Chapter 18

10.7K 560 1
                                    


Masih di are kampus, sehabis dari ruangan Fano, Rere memutuskan untuk duduk di bawah pohon rindang ditemani alunan musik yang ia dengarkan lewat aerphone dan sebuah novel di tangannya. Matanya memang memandangi untaian kalimat dalam buku novel itu. Namun, pikirannya sangat kacau.

Huft. Hanya hembusan napas yang menemani kesendiriannya. Pikirannya sudah melenceng jauh ke masa lalunya. Masa-masa di mana dirinya dan Sam masih bersama dalam status berpacaran. Lagu ini, lagu yang saat ini ia dengarkan pun adalah lagu kesukaannya dengan Sam dulu. Entah kenapa tiba-tiba dirinya ingin mendengarkan lagu ini dan karena lagu ini juga bayang-bayang masa lalunya berhamburan menghampirinya. Rere teringat saat pertama kali bertemu dengan Sam. Waktu itu, ketika Rere masih berstatus sebagai pelajar SMA dirinya selalu menjadi bahan buly-an. Bahkan tak jarang dirinya selalu di permalukan di depan umum, dikerjain habis-habisan sama kakak seniornya hanya karena masalah cowok. Ya, semua kakak senior perempuan selalu membulinya karena Rere itu termasuk tipe gadis yang banyak disukai oleh kaum adam. Tak jarang, setiap pagi ataupun sore Rere selalu mendapati lokernya penuh dengan surat yang berupa puisi, coklat, beberapa tangkai mawar dengan warna yang bervariasi dan masih banyak lagi.

Flashback on..

Di suatu hari, hari termenyedihkan bagi Rere. Saat itu, sekitar pukul dua sore, Rere diseret oleh segerombolan kakak seniornya ke sebuah ruangan yang begitu pengap dan agak gelap.

"Heh bicth. Sudah berapa kali gue bilang jangan sok kecantikan. Gue gak suka." Catline berucap tepat di dekat wajah pucat Rere. Bahkan tangan kanan Catline sudah menjambak rambut bergelombangnya. Rere tak bisa melawan, diam dan meneteskan air mata hanya itu yang bisa ia lakukan kala itu.

"Ngaca dong. Lo itu cuman segelintir debu yang sedang tidak sengaja mendapatkan keberuntungan bisa jadi tuan putri." Sahut Maura, teman se gengnya Catline. "Debu hanyalah debu gak akan bisa jadi tuan putri seutuhnya. Ingat itu baik-baik."

"Ya, lo emang cantik, sedikit. Gue akui itu. Tapi di sini, di sekolah ini hanya gue cewek terhits dan yang paling cantik. Gak boleh ada yang ngelebihin gue." Catline semakin mengeratkan tangannya di rambut Rere. Rere meringis saat lagi-lagi Catline menarik rambutnya ke belakang.

"NANGIS, NANGIS AJA TERUS. CENGENG." Teriak Sisca dengan suara yang sangat kencang.

Rere semakin sesenggukkan, air matanya terus luruh membasahi pipinya. Kepalanya sudah terasa pening akibat ulah Catline yang terus menjambaki rambutnya di tambah lagi kupingnya yang berdengung karena teriakkan Sisca barusan. Rere meremas jemari tangannya menyalurkan rasa takutnya. Namun, semua itu nyatanya tak membantu menghilangkan rasa takutnya sama sekali. Payah, Rere terus merutuki dirinya yang tak bisa melawan orang yang selalu menindasnya seperti ini.

"Kali ini gue masih kasih lo keringan." Jeda sesaat, Catline menghempaskan jambakan tangannya di rambut Rere, bahkan ada beberapa helai rambut yang berada dalam genggaman tangan Catline.

Rere terduduk di lantai sambil memegangi kepalanya, sakit, sangat sakit. Kenapa mereka bisa setega itu padanya?

"Ayo guys. Kita cabut. Kunci ruangan ini, biarkan gadis cengeng ini meraung-raung sendirian, haha." Catline berjalan terlebih dahulu dan di ikuti teman-temannya. Rere berdiri untuk mengejar mereka, Rere takut ditinggal sendirian di ruangan ini, sangat pengap dan gelap padahal ini baru pukul dua lebih empat puluh menit.

Gdor..gdor..

Rere menggedor-gedor pintu ketakutan. Tapi sayang, Catline and the geng sudah pergi meninggalkannya, mengunci dirinya di ruangan ini sendirian. Rere menyandarkan tubuhnya di balik pintu, tubuhnya mulai luruh ke lantai yang dingin dan berdebu. Rere menelusupkan kepalanya di lututnya, kedua tangannya memeluk kedua kakinya. Rere kembali menangis, isakkannya terdengar sangat pilu, bagi siapun yang mendengarnya pun pasti akan ikut meneteskan air mata.

My Lecturer Is My Husband (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang