"Ooh, jadi Uwa kamu itu pengen kamu sekolah di sana?"
Aku mengangguk. "Iya, Fa, aku tuh gak mau. Aku pengen di sini, sama keluarga ku."
"Alesan Uwa kamu pengen kamu tinggal di sana bener bener gak logis sih, masa, karena Uwa kamu pengen anak perempuan doang. Kalau menurut aku ya, yang kaya gitu, namanya mengambil hak asuh anak, udah jelas kalau kamu itu wajib diasuh sama orang tua kamu aja yang asli. Selagi orang tua asli kamu mampu dan juga masih ada."
Sedikit sulit memang membodohi seorang Rafasya. Padahal, aku kan ke sana, gara-gara di sini kurang uang.
"Aku pengen di sini selamanya, gak mau pergi. Aku gak mau ninggalin temen ku di sini, aku juga gak mau ninggalin kamu Rafasya."
Hening beberapa saat.
"Rafasya!"
"Eh, iya, Embun?"
Aku menghela nafas. "Rafasya, aku harus gimana?"
"Aku tau! Gimana kalau kamu pura-pura mati aja?"
"Ish, Rafa, serius dong!"
"Ini aku juga lagi serius, Embun."
"Yaa tapi, masa aku harus pura-pura mati, sih?"
"Iya gak pa-pa, kamu pura-pura mati aja, nanti aku gali buat nyelamatin kamu."
Aku membaringkan tubuh. "Terus, cara aku ngasih tau kamu, supaya kamu dateng buat selamatin aku gimana?"
"Gampang, tinggal WA aja!"
"Kan kalau mati gak bisa bawa HP, Rafasya!"
"Bisa kok! Selipin aja dipantat."
"Ahahahaha," aku benar-benar tertawa kali ini, tidak ada terpaksa.
Terima kasih Rafasya, walaupun aku memanipulasi sebab akibat aku akan dipindahkan ke Uwa ku, tapi jujur, aku merasa lega setelah menceritakan itu.
"Yes, akhirnya aku denger lagi ketawa kamu!" katanya.
"Lagi?" tanyaku.
"Aku pernah denger kamu ketawa sih, sekali. Dan aku suka suara ketawa kamu, ya ampun, apa ya yang gak aku suka dari kamu?"
Pipi ku terasa panas, kupu-kupu beterbangan di dalam perut.
"Apaan sih!"
Aku menenggelamkan muka di permukaan bantal.
"Fa, kamu pernah gak ngerasa bosan, atau stres karena suatu hal? Sampe pada akhirnya, kamu ingin mengakhiri hidup?" tanya ku kembali serius.
"Bunuh diri itu dosa, pasti masuk neraka. Aku gak pernah bosan hidup, aku nunggu aja waktu nya aku mati kapan."
Entengnya Rafasya bicara, ringan nya beban hidup yang dipikulnya.
Aku tersenyum miring, Embun, mungkin dia tidak memikirkan bagaimana cara nya mencari uang. Mungkin juga ia tidak pernah merasakan suasana mencekam pertengkaran orang tua dan anak sulung di rumah.
"Kalau aku bener-bener bakalan bunuh diri, ada gak ya? Malaikat dateng buat nyelamatin aku, mengingatkan aku. Seperti film."
"Aku, aku bakalan dateng nyelamatin kamu, aku bakalan jadi sosok pahlawan buat kamu."
"Bener?" tanya ku memastikan.
"Iya, aku pasti menyelamatkan kamu, sebagai seorang teman yang baik."
Aku mendengus, sedikit tidak suka dengan kata-kata terakhir yang ia ucapkan.
"Kok teman?"
"Oh, kalau gitu, sebagai sahabat yang baik."
"Kok sahabat?"
Rafasya terkekeh. "Terus, harus sebagai apa?"
Dasar, ia bilang, ia menyukaiku. Apa rasa suka ia, hanya rasa suka sebagai teman saja? Atau hanya sebagai, adik kelas yang iba kepada kakak kelas yang terlihat murung dan tidak pernah bercerita.
Seketika aku kembali was-was. Apakah aku kini salah mengartikan sikap Rafasya terhadap ku? Apa jangan-jangan, hanya aku yang berlebihan menanggapinya?
Bagaimana ini? Rasa suka ku, kembali bertepuk sebelah tangan.
~••~
Kini aku sedang memikirkan, keputusan yang salah saat aku mengucapkan suka padanya saat itu.
Padahal, lebih baik aku memendam nya saja. Lagi pula, alasan aku suka pada Rafasya, sangat sederhana sekali. Ia datang saat aku sedang ada difase patah hati.
Semudah itu kah aku merasakan suka pada Rafasya? Padahal, aku bukan tipe orang yang mudah tertarik pada orang lain.
"Embun, kapan rapat nya dimulai?" tanya Via, melirik judes ke arah ku.
"Sekarang." Aku segera mengambil langkah tanpa melihat ke arah nya.
Hanya ada exovisio di sini, sedangkan anggota eskul sudah aku bubarkan beberapa menit yang lalu. Lagi lagi aku tak melihat Rafasya di sini, dasar pemalas, tidak usah ikut eskul aja kalau jarang masuk eskul.
"Kita mulai aja ya," ucapku menginterupsi.
"Maaf, ya, temen-temen, kalau udah nunggu lama. Seharusnya rapat dimulai sekitar setengah jam yang lalu," itu bukan suara ku, itu suara Via.
Ya Tuhan, aku benar-benar membenci dia.
Aku menghembuskan nafas. "Ada intruksi dari ibu Fatimah. Untuk kembali diadakan pembersihan anggota. Kelas sembilan sudah dianggap lulus dan peluncuran nilai sudah terlaksana kemarin ke wali kelasnya masing-masing. Sedangkan untuk anggota kelas tujuh dan delapan. Sudah dibuat keputusan, jika yang tidak ikut pemilihan ketua, dan sudah tidak eskul selama tiga bulan berturut-turut maka dianggap mengundurkan diri."
Ratna yang berlaku sebagai sekretaris, yang artinya mengurus per-absensian maju ke depan.
"Aggota adiwiyata yang tersisa setelah pembersihan anggota yang terakhir ada sembilan puluh, dikurangi kelas sembilan yang sudah lulus dua puluh lima. Jadi tersisa enam puluh lima, sedangkan dilihat dari daftar hadir, hanya ada empat puluh anggota yang bertahan sampai saat ini." Ratna kembali ke tempat.
Aku melihat buku absensi, ya ampun, Rafasya hanya mengisi satu kali, itu pun saat pemilihan ketua eskul. Dia niat tidak sih sebenarnya?
Aku tidak tega jika mengeluarkan Rafasya, namun dengan hati yang sedikit berat, aku menyelamatkan Rafasya dari daftar hitam.
Rapat berlanjut sampai satu jam kedepan, mengenai program kerja, uang kas yang hilang. Serta lemari kepemilikan eskul ini yang katanya dipinjam oleh eskul PMR, tapi tidak kunjung dikembalikan setelah tiga bulan lamanya.
Saat pulang, aku kembali cemberut. Merasa malu dan sangat merutuki kebodohan ku. Karena kejadian itu, aku mengucapkan suka kepada nya.
Argh, aku harus bagaimana?
Aku tidak menghubungi Rafasya sudah tiga hari, jujur aku benar-benar merasa sangat rindu. Tidak bisa, aku tidak bisa semudah itu melupakan Rafasya.
Hingga pada akhirnya, pikiran itu terlintas padaku. Apa jangan-jangan, aku harus pindah saja ke rumah Uwa ku?
Menjauhi Rafasya, melupakan dia. Hidup tenang juga di sana, tidak pulang ke Bandung, dan aman tentram di sana.
Apakah harus?
~••~
Terima kasih sudah membaca bagian ini^^
Semoga kalian sehat selalu...Salam manis,
Airis Yulia
KAMU SEDANG MEMBACA
Rafasya ✔
Novela JuvenilStory *3 by Airis Yulia Hanya untuk mengenang, mempelajari, mudah dilupakan atau tidak, semoga apapun yang telah terjadi adalah yang terbaik. selamat membaca bagian akhir dari kisah, "ketika Embun jatuh cinta, kepada sang pemilik Kaca Jendela."