50. The sunset is beautiful, isn't it?

106 12 0
                                    

Semua sudah pulang. Gerbang sekolah ditutup. Aneh, sekolah ditutup lebih cepat dari biasanya. Selain aneh, rasanya jahat sekali membiarkan gadis secantik dirinya berdiri sendiri di depan gerbang sembari menunggu jemputannya yang tak kunjung datang.

Gadis itu menengadahkan kepalanya.

Kalau dalam siklus hidrologi, kondisi sekarang bisa disebut tahap presipitasi.

Nara melangkah satu langkah lebih maju. Jika orang lain melampiaskan keputusasaannya dengan alkohol dan rokok, biarkan Nara menikmati hujan. Ia tidak peduli jika nantinya akan jatuh sakit, biarkan ia berbagi rasa dengan langit.

Biarlah semesta turut bersimpati akan kondisinya untuk sekali lagi.

Nara sangat berterima kasih.

Langit selalu begini. Seperti waktu itu, disaat masa-masa kelamnya, langit juga akan turut mencurahkan air matanya. Tak hanya sekedar menumpahkan segala air yang ditampung, tapi juga disertai dengan rasa.

Mungkin, itu yang membuat hujan kali ini berbeda.

Matanya bergerak mengamati awan-awan hitam yang mengepung kota. Biasanya, warna hitam gelap digambarkan sebagai sesuatu yang menakutkan. Benar, awan-awan itu terlihat besar dan menakutkan, tapi Nara tak pernah menganggapnya seperti itu. Selain mencerminkan sesuatu yang menakutkan, warna hitam juga menggambarkan duka.

Nara menghirup dalam-dalam segala udara yang berada di sekitarnya. Menikmati angin kencang yang menyapu setiap inchi wajahnya.

Rasa dingin dan duka ini... Nara mengenalinya.

Nara memandang langit dengan pilu.

"Bumi bukan menangis untukku ya?" Meski terlihat konyol, Nara tetap mengajaknya berbicara, seakan bumi benar-benar sesuatu yang hidup.

"Bumi masih jatuh cinta sama matahari?"

"Padahal Bumi tahu, bahwa kisah cinta kalian itu sulit. Matahari tidak akan pernah menyadari perasaan Bumi. Meski Bumi memutarinya berapa kali pun, Matahari tetap pada posisinya."

Nara meneguk salivanya.

"Matahari memang terlihat hangat."

Matanya terpejam sejenak.

"Dan juga paling bercahaya di antara gelapnya semesta."

"Nggak heran sih kalau Bumi terjatuh dalam pesonanya."

"Tapi... Bumi kan yang paling tahu betapa beratnya kisah cinta kalian itu. Bumi hanya bisa mengaguminya dari jauh. Ada jarak antara Bumi dan matahari yang tidak boleh terlewati."

"Matahari...."

Nara menghela napas.

"Tidak akan pernah bisa bersamamu, Bumi."

Nara terdiam sejenak.

"Padahal ada bulan. Bulan kan selalu bersama Bumi ketika matahari tidak ada. Walaupun ia tidak sebercahaya matahari, tapi ia tetap bercahaya."

"Bumi dan bulan."

"Lebih cocok kan?"

Nara terkekeh miris. "Iya, aku tahu. Tidak semudah itu menghapus perasaan. Padahal jatuh cinta itu mudah, mengapa melupakannya sesulit itu?"

Sial. Nara tidak sanggup lagi. Air matanya mulai lolos begitu saja.

Nara mengangguk-angguk, memantapkan hatinya. "Baiklah, mari kita lupakan dia dan melanjutkan hidup."

"Sialan."

Air matanya semakin deras. Rupanya, Ryan sudah sedalam ini di hatinya.

"Kukira ini nggak akan sakit."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 06, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kenangan Manis KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang