44. Equanimity

247 31 101
                                    

akhirnyaa! 

rencananya selesai PAS aku langsung ngebut nulis.. tapi ternyata tidak semudah itu.. aku malah tambah sibuk sehabis PAS T_T

dan finally, aku bisa nyelesain bab ini :D

oke, happy reading! 

jangan lupa di vote!

***

Gumpalan-gumpalan hitam mengudara. Kekuatannya sudah berada di ujung batas, hingga beban yang selama ini ia tampung tercurah ke bumi. Beban itu jatuh, berubah menjadi tetes-tetes air yang membasahi tanah.

Orang-orang menyebutnya hujan, tapi beberapa orang juga menganggapnya sebagai kesialan. Dan ia termasuk orang-orang yang membenci hujan itu, dulunya. Tapi sekarang, entah mengapa dirinya menyukai suara gemericik air yang menjadi bunyi utama yang didengarnya.

Menenangkan.

Ia mengadahkan kepalanya. Menatap satu-satunya jendela raksasa yang menampilkan kerumunan kota didominasi cahaya putih dan kuning. Dirinya terlihat tenang walau di bawah sana terlihat ramai: Jalanan macet, bunyi klakson yang saling mengaung, dan orang-orang yang berlarian kesana kemari untuk berteduh. Dia hanya bisa melihat dari atas, meski ia turun pun, ia tak bisa membuat keramaian itu menjadi teratur dan damai. Ada hal-hal yang tak bisa ia atasi, dan mungkin, termasuk dirinya sendiri.

Setiap orang punya mimpi, walau mereka kehilangan asa, tapi mereka masih bisa bertekad. Entah sekecil apapun mimpinya, setiap orang punya, seperti dia. Iya, walau ia terlihat seperti tak memiliki tujuan, ada mimpi yang ingin ia gapai. Selain mimpi, itu juga kewajiban. Sebagai cucu pertama dari Bramantya, ia harus memikul hal-hal yang berat dari kecil.

Mungkin, selama ini ia tidak menunjukkannya. Selama ini yang orang-orang lihat tentang dirinya hanyalah seorang remaja SMA yang hidupnya bermain-main. Mereka semua tak tahu, dibalik fasilitas mewah yang ia dapatkan, ada beban luarbiasa yang harus ia pikul.

Di umurnya yang 6 tahun, ia diberikan les tentang saham dan investasi. Beranjak ke umur 7 tahun, ia dipaksa bisa berbahasa China dan Inggris dengan lancar. Lalu berlanjut ke bahasa lain hingga ia lancar dalam 10 bahasa sekarang. Di umurnya yang ke-11, ia mulai belajar tentang perusahaan, bagaimana cara mengelolahnya, memimpin, dan membina orang-orang di dalamnya. Semua teori itu kemudian ia pratekkan di umur yang ke-12 tahun. Mungkin, ia termasuk orang termuda yang memimpin suatu perusahaan, tapi dibalik gelar yang hebat itu, ia sudah tak sanggup. Rasanya berat, tapi ia harus tetap menjalaninya. Entah seberapa banyak pun prestasi yang ia dapatkan, itu takkan pernah cukup untuk mewarisi perusahaan keluarganya.

Makanya, ada saat-saat ia ingin lari dari semua kewajiban itu. Bermain-bermain seperti yang sekarang dipandang orang. Tawaran permainan itu datang dari wanita yang pernah diselamatkan daddy-nya dulu. Ia yang ingin bebas, menyetujuinya saja. Tak pernah ada yang terbesit di pikirannya tentang akibat dari permainan konyol itu.

Baru kemarin, dia sadar. Sadar sampai dimana ia menapakkan kakinya di waktu 3 tahun hampir berlalu. Kalau ia menoleh ke belakang, jejak kakinya dulu itu sudah tertinggal jauh, dan mungkin dia tersesat.

Ia tak pernah memikirkan bagaimana rasanya diposisi korban-korbannya selama ini. Sampai kemarin, kata-kata dari laki-laki asing yang entah darimana datangnya itu berhasil menyadarkannya dari semua yang ia lakukan.

Jari jemarinya mengepal.

"ADEK GUE HAMPIR BUNUH DIRI GARA-GARA LO!"

1 kalimat yang diluar nalar itu terngiang kembali dalam otaknya. Disambung kalimat-kalimat lain—

Kenangan Manis KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang