9. Terungkap

13 1 0
                                    

Malam ini, sunyi, sedikit gelap, dan banyak nyamuk. Tadi Mama ku sudah membakar obat nyamuk, namun asapnya membuat sulit bernafas, jadi aku matikan saja.

Masih menggenggam selembar poto polaroid yang mulai kusam. Terpampang lucu wajah laki-laki lugu. Tersenyum lebar sebagai ekspresi gembira. Ternyata ini yang namanya Rafasya.

Cahaya. Perempuan yang baru aku temui kemarin, yang belum aku kenal seratus persen. Memberi ku jawaban atas pertanyaan sukar selesai. Aku cengar cengir tidak jelas, bahkan aku rela mengabaikan tugas PKn yang seharusnya segera aku selesaikan.

"Ketauan kamu Rafa!" tubuh gempalku berguling-guling di atas kasur.

Ingin sekali menghubungi Rafasya, tapi, setiap kali aku ingin menghubungi orang itu, hanya bayangan dia dan teman perempuannya yang sedang menonton film bersama. Aku merasa marah, hampir sama marahnya saat Cakra mengajak Naya pulang sekolah bersama.

Argh, itu membuatku semakin frustasi.

Ponsel ku bersuara pertanda ada telepon masuk. Aku membelalakan mata saat nama Rafasya yang muncul.

Panas dingin mendominasi kegelapan kamar, aku mengubah posisi dari berbaring menjadi duduk.

Dengan sangat hati-hati mengangkat telepon tersebut.

"Jadi, siapa yang harus ngomong halo terlebih dahulu?" suara seseorang di ujung sana.

"Halo," suaraku. Aish, kenapa ini? Kenapa suara ku menjadi berat? Ini seperti suara perempuan cantik di film-film, entahlah, itu perasaanku saja.

"Halo juga, maaf ya telepon mendadak. Kamu, kenapa gak bisa dihubungin akhir-akhir ini?" tanya ia.

"Aku baru denger suara Rafa," ucapku mengalihkan pembicaraan.

Sebenarnya, semenjak aku kenal Rafasya, aku jadi sering menggunakan WhatsApp. Aku membuang banyak kuota untuk itu. Sekarang, aku sedang berhemat. Uang ku sudah habis dipakai untuk membayar tiket renang, ditambah ongkos dan jajan. Sampai-sampai aku harus mengesampingkan hasratku untuk membeli kuota internet demi nilai PJOK delapan puluh lima.

Aku mendapat upah setiap tanggal lima, aku bekerja paruh waktu, setelah pulang sekolah. Aku pergi ke sebuah CV yang memproduksi kerudung rawis. Aku bagian memasang label dan packing. Bekerja sekitar lima jam per hari, aku hanya diberi uang sebesar dua ratus lima puluh ribu rupiah. Diberi makan satu kali dan ongkos sebesar sepuluh ribu setiap harinya. Upah nya memang tidak besar, namun cukup untuk uang jajan setiap harinya, untuk tugas, membeli bedak juga perlengkapan perempuan lainnya, aku harus membeli itu sendiri, bukan dibelikan oleh Mama. Lagi lagi, aku mengesampingkan keinginanku untuk jajan, aku mengumpulkan uang untuk membeli HP baru. Uang yang tersisa aku tabung, rencananya, jika cukup, uang ini akan dipakai untuk membenarkan rumah.

Pulang sekolah pukul satu siang, kemudian berangkat kerja setelah ashar, sekitar jam empat sore, lalu pulang pukul sembilan. Setiap malamnya, setelah mandi, aku menyiapkan buku, seragam, dan mengerjakan PR untuk besok. Aku harus bangun pagi sekali, karena jika tidak, pasti aku akan telat. Aku libur bekerja dihari sabtu dan minggu, itu aku pergunakan untuk tidur dan makan. Kurang lebih, seperti itu lah kegiatanku setiap harinya. Lelah dan membosankan.

"Kamu marah ya, Embun?" tanya seseorang itu lagi.

"Nggak kok, aku cuman," aku terdiam, gak mungkin kan kalau aku bilang aku tak punya uang untuk beli kuota, "aku cuman gak lagi pegang HP aja akhir-akhir ini, soalnya sibuk."

"Kamu suka baca buku?"

Aku tersenyum. "Suka, banget malah."

"Aku punya buku, judulnya laskar pelangi. Oh, iya, kemarin aku nonton sama teman ku. Udah biasa juga, jadi kamu gak usah cemburu," ucanya.

"Aku? Cemburu? Gak mungkin lah. Cemburu karena apa coba," ucapku dibarengi kekehan kecil.

"Aku belum bisa ajak kamu nonton, jadi kamu baca aja dulu buku nya. Nanti kapan-kapan kita nonton bareng ya."

Aku mengangguk, padahal, Rafasya aja gak bakalan lihat aku.

"Makasih, titipin aja ke Cahaya, dia kenal aku kok."

"Oh, kamu kenal Cahaya? Sejak kapan?" tanya nya terdengar terkejut.

"Kemarin."

"Dia cerita aku ke kamu?"

Lagi-lagi aku mengangguk. "Rafasya Lazuardi Parviz, katanya sih, abnormal. Kepintarannya gak diragukan lagi, persis seperti orang berkaca mata lainnya. Kata Cahaya, kamu bukan pendek, cuman belum tinggi aja. Hitam manis, lucu pula. Banyak teman, dan banyak uang. Berbanding terbalik dengan ku." Aku kembali berbaring.

Terdengar suara kekehan Rafasya di ujung sana. "Kamu jangan percaya sama omongan dia. Kamu tau?"

"Apa?" tanyaku.

"Cahaya orangnya aneh, dia suka marah-marah!"

"Dia marah pasti ada sebabnya Rafa," ucapku.

"Bukan, karena dia aneh! Oh, iya, satu lagi."

"Apa?" tanyaku berlagak penasaran.

"Dia suka grogotin kayu, pijakan kursi ku habis sama dia!"

Entah atas dasar apa aku tertawa, yang jelas, ini cukup menghibur.

"Rafasya," panggil ku.

Hanya dibalas gumaman.

"Apa itu cinta?" tanyaku perlahan.

Dia tertawa. "Kamu kenapa tiba-tiba nanya itu?"

"Aku cuman pengen tau aja pendapat kamu."

"Cinta itu.... Ketika kita merasa bahagia dan senang saat melihat seseorang. Bisa sama keluarga, sahabat, kalau aku sih kalau ketemu kamu," ucapnya lalu terkekeh.

"Aku belum ketemu kamu Rafa," kata ku jujur.

"Aku sering liat kamu, ketawa sama temen kamu, jalan di belakang kamu, setiap saat aku selalu cari kesempatan buat bisa ketemu kamu. Cuman kayanya kamu gak nyadar, ada seseorang yang kamu suka, aku yakin itu."

Terdengar suara hembusan nafas dari ujung sana.

"Rafa, kamu tau? Kamu datang disaat yang sangat tepat."

"Maksud mu, aku pahlawan?"

Lagi lagi aku mengangguk.

"Kamu, gimana rasanya kalau kamu sama sahabat kamu suka sama orang yang sama?" tanyaku.

"Dan kamu tau? Aku merasakan hal itu juga."

"Jihan, aku suka sama dia. Tapi teman sebangku ku juga suka dia. Dan kamu tau? Jihan lebih pilih dia. Sedangkan Jihan, adalah sahabatku dari kecil."

Sedikit patah hati aku mendengar itu.

"Aku jadi khawatir."

"Kenapa?" katanya terdengar heran.

"Kalau Jihan putus sama temen sebangku mu, Jihan pasti nyari kamu, aku yakin itu."

"Embuun, kalau dia nyari aku, jangan berharap aku bakalan dateng buat dia," katanya.

"Kenapa?"

"Karena aku ada kamu."

~••~

Salam manis,

Airis Yulia

Rafasya ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang