8. Ooh, jadi Dia!

15 2 0
                                    

Sabtu ini aku menjalani ekstrakurikuler. Karena pembina adiwiyata sedang berhalangan hadir, mau tidak mau aku harus menggantikan pembina untuk memimpin kegiatan.

Jujur, semenjak aku menjadi ketua adiwiyata, aku lebih percaya diri untuk berbicara di depan banyak orang. Walaupun sebenarnya banyak dari anggota yang seangkatan denganku secara terang-terangan berkata bahwa aku tidak pantas berada di posisi ini. Sebenarnya juga, aku tidak peduli dan dengan senang hati aku akan memberikan jabatanku ini, andaikan ibu Fatimah tidak berharap lebih padaku. Lagi-lagi sebenarnya juga, aku merasa bangga pada diriku ini, ditambah lagi ibu Fatimah satu-satunya guru yang sangat perhatian padaku.

"Oke, karena ibu nya enggak ada, jadi aku yang bakalan pimpin kalian ya. Kalian ditugaskan untuk mencatat lima jenis tanaman beserta fungsinya yang bagus ditanam di lingkungan sekolah. Kalau sudah hasilnya boleh langsung kumpulkan ke aku ya. Absensi, jangan lupa buat absen murid-murid ya. Jangan lupa juga, semuanya harus bayar uang kas."

Semua anggota sedang mencatat, sementara aku terdiam. Mengecek, dan sesekali menyapa orang-orang yang ada di ruangan ini. Aku tersenyum, beginikah rasanya menjadi orang yang dianggap ada? Yaa, walaupun banyak orang yang tidak menyukaiku juga di sini. Entah apa kesalahanku, mereka sangat tak suka padaku. Apa gara-gara aku jelek?

Aku masih merasa malu, merasa tidak pantas menjadi orang yang disegani. Terkadang aku merasa aku terlalu melampaui batasku dengan menjadi ketua eskul. Embun yang dulu itu tersembunyi, jarang disapa, jarang tersenyum--terkecuali pada Cakra--aku pun pernah merasa bahwa, aku benar-benar kehilangan jati diriku yang sebenarnya. Entah dengan perubahan ini aku menjadi lebih baik, atau lebih buruk.

Dulu Cakra pernah bilang bahwa aku terlalu introvert, tidak suka keramaian, malas berbicara, selalu berprasangka yang tidak-tidak pada orang lain. Padahal, semua itu tidak baik. Itu hal yang harus dihindari.

Memikirkan Cakra, aku jadi mengingat Rafasya. Hah? Tunggu! Rafasya?

Bukankah dia satu eskul denganku? Berarti dia ada di ruangan ini sekarang! Aku mengedarkan pandangan, hanya ada lima orang laki-laki di sini.

Laki-laki berseragam pramuka dengan celana pendek, itu Bima, adik kelas. Samping Bima, ada Dimas juga Ari. Dua lagi, aku tidak kenal. Mungkin kah Rafasya salah satu dari mereka?

Aku memang sering bertemu mereka di eskul, tapi tidak pernah tahu siapa nama mereka.

"Teh!" seseorang memanggilku.

"Ini aku udah selesai! Malah ngelamun." Aku menatapnya. Dia orang yang sedang aku perhatikan itu.

"Tuh kan, malah bengong, ini kalau udah dikemanain?" tanya dia lagi.

"Buang," aku tidak sadar dengan apa yang aku ucapkan. Ku kira itu adalah bercandaan lucu, tapi nyatanya, ruangan ini malah semakin hening. Semua pasang mata mengarah pada ku, jangan sampai citra ku sebagai ketua yang lemah lembut itu hancur. Terlambat, sepertinya orang-orang sudah mengklaim bahwa aku orang yang jutek. Oh, aku ingin mati saja.

"Ngelawak aja si teteh!" ucap orang itu lagi. Aku mengembuskan nafas lega. Laki-laki itu menyelamatkan aku dari ketegangan.

Aku melihat jam dinding, sudah setengah jam aku melamun. Menghabiskan waktu dengan melamun tidak terasa juga ya?

"Teh, teteh sakit? Teteh mau minum teh?" bawelnya.

Aku menggelengkan kepala, mencoba mengembalikan kesadaranku.

"Ah gak usah, kalau udah simpan di meja guru aja ya. Buat yang udah selesai mencatat boleh langsung pulang saja ya!" seruku.

Setelah mengucapkan itu, semua orang yang ada di ruangan menyimpan buku ke atas meja. Menggendong tas nya, lalu berbondong-bondong pergi keluar kelas karena aku yang memintanya untuk tidak usah bersalaman.

Aku merapikan buku-buku, menyimpannya ke dalam loker ibu Fatimah. Saat hendak keluar, seseorang menjulurkan tangannya untuk mengajak ku bersalaman.

Saat aku lihat, itu laki-laki yang sedari tadi aku perhatikan. Dia juga laki-laki yang berbicara padaku.

"Kenapa salaman?" tanyaku.

"Sebagai adik kelas yang baik," katanya.

Deg!

Jantungku dalam bahaya, seketika aku mengingat pesan dari Rafasya. Ia juga pernah mengucapakan perkataan itu padaku.

"Rafasya?" tanyaku.

"Yaah teteh malah bengong, kepapa teteh bengong terus dari tadi? Gak pa-pa deh kalau enggak mau salaman sama aku, aku pulang duluan ya teh."

Aku mengangguk tanpa mengucapkan sepatah katapun, meperhatikan anak laki-laki itu sampai ia tidak terlihat dalam pandangan.

Aku berjalan pulang, hari ini harus jalan. Lilis, yang biasanya memberikan tumpangan padaku malah mengantarkan pulang orang lain. Saat di depan gerbang, lagi-lagi ada seseorang yang mengejutkanku. Bukan, ini bukan laki-laki tadi. Dia perempuan yang tidak pernah aku temui sebelumnya.

"Teteh rumahnya yang di perbatasan komplek itu kan?"

Aku mengangguk, dia pasti adik kelas.

"Aku suka liat teteh. Sering malah, cuman teteh gak kenal aku aja. Kenalin, aku Cahaya. Kelas tujuh E."

Awalnya aku risih padanya karena sikap dia yang so' kenal. Tapi karena ia dari kelas tujuh E, yang artinya sekelas sama Rafasya. Sepertinya aku harus menerima Cahaya baik-baik. Bisa aku tanyakan tentang Rafasya juga kan?

"Nama teteh Embun."

"Sudah tahu, aku kan satu eskul sama teteh. Aku pilih teteh buat jadi ketua adiwiyata." Aku hanya mengangguk sebagai respon.

Notifikasi whatsapp terdengat, aku membuka ponsel yang sedari tadi aku genggam.

Rafasya
Jangan marah ya hari ini :)

Embun Yuniata
Kamu tadi mau salaman sama aku, maaf ya enggak aku terima, aku kaget soalnya

Rafasya
Aku ngajak salaman? Perasaan aku bukan anak kembar deh

Embun Yuniata
Maksud kamu apa?

Rafasya
Maksud aku. Aku enggak eskul hari ini, aku nonton film laskar pelangi di rumah bareng sama teman-teman. Aku juga yang hasut dia supaya enggak eskul, ahahahaha

Rafasya mengirimkan foto, bukan wajahnya, tetapi laptop yang menayangkan film, memang benar ia sedang menonton film, tapi bukan itu yang membuatku heran. Tapi rambut perempuan yang ikut terpotret.

Embun Yuniata
Kamu nonton film sama perempuan? Berdua?

Rafasya
Ooh itu, iya, kenapa?

Aku kembali menutup ponsel, bingung harus menjawab bagaimana. Mengapa aku merasa aneh, ini perasaan cemburu. Aku sering mengalaminya dikala Cakra perhatian pada Naya. Dan ini terulang lagi, antara aku juga Rafasya. Siapa perempuan itu? Kenapa bisa mereka menonton film bersama?

"Jadi akunya dianggurin aja?" tanya Cahaya.

"Oh iya," kataku gelagapan. "Kamu satu kelas sama Rafasya?"

"Anak pinter yang aneh itu?"

"Boleh teteh minta fotonya?"

~••~

Salam manis,

Airis Yulia

Rafasya ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang