, tukang ngancem, dan mesum. Ya, harus Rere akui, si dosen yang katanya ganteng ini, katanya lho ya, kelihatannya saja calem, aslinya mesum. Inilah yang disebut cover bisa saja menipumu.
Dua puluh menit kemudian..
Rere sudah selesai makan, menghabiskan bubur tak enak itu dengan segenap perjuangan. "Udah pak. Saya sudah kenyang." Sebelah tangan Rere menyodorkan mangkok kosong itu ke hadapan Fano dan sebelahnya lagi mengelus-elus perut ratanya.
"Gimana gak kenyang. Mangkoknya saja sudah kinclong tak bersisa seperti itu." Ucap Fano malas.
"Huam. Yaudah pak, saya ngantuk, mau tidur."
"Enak aja tidur. Gak, ini kamu harus makan obat dulu supaya cepat sembuh." Fano mengulurkan obat ditangannya ke Rere.
Rere menghembuskan napas pasrah, bukankah tidak bisa menolak. "Udah. Aku udah ngantuk pak." Ucap Rere dengan mata yang sudah merem melek.
"Tunggu."
"Apalagi?" Rere sudah tidak kuat lagi, matanya sudah tak bisa di ajak berkompromi lagi.
Cup..
Matanya yang sudah merem melek kini kembali terbuka sempurna saat kecupan singkat mendarat dibibirnya.
Fano terkikik geli di dalam hati. Kemudian, Fano mendekatkan bibirnya dikuping sebelah kiri istrinya. "Malam ini, kamu bisa selamat. Tapi besok, saya tidak bisa menjamin." Bisiknya dengan nada suara sensual dan sedikit ada unsur jahil dalam perkataannya itu.
Rere sampai meneguk ludahnya susah payah. Astaga, apakah Rere tak salah dengar? Cowok ini, benar-benar mesum. Semoga saja otak Rere yang cantik ini tak terkontaminasi olehnya. Ya Lord, sebenarnya cowok macam apa yang menikahinya ini? Sangat tidak waras.
"Mimpi aja pak. Gak usah banyak ngehalu. Nanti jatohnya sakit." Ucap Rere sambil mendorong Fano menjauh dari tubuhnya.
"Ya, terserah kamu." Fano berjalan ke sofa yang ada didekat Rere, membaringkan tubuhnya di sana.
Rere yang melihat semua itu hanya diam. "Pak." Panggilnya pelan.
Fano menoleh, menatap istrinya bingung. "Ada apa?"
"Eum, kalo bapak mau tidur pulang aja. Aku bisa sendiri." Rere memilin seprei sebagai pelampiasan rasa grogi yang menghampiri dirinya. Ditatap Fano seperti ini, kenapa rasanya, melting?
"Gak papa. Saya mau disini saja, jagain kamu."
Rere merasakan pipinya memanas, ouh tidak. Apakah ia blusing? Semoga Fano tak melihatnya, Rere malu.
°°°°
Bersambung^^
![](https://img.wattpad.com/cover/280326602-288-k197770.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lecturer Is My Husband (END)
Любовные романыStory 1📙 Jadi, mohon maaf kalau masih agak berantakan. [belum revisi] Dijodohin itu gak ada dikamus gue. Apalagi dijodohin sama dosen yang galak seperti Fano. Dih, ogah. Bisa kebayang gak tuh kehidupan gue ke depannya? Gak jauh dan gak lebih pasti...