33. MLN: Kulminasi

313 36 251
                                    

cari posisi yang nyaman yaa.. 

chapter kali ini panjang <3

oh ya, jangan lupa vote kawan ;)

***

LANGIT pagi ini tidak secerah biasanya. Awan-awan keabuan berduyun-duyun untuk mengerumuni kota. Membawa rintik-rintik air yang mengguyur jalanan. 

Nara menatap beberapa pengendara sepeda motor yang menyepi ke pinggir jalan untuk memakai jas hujan dari balik jendela mobilnya. Suara klakson kendaraan diiringi suara hujan membuat lamunannya semakin kalut. Ini untuk pertama kalinya saat kelas 9, ia tidak memiliki gairah semangat untuk pergi ke sekolah. Seperti seluruh dunianya hancur. Kebahagiaan yang selama ini menjadi alasan ia hidup seakan lenyap begitu saja.

Orang tuanya sedang diambang perceraian. Pengkhianatan dari mantan sahabatnya. Satu kelas yang benci kepadanya.

Ngomong-ngomong, cara Leta itu klasik.

Leta selalu memutarbalikkan makna dari setiap tindakan yang ia lakukan. Seperti menunjukkan ratusan novel misalnya. Ia tak bermaksud untuk sombong, ia hanya ingin memberitahu kalau ia suka Novel. Itu saja. Rak-rak buku itu pun sebenarnya tak sengaja dilihat oleh Rhea di dalam kamarnya. 

Bahkan rekaman suara itu dipotong. 

Nara menatap bingung kepada Leta yang memajukan bibirnya. "Lo kenapa, Ta? badmood?"

Leta berdecak malas sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya kepada Nara. "Kesel banget gue!"

Nara tersenyum, menyelipkan anak rambut yang menutup telinganya. "Dua telinga gue udah terpasang dengan baik."

"Emangnya gue bilang mau cerita sama lo?" 

Nara terkekeh. "Calm, sis."

Leta menghela napas. "Banyak banget yang iri sama gue di tempat les. Mereka deketin gue karena lebih kaya dari mereka. Waktu gue nggak ada, mereka sering banget jelekin gue. Mulai dari inilah, itulah...."

"Namanya juga iri."

"Tapi gue kesel, ANJ-" Suara Leta terpotong ketika Nara segera membekap mulutnya. 

"Ssstt, ini lagi di cafe. Jangan teriak-teriak."

Leta membuka paksa bekapan Nara dari mulutnya. "Tapi tetep aja gue kesel. Jadi orang kaya itu serba salah! pake baju branded dibilang sombong, pake baju biasa aja malah dibilang bangkrut. Lo nggak pernah ngerasain sih!"

Nara tersenyum makhlum. "Gue pernah. Itu hal biasa." Nara menatap bolu coklat yang ia pesan masih utuh. Mungkin Leta tak tahu, di bawah meja sana, tangan Nara meremas roknya sendiri dengan kuat. Menahan rasa sesak akibat teringat pengucilan di usianya yang masih 4 tahun. Dulu, ia kira terlahir di keluarga kaya adalah suatu kesalahan. Mengingat setiap detail perlakuan teman-teman pada dirinya semakin membuatnya kesal.

Nara mendongak. Menatap Leta penuh intimidasi, walau sebenarnya tatapan itu bukan untuk Leta. "Mereka itu cuman iri. Padahal kita kan nggak pernah milih terlahir jadi kaya. Gue jadi kasihan sama mereka. Kasihan mereka, lahir di keluarga yang kurang mampu. Mau sekeras apapun, hidup mereka sama-sama aja." Nara mencurahkan semua kekesalannya pada satu paragraf ucapannya itu.

Sepertinya di saat perbincangan cafe itulah, Leta merekam suaranya. Nara akui, ia memang salah ketika berucap sok mengasihani dan merendahkan mereka. Tapi saat itu- Nara menghela napas. Sudahlah, apapun alasannya ia tetap salah. 

Kenangan Manis KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang