23. Namanya Naura

1 1 0
                                    

Lapangan kosong yang diselimuti sinar panas, hanya ada aku, Rafasya, dan masing-masing bayangan kami.

Rafasya berhenti tertawa, ia menatapku dengan polos seakan tidak terjadi apa-apa. Aku balik menatap wajah laki-laki kurang ajar itu yang sialnya malah terlihat lebih tampan saat bermandikan terik matahari.

"Aku minta penjelasan kamu, sekarang!" teriakku berusaha galak.

Rafasya mulai menaikkan sudut bibir yang beberapa menit lalu sudah mengatup. Ia memakai kembali topinya.

"Jangan tunjukin ekspresi itu, bukannya kelihatan galak, kamu malah kelihatan konyol tahu, gak?"

Aku memilih diam, kepalan tangan ku semakin kuat, ingin sekali melayangkan tinjuan maut ke wajahnya.

"Sini ikut aku, cari tempat teduh, panas panasan kaya gini ngebuat haus," ajak Rafasya.

Tanpa basa basi lagi, aku hanya menuruti apa yang Rafasya inginkan, yang penting segala pertanyaan dalam otakku bisa terjawabkan sekarang.

Rafasya berhenti di koridor lantai dua, jajaran gedung kelas sembilan. Di atas sini, angin sepai sepoi berhembus membawa pergi segala macam bentuk amarah, angin ini juga mengusap tanganku yang mengepal kuat untuk melemah.

Aku memejamkan mata sekejap, menikmati setiap detik yang aku lalui dengan Rafasya, aku selalu merasa bahagia saat bersama dengan Rafasya, dan seharusnya selalu seperti ini, bukan malah dihancurkan oleh kedatangan perempuan aneh tadi.

"Jelasin Rafasya, siapa perempuan itu? Jangan bilang kalau aku gak usah cemburu, aku bener-bener cemburu, kalau aku gak cemburu tandanya aku gak cinta sama kamu," kataku, "awalnya aku kira itu adalah Jihan, tapi kata Cahaya orang itu bukan Jihan, aku jadi khawatir, kalau kamu diambil sama orang itu gimana? kalau aku gak bisa lagi ketemu kamu gimana? Kamu udah ngebuat aku suka sama kamu, terus kamu mau jauhin aku gitu aja? Kamu kenapa..."

Rafasya menempelkan satu telunjuknya di bibirku, itu tandanya aku harus diam. Tapi aku tidak bisa diam, aku masih ingin mengoceh dan menumpahkan segala kekesalan yang sudah menggunung di benakku.

Aku menepis tangan Rafasya. "Aku bener-bener khawatir karena setiap hari kamu semakin deket sama dia, kamu kelihatan cocok sama dia, aku bahkan gak pernah sedeket itu sama kamu, bahkan sampe sekarang kamu gak kasih aku pesan satupun! Kenapa Rafasya, kenapa?" aku semakin terbawa suasana.

Aku terengah-engah karena bicara panjang lebar dalam satu tarikan nafas.

Rafasya terlihat menghembuskan nafasnya tenang, mungkin ia sedang mencoba memahamiku. Lalu ia menatap ke atas langit, mengamati burung-burung yang bergerombol ke arah timur sambil berkicau.

"Kalau kamu jadi burung, dan kamu kehilangan rombongan kamu, kamu mau gimana?" tanya Rafasya.

"Kenapa kamu jadi nanyain burung?" tanyaku balik.

"Jawab aja," katanya.

"Ya aku bakalan cari mereka lah, atau kalau bisa ya aku sendiri aja," jawabku sekenanya dengan nada bicara kesal.

"Kalau bisa kamu bakalan sendiri, kalau gak bisa?" tanya Rafasya lagi.

"Kalau gak bisa, ya udah cari rombongan lain, atau kalau gak dapet, sendiri aja terus, gak lama juga bakalan cepet-cepet mati."

Rafasya tersenyum.

"Kalau aku jadi burung dan kehilangan rombongan, aku bakalan cari burung lain yang sama-sama kehilangan rombongannya sendiri. Karena terkadang, bertemu dengan orang yang senasib, itu bakalan lebih saling mengerti. Awal aku deketin kamu, aku kira kamu gak senasib kaya aku."

"Jadi kamu deket sama orang itu gara-gara dia juga senasib sama kamu?" tanyaku.

Rafasya menggeleng. "Nggak, aku sama dia beda nasib."

"Terus dia siapa?" tuntutku.

"Dia sahabat kecil aku, aku, Jihan, dan perempuan itu namanya Naura.  Pertama kali bertemu diumur tiga tahun, pada akhirnya persahabatan kami berlanjut sampai saat ini. Jihan cantik, anggun, dan lebih terlihat seperti perempuan di mataku. Maka dari itu aku menyukai Jihan, tapi karena Jihan lebih pilih orang lain, aku dan Jihan sedikit canggung. Tapi kami masih bisa berteman, berbeda dengan Naura, dia lebih tomboi dan aku punya banyak hobi yang sama dengan dia, makanya aku jadi lebih akrab sama dia, maaf udah ngebuat kamu cemburu, aku seneng ada orang yang cemburu liat aku sama Naura, dan aku lebih seneng lagi soalnya yang cemburu itu kamu."

Aku mendengarkan kata demi kata yang terucap, saat Rafasya berhenti bicara, aku melihat Rafasya.

"Aku udah lama nahan cemburu, dan aku ngerasa gak tahan lagi, makanya aku marah banget sama kamu."

Rafasya tertawa kecil. "Tapi aku sama Naura emang udah biasa kaya gitu, aku sama Naura sedeket itu emang dari dulu kami selalu begitu, orang lain di kelas juga udah tahu dan udah biasa sama kebiasaan kami yang selalu deket. Dan Naura juga punya pacar. Aku gak bisa larang kamu buat gak cemburu, tapi aku harap kamu bisa paham."

"Tapi aku juga berharap kamu bisa paham aku Rafasya, gimanapun juga aku pacar kamu sekarang, aku gak tahu harus gimana waktu liat kamu deket banget sama Naura. Naura punya pacar? Pasti pacar Naura juga ngerasain hal yang sama kaya aku. Aku gak bisa memutuskan hubungan kalian sebagai sahabat, tapi karena kalian punya pacar masing-masing, itu artinta kalian telah membangun sekat. Untuk bisa jadi lebih tahu diri," ucapku mengeluarkan semua yang mengganjal dalam hati.

"Maafin aku, Embun, aku gak bakalan ngebuat kamu cemburu lagi."

"Intinya, aku gak suka kamu terlalu deket sama Naura. Suruh Naura juga buat minta maaf ke pacarnya, karena aku tahu, pasti pacar Naura juga sama sakit hatinya kaya aku."

"Iya, Embun, kamu maafin aku, kan?" tanyanya memastikan.

Aku mengangguk. "Aku maafin kamu, aku gak bisa lepasin kamu."

Pada akhirnya aku dan Rafasya berbaikan, ternyata aku sudah salah sangka terhadap Rafasya. Aku harap Naura adalah orang baik yang mengerti sahabatnya. Mereka harus sadar bahwa mereka mempunyai orang lain yang dicintainya masing-masing.

Sepanjang perjalanan pulang, aku dan Rafasya selalu tertawa, Rafasya dengan segala kejahilannya membuatku ingin selalu ada bersamanya. Aku menginjak sepatu Rafasya agar kotor, ia pun mencoba untuk membalas dendam dengan menginjak sepatuku juga. Namun aku menghindar, dan terjadilah insiden saling kejar. Persis seperti Rafasya dan Naura saat itu. Akhirnya aku bisa merasakan kebahagiaan ini.

Terkadang, bersama dengan orang yang senasib akan lebih mengerti. Itu yang diucapkan Rafasya. Terlalu dewasa mengucapkan itu, diumur kami yang masih empat belas tahun.

Tanpa sadar, kami telah menggambar garis persegi lima yang rumit. Tentang siapakah orang yang senasib disini, insiden aku dengan Cakra dan Rafasya dengan Jihan, atau Rafasya dengan Naura dan aku dengan pacarnya Naura. Siapa yang senasib di sini?

Kembali pada kenyataan, kami masih sangat muda untuk memahami itu semua. Ini sangat rumit.

~••~

Salam manis,

Airis Yulia


Rafasya ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang